Ngapain Punya Cita-Cita Mengubah Pacar Abusive?

MOJOK.CO Punya pacar abusive, baik fisik maupun psikis, adalah penyiksaan. Kalau sudah begitu, ngapain masih repot-repot bermimpi mengubah pacar?

Ramai-ramai video sepasang kekasih yang kena tilang sejak kemarin telah mengundang perhatian massa. Dalam video berdurasi kurang dari semenit yang beredar di media sosial, tampak si laki-laki mempreteli sepeda motor yang mereka naiki, sedangkan kekasihnya menangis dan berkali-kali berkata, “Udah, yang, udah…”.

‘Kegilaan’ si pria—mari kita sebut sebagai Mas PPM alias Pria Perusak Motor—jelas mengundang komentar yang beragam. Meski diwarnai dengan isu yang menyebutkan bahwa sepeda motor yang dirusak merupakan sepeda motor milik kekasihnya yang ada di sana—mari kita sebut sebagai Mbak PPPM atau P3M alias Pacar Pria Perusak Motor—tak sedikit netizen justru menyoroti aksi abusive Mas PPM yang dinilai berbahaya. Perhatikan bagaimana dia melempar motor tadi seolah-olah tak menyadari bahwa kekasihnya ada tepat di depannya. Coba kalau dia meleng dikit, apa nggak bakal penyok itu Mbak P3M-nya gara-gara dilempar motor???

Dari kejadian tersebut, beberapa orang meninggalkan komentar di kolom reply dan mengusulkan si Mbak untuk meninggalkan kekasihnya dengan segera karena sudah terbukti bakal seperti apa tindakannya saat dibakar emosi. Namun begitu, ada pula pengguna yang kekeuh mendukung sejoli ini tetap bersama.

Katanya, “Perempuan yang baik itu harus bisa membantu merubah mengubah kekasihnya, membantu kekasihnya keluar dari rasa stres, bukan malah meninggalkannya.”

A-APA???

Problem ini menggelitik saya untuk kemudian bertanya-tanya: pada batasan seperti apa seseorang bisa berharap pasangannya (((yang abusive))) untuk berubah??? Sebesar apa kesempatan seseorang mampu benar-benar mengubah pacarnya (((yang abusive)))???

Punya pacar abusive, baik fisik maupun psikis, adalah penyiksaan. Teman saya pernah babak belur saat mendatangi kamar saya sambil menangis. Pacarnya menekan pergelangan tangannya setiap pertengkaran terjadi dan pipinya menjadi target favorit untuk ditampar. Menyedihkannya, teman saya memohon-mohon agar saya tetap duduk tenang dan tidak melabrak pacarnya yang brengsek itu. Kenapa? Ya tentu saja—ia takut dihajar lagi.

Teman saya menghabiskan masa remajanya dengan ketakutan. Ia tak suka sahabat-sahabat lelakinya diteror satu per satu oleh kekasihnya, jadi satu-satunya cara adalah ia harus rela tidak lagi berteman dengan mereka.

Hubungan itu berjalan cukup lama, sekitar 5 tahun, sebelum akhirnya ia mengakui semuanya di depan saya. Pemaksaan hubungan seksual juga ia alami tanpa mampu ia tolak, lengkap dengan bekas pukulan yang terlihat di tangannya.

“Putusin,” kata saya saat itu—mendadak ikut-ikutan blank karena berita yang tiba-tiba. Pacar teman saya selalu terlihat baik di depan saya, tak pernah sekalipun saya kira ia seorang penyiksa. Teman saya menolak kata-kata saya dan berkata pelan, “Tapi saya sayang sama dia. Mungkin nanti dia bakal berubah.”

Saya merasa teman saya bodoh sekali gara-gara cinta. Yang tidak saya ketahui, beberapa tahun kemudian, kasus pacar abusive serupa terjadi di hidup saya.

Pernah, saya menyadari sebuah hubungan yang tak lagi sehat sejak sang pacar tak henti-henti mengendalikan hidup saya. Berkali-kali, saya dihujani perlakuan cinta dan kasih sayang, tapi—berkali-kali pula—saya diremehkan dan dibuat bertanya-tanya soal nilai diri.

Abusive memang tak terbatas pada kekerasan fisik. Jika teman pertama saya mendapatkan memar dan luka yang tampak, saya justru harus terus-menerus menelan asumsi seolah-olah saya adalah penyebab semua kesalahan dalam hubungan. Dan ini, bagaimanapun juga, sama-sama tidak sehat untuk dirasakan.

“Mungkin nanti dia bakal berubah” adalah juga kalimat yang saya keluarkan hampir setiap saat. Beberapa bulan kemudian, hubungan kami benar-benar berakhir, tapi si (mantan) kekasih terkadang tetap menghubungi dengan gigih: menekankan betapa saya tetap bersalah atas segala hal yang terjadi.

Ah, bagaimana saya harus menggambarkan dirinya? Menakutkan.

Lantas, bagaimana dengan kasus Mas PPM dan Mbak P3M yang—kayaknya sih mereka masih jadian—sudah menjadi perbincangan masyarakat se-Indonesia? Apakah wajar-wajar saja jika Mbak P3M memutuskan tetap bersama pacarnya yang terbukti abusive, walaupun dalam video viral tersebut targetnya ‘hanyalah’ sebuah sepeda motor?

Jawabannya: ya wajar.

Ingat, pilihan untuk lanjut atau putus dalam sebuah hubungan adalah hak pelaku di dalamnya. Yang menjadi tidak wajar adalah jika alasan untuk bertahan dalam hubungan ini terbatas pada harapan ‘agar dapat mengubah pacar’. Maksud saya, memangnya pacar kamu siapa, sih, Kak??? Peter Parker, yang bisa berubah jadi Spiderman??? Atau Kimberly Hart, yang ternyata seorang Ranger Pink???

Mengubah pacar abusive bukan pekerjaan enteng. Ia bahkan bukan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabmu. Bukankah kamu hanya ingin hubungan yang normal dan saling menghargai, bukannya hubungan yang membuatmu repot-repot mengurus ‘bayi besar’ yang bisa meledak sewaktu-waktu?

Prinsip yang sama bisa kita lihat dalam film Crazy Rich Asiankalau-kalau kamu lupa. Di sana, tokoh Astrid berpasangan dengan Michael, sebelum akhirnya Michael merusak hubungan mereka dengan perselingkuhan. Sialan banget emang.

Namun, Saudara-saudara, ingatlah baik-baik apa kata-kata Astrid, tepat saat ia memutuskan pergi dari kehidupan Michael:

“It’s not my job to make you feel like a man. I can’t make you something you’re not.”

Begitulah—kamu tidak berkewajiban mengubah pacar abusive kesayanganmu. Lagi pula, satu-satunya makhluk di dunia ini yang bisa mengubahnya hanyalah dirinya sendiri, dan kamu tak perlu membuang-buang waktu mengizinkan dirinya untuk menyakitimu secara cuma-cuma.

Exit mobile version