MOJOK.CO – Ada saja kejadian konyol yang terjadi dalam proses lamaran nikah. Apalagi jika peristiwa konyol itu terjadi karena perbedaan tradisi menerima tamu.
Proses lamaran nikah memang sering meninggalkan cerita aneh—kalau nggak mau dibilang konyol. Bukannya gimana-gimana, kadang dalam proses lamaran nikah itu ada saja kejadian-kejadian yang melibatkan perbedaan tradisi dari keluarga kedua calon mempelai.
Ya maklum, setiap daerah di Indonesia memang kaya akan tradisi yang unik. Saking uniknya, kadang ada aja tradisi-tradisi yang dianggap aneh dan bahkan bisa bikin orang jadi salah sangka. Paling tidak keluarga saya pernah mengalaminya saat mengantarkan kakak laki-laki saya melamar. Mengalami gegar tradisi gara-gara lamaran nikah.
Masih mending kalau jurang perbedaan tradisi lamaran nikah itu melibatkan dua suku yang berbeda atau dua daerah yang sangat jauh—jadi gegar budaya itu masih lumrah terjadi, lah apa yang keluarga saya alami ini kejadian dengan sesama warga Jogja. Masih satu Kabupaten Sleman lagi.
Semua dimulai ketika kakak laki-laki saya mau melamar gadis pujaannya di sebuah daerah di Sleman. Kami pikir, sebagai sesama warga Sleman kami tak perlu persiapan apa-apa untuk memahami beda tradisi ini. Ah, paling juga sama aja. Setidaknya itu yang keluarga saya pikirkan.
Sampai kemudian ketika keluarga saya datang ke calon kakak ipar saya ini, kami sekeluarga disuguhi sop bebek. Waw, sop bebek. Menu yang sangat menggiurkan. Apalagi keluarga saya memang begitu tergila-gila dengan daging bebek.
Kakak saya—yang mau lamaran ini—tentu jadi yang terdepan ketika suguhan makanan tersaji di meja makan. Tanpa banyak cingcong, ia ngambil kuah sop bebek buanyak sekali. Maklum, kakak saya ini termasuk suka sekali dengan daging bebek. Jelas, kesempatan ini tidak ingin dilewatkan begitu saja. Kapan lagi bisa makan makanan favorit sekaligus menunjukkan apresiasi kalau makanan tuan rumah begitu menggiurkan.
Melihat hal itu, istri saya jadi tertarik. Ia juga ikut mengambil menu sop bebek, cuma kuahnya dikit sekali—banyakin dagingnya. Lalu ketika menyeruput kuah sop bebek tersebut, istri saya terkejut bukan kepalang. Mukegile, ternyata sop bebek ini uaasiin puuuool. Sebegitu asinnya, sampai-sampai lidah jadi mati rasa. Benar-benar kayak lagi nyeruput kuah air laut yang ketumpahan garam tanpa yodium satu ember.
Anehnya, kakak laki-laki saya yang ngambil kuah sop bebek sampai nasinya berenang itu tampak menikmati sekali. Makan begitu lahap, seolah tak terjadi apa-apa. Tentu saja pemandangan tersebut jadi aneh. Oh, mungkin memang kayak begitu teknik makannya, jadi makan aja sampai lidah mati rasa, nah kalau udah mati rasa kan udah nggak terasa asin lagi. Hm, teori makan yang menarik.
Kebetulan kedua orang tua saya sedang puasa senin-kamis saat itu, jadi tidak bisa menikmati rasa asin mematikan sop bebek penuh jebakan itu. Nah, karena kedua orang tua saya puasa, maka oleh tuan rumah dibungkusin tiga porsi sop bebek. Dua untuk orang tua saya, satu untuk kakak saya. Ya mungkin ini iktikad baik karena melihat kakak saya begitu lahap makannya.
Sampai kemudian terjadilah percakapan konyol di mobil ketika perjalanan pulang.
“Mas, apa sop bebek tadi nggak asin ya? Kok tadi aku ngerasain uuaassiin banget ya? Sampai nggak tahan aku,” tanya istri saya di belakang.
Kakak saya masih terdiam beberapa detik. Menunggu agak jauh dari daerah calon istrinya. Begitu keluar gang, kakak saya langsung nyambar.
“Waaaah, uuueddyyaaan, uuuaaasssiiiin pool. Itu tadi kecemplung garam satu truk atau gimana ya?” kata kakak saya marah-marah sendiri di dalam mobil.
Saya yang saat itu tidak ikut prosesi lamaran nikah cuma sempat mencicip sedikit sop bebek yang dibungkus di rumah.
Awalnya saya juga tergiur, wah sop bebek nih, siapa yang nggak mau coba? Lalu saya coba icip sedikit rasa kuahnya. Baru sedikit kuahnya menyentuh ujung bibir saya, saya langsung kayak lagi kecemplung di ganasnya laut Pantai Parangtritis. Buset, kuah apaan ini. Tentu saja saya juga marah-marah, saya pikir itu masakan istri saya.
“Eh, itu sop bebek siapa sih yang bikin? Uaasiinnya naudzubillah gitu?” tanya saya ke istri.
“Lho masih asin ya, Mas?” tanya istri saya.
“Ya iyalah masih asin. Ini kecemplungan garam satu ember apa gimana?” tanya saya masih kesal.
“Itu padahal sudah aku tambahin air dua baskom lho. Ternyata masih asin gitu ya?” kata istri saya.
Barulah kemudian istri saya menceritakan pengalaman konyol ketika lamaran nikah kakak saya. Terpingkal-pingkalah saya mendengarnya. Meski masih ada hal yang menjadi misteri bersama, yakni; apa alasan masakan seasin ini disajikan untuk tamu lamaran nikah?
Berbulan-bulan kemudian, ketika kakak saya udah menikah, istrinya lalu cerita. Ternyata di daerahnya memang ada tradisi unik. Kalau ada keluarga sedang punya acara penting, kayak lamaran nikah—misalnya, maka tuan rumah akan menyediakan sop bebek asin sebagai bentuk penghormatan ke tamu yang datang. Bahkan yang semakin mengejutkan, konon semakin asin kuah sop bebeknya, maka itu tanda bahwa si tamu dianggap semakin terhormat kedudukannya.
Mendengar penjelasan itu, saya jadi membayangkan kakak laki-laki saya yang penuh perjuangan berusaha menghabiskan kuah sop bebek di tengah-tengah keluarga calon istrinya. Mana kuahnya penuh mau tumpah-tumpah dari piring lagi.
Mungkin kakak saya waktu itu membatin, “Darah tinggi, darah tinggi dah. Nggak urusan, yang penting lamaran nikah saya diterima.”
Hajaaar terooos, Maas. Hajaaaaar!