MOJOK.CO – Logika hukum di sinetron ‘Ikatan Cinta’ kata Pak Mahfud MD nggak pas. Lah kan itu sesuai realitas setting negaranya, Pak? Malah pas dong harusnya.
Ada berbagai cara agar pejabat mendapat tempat di hati rakyatnya guna meredakan tensi ketegangan. Terutama kalau masyarakat lagi pada sering uring-uringan dengan kelakuan pejabat-pejabat pemerintah kayak sekarang-sekarang ini.
Salah satu dari sekian banyak cara itu adalah cara yang dilakukan Mahfud MD: nonton Ikatan Cinta dan mengumumkan di akun personal Twitternya. Tidak hanya nonton, Mahfud MD juga mengomentari jalan cerita sinetron dengan rating paling fantastis di televisi Indonesia beberapa tahun ke belakang.
Nah, sebagai seorang mantan Hakim Konstitusi, Mahfud MD jadi ngerasa heran dengan logika hukum yang dipakai pada salah scene di Ikatan Cinta. Katanya, ada yang ndak mashoook pada adegan Elsa yang “disangka” (baca: jadi tersangka) pada pembunuhan Roy. Elsa tiba-tiba malah tidak jadi ditangkap polisi hanya karena Mama Sarah mengaku sebagai pelaku.
PPKM memberi kesempatan kpd sy nonton serial sinetron Ikatan Cinta. Asyik jg sih, meski agak muter-muter. Tp pemahaman hukum penulis cerita kurang pas. Sarah yg mengaku dan minta dihukum krn membunuh Roy langsung ditahan. Padahal pengakuan dlm hukum pidana itu bkn bukti yg kuat.
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) July 15, 2021
Kicauan Mahfud MD yang tiba-tiba masyuk dari perspektif hukum ini memancing banyak komentar netizen—yang kebanyakan malah nyindir sih sebenarnya. Tapi oke, abaikan dulu sindiran-sindiran itu dan kita fokus saja dengan kritik Mahfud MD ke scene sinetron Ikatan Cinta saja.
Kritik Mahfud MD itu sebenarnya menunjukkan bahwa blio emang kayak gegar budaya dengan scene-scene sinetron Indonesia. Blio seperti berjarak dengan tontonan sehari-hari rakyatnya.
Ya itu, Pak, kualitas tontonan kita di tipi ya begitu itu. Kalau ada logika hukum yang ndak mashoook, ya mbok dimaafkan, lah wong di berita-berita nasional juga ada banyak pejabat atau praktisi hukum yang pakai logika hukum yang ndak mashoook kok. Sama aja ini. Sama-sama nggak beres penulis skenarionya.
Ke mana aja, Pak Mahfud? Baru pertama kali lihat logika cerita sinetron Indonesia yang naudzubillah beyond ya?
Duh, duh, sebagai penikmat sinetron, amatir sekali panjenengan ya Pak Mahfud. Padahal itu sampean baru lihat yang Ikatan Cinta, yang level absurdnya masih di takaran sedang, belum dengan sinetron lain yang kadang level absurdnya sundul langit. Bisa overdosis sampean lho, Pak.
Oleh, sebab itu, sebagai orientasi Pak Mahfud MD biar nggak kaget-kaget banget untuk menikmati sinetron Indonesia lainnya, ini kami tunjukkan adegan yang menggambarkan perkara absurd soal hukum yang ada di sinetron-sinetron Indonesia. Ospek tipis-tipis lah, Pak. Yok.
Suara Hati Istri: Zahra ganti muka
Kalau RCTI punya Ikatan Cinta, maka Indosiar pernah punya Suara Hati Istri: Zahra yang sempat viral beberapa bulan lalu. Sinetron itu sempat bikin geger karena ada adegan yang dianggap menormalisasi pernikahan di bawah umur.
Gara-gara adegan itu, Suara Hati Istri: Zahra dapat kecaman dari mana-mana. Petisi pun bermunculan agar sinetron ini dihentikan dari peredaran. KPI pun sempat berkomentar karena merespons kecaman penonton.
Namun alih-alih di-take down, sinetron Suara Hati Istri justru tetap melanjutkan tayangannya dengan cara mengganti pemeran Zahra dengan artis lain. Nah, di adegan agar tokoh Zahra bisa beralih artis inilah yang kemudian bikin logika absurd bermula.
Jadi si Zahra ini diceritakan kecelakaan mobil, terus harus menjalani operasi di mana seluruh bagian wajahnya harus dioperasi. Dalam operasi yang tak berlangsung lama, dan pemulihan yang nggak nyampai berbulan-bulan (seperti selumrahnya operasi face off), tiba-tiba wajah si Zahra berubah.
“Nggak mungkin, nggak mungkin, ini bukan wajah saya, Dok,” kata Zahra di adegan absurd itu.
Nah, risiko persoalan hukum di luar produksi sinetron emang kayak udah kelar, tapi logika cerita di dalam sinetron baru muncul. Ini bukan persoalan hukum pidana sih, tapi lebih ke soal hukum perdata wabilkhusus soal administrasi identitas aja.
Ya iya dong, kalau si Zahra mukanya ganti begitu, dia berarti perlu bikin KTP baru dong? Lah kan wajahnya udah beda. Belum dengan SIM-nya, buku nikahnya, paspornya kalau ada.
Tapi, itu sih belum seberapa rumit karena mengganti foto-foto di dokumen tadi itu masih memungkinkan. Yang rumit itu sebenarnya adalah ijazah sekolahnya. Ya kali, dari TK, SD, SMP, SMA, wajahnya siapa, tahu-tahu kalau mau kuliah fotonya beda.
Wah, ngalamat nggak bisa daftar CPNS itu si Zahra.
Sinetron TWK KPK
Sinetron TWK juga sempat ramai, dan mungkin Pak Mahfud MD belum nonton sinetron itu. Kalau sampean ngikutin jalan ceritanya, wah, keren lho, Pak, itu sinetron. Udah kayak film-film intelejen bikinannya Holywood.
Bahkan sinetron ini sampai dibikin review khusus oleh Watchdog Documentary dengan film berjudul KPK The End Game. Yang memunculkan banyak hal absurd. Baik secara HAM maupun hukum.
Iya, hukum, Pak.
Ketika pemimpin tertinggi negara, yakni Presiden, meminta agar TWK tak jadi satu-satunya alasan pemecatan pegawai KPK, tapi tetap dilakukan oleh Pimpinan KPK, itu kan adegan melawan hukum paling suip yang terjadi dalam sinetron itu.
Tapi mungkin Pak Mahfud MD nggak berani kritik sinetron itu kayak waktu nyentil Ikatan Cinta sih. Ya maklum, kenal sama produsernya ya, Pak, ya?
Sinetron “Jaksa yang Tertukar”
Sinetron-sinetron terakhir yang mungkin sempat dilewatkan Pak Mahfud MD dan agak absurd secara hukum mungkin adalah genre sinetron “Jaksa yang Tertukar”. Sinetron ciamik yang punya dua segmen cerita fenomenal sekali.
Pertama, episode ketika ada seorang jaksa menuntut ringan (cuma satu tahun) seorang aparat pelaku penyiraman air keras.
Jadi ceritanya, si jaksa jadi malah bela-belain terdakwa dengan menyebut kalau penyiraman itu tak sengaja. Niatnya nyiram ke badan, eh, malah kena muka. Gitu dialognya.
Kedua, episode ketika jaksa menuntut sesama jaksa. Jadi ceritanya ada jaksa yang terima suap nih, terus ketahuan ya kan, disidang deh. Nah, dalam sidang tingkat pertama, si jaksa ini divonis 10 tahun penjara.
Ya wajar dong, Pak. Kan penegak hukum. Wajar kan?
Etapi, cerita berlanjut saat sidang di tahap kedua. Si jaksa dikurangin masa hukumannya, dari 10 tahun jadi 4 tahun. Tentunya bagi jaksa penuntut umum, kalau tahu ada terdakwa kok malah diringankan vonisnya sama hakim kan normalnya minta kasasi dong?
Tapi ini plot twits-nya: sinetron ini, tiba-tiba aja jaksa penuntut umum ogah melanjutkan ke kasasi. Dalam ceritanya, jaksa penuntut umum merasa kalau vonis sudah sesuai. Jadi tiba-tiba si jaksa penuntut umum ini baik sama terdakwa. Ngalah-ngalahin kuasa hukum si terdakwa aja.
Bener-bener sesuai judulnya: Jaksa yang Tertukar.
Sinetron-sinetron itu tadi sebenarnya lebih absurd lagi sih kalau mau dikomentari oleh Pak Mahfud MD. Terutama karena akting para pemerannya begitu meyakinkan dan udah kayak beneran. Layak lah kalau misalnya aktor dan artis di sana dinominasikan Piala Citra atau Piala Oscar sekalian. Cuma nggak tahu ya kalau penulis skenarionya.
Nah, Pak Mahfud, ayo dong komentari juga sinetron-sinetron itu. Gimana tuh pemahaman hukum para penulis skenarionya? Pas ndak?
BACA JUGA 4 Alasan Kenapa Sinetron ‘lkatan Cinta’ Laku Keras atau tulisan POJOKAN lainnya.