Bahagianya Orang Jakarta Punya MRT yang Jadi Mainan Baru Jam Makan Siang

MOJOK.COMasyarakat Jakarta tampak begitu semangat ikutan uji coba MRT. Bahkan jadi aktivitas baru yang terlihat menyenangkan di jam makan siang.

Mass Rapid Transit atau Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta, sudah bisa diuji coba sejak tanggal 12 Maret lalu. Lalu di tanggal 22-23 Maret ini, penggunaannya pun masih gratis. Proyek yang sudah jadi topik pembicaraan sekian lama tersebut, memang terus menerus mencuri perhatian.

Proyek MRT Jakarta ini memang baru dimulai di era Jokowi saat beliau menjabat sebagai Gubernur. Namun sebetulnya, rencana pembangunannya sudah digagas sejak lama. Dilansir dari jakartamrt.co.id, rencana pembangunan ini sudah dirintis dan dikaji sejak tahun 1985. Namun ketika itu belum dinyatakan sebagai proyek nasional. Baru pada tahun 2005, Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, menegaskan kalau proyek ini menjadi proyek nasional. Dengan lika-liku yang panjang, akhirnya tahap kontruksi baru bisa dimulai pada Oktober 2013.

Di media sosial, teman-teman saya yang kerja di Jakarta kayaknya terlihat bahagia banget bisa menjadi bagian yang turut menguji coba naik MRT. Bahkan nih, dengan embel-embel moda transportasi yang sangat cepat, makan siang di stasiun lain pun dijabanin. Sebagai alasan bisa ikutan nyobain naik kereta yang cepat ini.

Bahkan, ada yang sampai bikin thread tentang kuliner di setiap stasiun. Ya, supaya calon penumpang yang lain punya bayangan lah, bakal turun di stasiun mana untuk makan siang. Kan emang tujuannya ikut uji coba naik MRT cuma buat jalan-jalan doang. Apalagi didaku sebagai kereta cepat, mereka pun ngerasa aman-aman aja. Yakin, nggak bakal telat sampai kantor lagi.

Ya, saya paham sih. Pasti kalau dulu-dulu mau makan di tempat yang agak jauh dari kantor, nggak bakal sempat. Jadi ketika ada alat transportasi dengan ‘garansi cepat’, langsung cuuusss. Seperti menjadi angin segar di tengah kebosanan.

Meskipun banyak pula yang menganggap, masyarakat Jakarta berbondong-bondong nyobaik MRT ini, sekadar biar kelihatan tetep gaul dan nggak ketinggalan tren. Selain itu, juga tetep nyambung kalau diajak ngobrol pas lagi nongkrong.

Tapi, apa pun itu, saya merasa turut berbahagia, kok.  Ngelihat orang Jakarta berbahagia punya hiburan baru di jam makan siang. Dengan kehadiran MRT ini, saya lihatnya mereka punya mainan baru yang cukup bikin excited. Soalnya ada aktivitas lain sebagai pemecah kebosanan di tengah rutinitas pekerjaan yang kelihatannya, begitu-begitu saja.

Kehadiran MRT ini bahkan disebut Jokowi sebagai budaya baru bagi Jakarta. Ke depannya, peradaban baru kita akan mengarah ke sana. Ke segala aktivitas yang sat-set, cepat, dan tentu saja nggak punya alasan untuk ngaret.

Jadi, MRT ini, katanya sih, diharapkan bisa menurunkan waktu tempuh dalam mobilitas masyarakat. Lantas, hal ini dapat meningkatkan mobilitas masyarakat dalam rutinitas keseharian. Dampaknya kemudian, bisa memberikan peningkatan maupun pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh lagi, bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat Jakarta. Ya, bisa dipahami, sih, dengan aktivitas orang-orang Jakarta yang banyak ngabisin waktu di jalanan, transportasi ini—seolah—jadi solusi.

Walau saya ikut bahagia dengan saudara-saudara saya di Jakarta. Sebetulnya, saya nggak peduli-peduli amat sama si MRT ini. Ya mohon maaf, nih. Meski itu jadi proyek nasional, kan itu semua cuma terjadi di Jakarta doang. Orang-orang semacam saya yang tinggal di daerah, tetep aja nggak ngerasain gimana enaknya naik MRT. Tapi berita tentang kehadirannya, kok kayaknya puenting bianget, yak? Seolah betul-betul menjadi prestasi nasional pemerintah.

Iya, iya, saya tahu. Kan kata presiden kita, itu memang menjadi proyek yang dimulai beliau sama Ahok saat menjabat dulu. Jadi, meski udah nggak ngurusin Jakarta, yang ada bau-bau prestasi gini, tetap harus disebarkan ke seluruh pelosok negara. Beda sama proyek nasional revolusi mental yang dulu digaung-gaungkan. sekarang, apa kabar, tuh? Eh, lupa. Bukan proyek ding, itu kan, gerakan nasional.

Dikarenakan MRT ini memang proyek nasional. Jadi, pasti niatnya Jokowi bukan buat jumawa. Cuma ya, dasar media kita aja yang Jakarta-sentris melulu. Seolah-olah sesuatu yang ideal, harus sesuai dengan standar Jakarta. Seakan untuk menjadi kece itu harus dengan gaya hidup ibukota. Atau bahkan merasa keren, kalau udah bisa ngobrol dengan gaya bahasa Jakartaan.

Mungkin, ya, lebih baik buat masyarakat Jakarta, nggak usah pamer berlebihan. Lantaran udah bisa naik MRT yang digadang-gadang sebagai transportasi masa depan ini. Begini, loh, di beberapa daerah, paling mentok cuma ada KRL. Yang murah, tapi keadaannya… begitu lah. Bahkan di luar Jawa dan Sumatera, masih belum ngincipin transportasi kereta, loh. Terus kalau mereka-mereka ini iri dan memutuskan untuk memisahkan diri, gimana? Kan repot, ya?

Exit mobile version