Pertengahan Agustus 2025 kemarin, teman saya dari Surabaya berlibur ke Jogja bersama suaminya. Namanya Prita dan salah satu hobinya adalah jelajah kuliner. Kebetulan, suami Prita, yang berprofesi sebagai pegulat profesional dan paham nutrisi, juga doyan jajan. Dan, sudah pasti, yang ingin Prita dan suaminya jajal adalah gudeg Jogja.
Wisatawan dari luar Jogja itu, biasanya, datang membawa ekspektasi tinggi. Mereka sudah menyiapkan diri untuk merasakan keramahan ala kota budaya ini. Makanya, bagi banyak orang, gudeg Jogja menjadi salah satu simbol keramahan. Kuliner ini menggambarkan harmoni dalam keragaman.
Nah, selama 3, Prita dan suaminya sudah menyiapkan daftar rumah makan gudeg Jogja. Mereka menyusun daftar ini berdasarkan riset dari TikTok. Yah, begitulah adanya saat ini saat orang mencari referensi dari kolom pencarian TikTok.
Tidak ada yang salah dari pilihan riset ini. Cuma, memang, kadang kreator konten tidak jujur terhadap rasa. Dan yang namanya kebetulan dalam arti kesialan ini benar adanya. Prita dan suaminya selama 3 hari hanya menemukan penyesalah.
Berikut 5 alasan yang membuat mereka kecewa. Saya sarikan daftar ini berdasarkan penuturan keduanya.
#1 Rasa gudeg Jogja yang terlalu manis dan tanpa dimensi
Rasa manis memang sudah menjadi ciri khas gudeg Jogja. Prita dan suaminya tahu betul akan fakta itu.
Namun, keahlian seorang juru masak gudeg sejati terletak pada kemampuannya menciptakan keseimbangan rasa. Gudeg yang baik tidak hanya mengandalkan gula merah, melainkan juga perpaduan kompleks dari berbagai bumbu.
Ketika hanya rasa ada rasa manis, bahkan di makanan pendamping seperti krecek sayur tempe, jatuhnya jadi monoton. Tanpa ada sentuhan gurih dari santan, sedikit asin dari garam, atau aroma rempah itulah saat penyesalan datang.
Gudeg Jogja semacam ini malah membebani lidah, seolah-olah hanya merebus nangka dengan gula. Begitulah.
#2 Kering dan terlalu serat: Indikasi gudeg Jogja yang kurang matang
Proses memasak gudeg yang sempurna membutuhkan waktu berjam-jam. Bahkan sampai semalaman menggunakan api kecil. Tujuannya adalah untuk membuat nangka muda menjadi empuk dan bumbunya meresap hingga ke serat-serat terdalam.
Nah, gudeg Jogja yang kurang matang akan terasa kering dan berserat. Ketika sendok mendarat, nangka tidak lumat dengan mudah.
Sebaliknya, seratnya terasa liat dan sulit dikunyah. Kondisi ini menunjukkan bahwa juru masak tidak sabar atau tidak menguasai teknik memasak gudeg dengan benar. Ini adalah penyesalan besar, karena esensi dari gudeg adalah teksturnya yang lembut. Yah, setidaknya nggak melawan waktu dikunyah.
Baca halaman selanjutnya: Hambar dan tidak menarik.
#3 Dominasi sambal krecek yang “plastik” dan tidak berempah
Sambal (goreng) krecek adalah pasangan hidup gudeg. Ia seharusnya menjadi penyeimbang rasa, memberikan sentuhan pedas, gurih, dan tekstur kenyal yang unik.
Namun, banyak tempat yang menyajikan krecek dengan kualitas rendah. Penyesalan muncul ketika krecek terasa seperti direbus dengan bumbu instan, tanpa aroma khas dari cabai segar atau gurihnya santan kental yang dimasak perlahan.
Krecek yang baik seharusnya memiliki sedikit rasa pedas menghangatkan, bumbu rempah kaya, dan tekstur kenyal pas. Ketika yang tersaji adalah krecek yang terlalu berminyak, rasanya hambar, atau bahkan terasa “plastik”. Ia tidak lagi menjadi pelengkap gudeg Jogja, melainkan perusak kenikmatan.
#4 Ayam atau telur yang hambar dan tidak terbumbui dengan baik
Pelengkap gudeg Jogja itu banyak. Mulai dari (biasanya) ayam kampung, telur bebek, tahu, atau tempe. Dan mereka itu bukan sekadar hiasan.
Mereka seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari gudeg Jogja. Dalam gudeg yang otentik, lauk-pauk ini dimasak bersama dengan nangka, sehingga bumbunya meresap sempurna.
Penyesalan datang ketika ayam atau telur yang disajikan hanya terasa seperti direbus biasa, tanpa sentuhan bumbu gudeg yang kaya. Rasanya hambar, warnanya pucat, dan teksturnya kaku.
Ini menunjukkan bahwa lauk tersebut dimasak secara terpisah dan hanya ditambahkan di saat terakhir. Pengalaman menyantap gudeg Jogja menjadi pincang, karena lauk yang seharusnya melengkapi justru terasa seperti tamu tak diundang yang tidak berbaur.
#5 Pengemasan yang buruk dan tidak memperhatikan kualitas
Ini mungkin terdengar sepele. Tapi, pengemasan adalah cerminan dari bagaimana sebuah tempat menghargai produknya. Gudeg Jogja yang lezat bisa kehilangan magisnya jika dikemas dengan asal-asalan.
Gudeg yang terlalu berminyak dan menetes, lauk yang tidak tertata rapi, atau wadah yang mudah bocor adalah beberapa contohnya. Lebih dari itu, gudeg yang dikemas tanpa memperhatikan keseimbangan porsi, di mana lauk terlalu sedikit dan nasi terlalu banyak, juga menimbulkan kekecewaan.
Pengemasan yang baik dan higienis tidak hanya menjaga kualitas rasa, tetapi juga menunjukkan profesionalisme dan penghargaan terhadap pembeli. Ketika gudeg Jogja tiba di tangan pembeli dalam kondisi yang berantakan dan tidak menarik, itu adalah penyesalan terakhir yang mengakhiri pengalaman kuliner yang seharusnya menyenangkan.
Kata Prita dan suaminya, memilih gudeg Jogja memang membutuhkan kejelian. Jangan terbuai oleh nama besar dan “rekomendasi” media sosial. Bagi mereka, jelajah kuliner memang menemukan “mutiara” di tengah derasnya arus informasi soal keragaman kuliner.
Bagi keduanya, menemukan gudeg yang “nggak terkenal” tapi lebih nikmat adalah kepuasan tersendiri. Supaya wisatawan tidak kecewa, mereka menyarankan wisatawan untuk bertanya ke orang lokal dan random. Kalau mendapat info gudeg Jogja yang “nggak terkenal”, jangan ragu untuk mencoba. Biasanya malah lebih enak dan murah.
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Selain Terlalu Manis, Gudeg Jogja Dijauhi karena Mahal, Padahal (Seharusnya) Murah dan Masih Makanan Rakyat dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN.
