Pemilos SMPN 2 Yogyakarta Terapkan e-Voting, Simulasi Pemilu yang Hemat dan Transparan

pemilihan ketua osis pemilos

Ilustrasi Pemilos di SMPN 2 Yogyakarta

MOJOK.CO – Pendidikan politik penting ditanamkan pada generasi muda. SMPN 2 Yogya berupaya mengembangkan sistem pemilihan ketua OSIS atau akrab disebut “Pemilos” dari yang awalnya konvensional, kini berbasis e-Voting. Simulasi pemilu ini diharapkan dapat menyiapkan generasi yang partisipatif terhadap demokrasi maupun politik elektoral.

Siang itu, empat hari sebelum Januari 2023 berakhir, suasana di SMP Negeri 2 Yogyakarta tampak lebih sibuk dari biasanya. Selepas waktu salat Jumat, beberapa murid terlihat mengantre dengan rapi untuk memasuki sebuah bilik kecil.

Di dalam bilik tersebut, mereka dihadapkan ke sebuah layar monitor yang menampilkan tiga wajah remaja. Wajah-wajah ini tidaklah asing, mengingat tiga hari sebelumnya mereka berorasi di hadapan ratusan murid.

Sejam berlalu, antrean pun berakhir. Sebanyak 679 siswa tercatat bergantian keluar-masuk bilik untuk memilih satu dari tiga nama yang bakal menjadi Ketua OSIS di sekolah mereka. Belum kering tinta di kelingking mereka, hasil rekapitulasi pun langsung diumumkan.

“Saya kaget,” ujar Farizki Bayu Aji, Senin (20/3/2023), mengungkapkan perasaannya setelah mengetahui hasil pemungutan suara Pemilu OSIS (Pemilos) di sekolahnya.

“Saya tidak menyangka kalau 500-an siswa bakal memilih saya,” sambung remaja 14 tahun itu.

Rizki, sapaan akrabnya, sama sekali tidak menyangka akan menang. Diakuinya, ia memang aktif di luar sekolah, seperti bergabung dengan organisasi remaja masjid, dan sejenisnya. Namun, dalam Pemilos tersebut, Rizki mengira bahwa kandidat lain bakal unggul mengingat reputasinya yang dianggap lebih baik.

“Awalnya mengira kandidat nomor 1 yang akan menang, karena dia sudah aktif  di OSIS periode sebelumnya,” lanjut remaja asal Gondomanan ini.

Dengan demikian, Rizki pun sah menjadi Ketua OSIS SMP Negeri 2 Yogyakarta untuk masa bakti 2023. Ia juga tercatat menjadi orang kedua yang dipilih via pemilihan daring alias e-voting.

Sejak tahun lalu sekolah yang berlokasi di Jalan Panembahan Senopati ini memang sudah menggunakan metode digital dalam pemilos. Melalui metode ini, pemilos diklaim lebih efektif dan efisien, disamping tetap edukatif bagi para murid.

e-Voting gara-gara pandemi

Foto SMPN 2 Yogyakarta yang sudah dua kali menyelenggarakan Pemilos berbasis e-voting. (Dok: Mojok.co)

Awalnya, Pemilos di SMPN 2 Yogyakarta dilaksanakan secara konvensional. Namun, sejak pandemi Covid-19 mengharuskan pembatasan jarak, pihak sekolah pun menggagas mekanisme baru yang lebih aman bagi para siswanya.

Menurut Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Sakir Marwanto, metode e-voting akhirnya dipilih. Opsi ini dianggap yang terbaik karena tiga pertimbangan.

Pertama, metode digital dinilai lebih aman karena meminimalisir sentuhan fisik antarmurid. Saat menggunakan metode konvensional via kertas suara, bisa jadi virus bakal berpindah tangan secara tak terkendali dari satu ke yang lainnya. Sementara dengan e-voting, potensi ini bisa diminimalisir.

“Kita ingin meminimalisir virus menyebar melalui kertas-kertas tersebut, jadi kertas suara yang biasanya kita pakai mulai ditiadakan,” ujar Sakir kepada Mojok, Senin (20/2/2023).

Kedua, menurutnya, mekanisme e-voting bisa menghemat biaya karena tidak perlu mencetak surat suara maupun bikin kotak suara yang banyak jumlahnya. Sementara yang ketiga, ia menilai pemungutan suara digital ini juga lebih menghemat waktu karena dua kali lebih cepat ketimbang cara biasanya.

“Dengan sekali klik, suara langsung masuk dan otomatis terhitung. Satu jam setelah pemungutan suara selesai, hasil bisa langsung diumumkan saat itu juga,” lanjutnya.

Secara umum, memang tak ada perbedaan mencolok antara cara konvensional dengan metode digital ini. Para murid tetap mengantre per kelas, menunggu panggilan nomor urut, masuk bilik dan memilih, serta diakhiri dengan mencelupkan telunjuk ke tinta.

Bedanya, saat pemungutan suara, siswa hanya perlu mengklik pilihan mereka yang sudah disediakan di layar monitor. Pilihan-pilihan ini pun bakal langsung terhitung secara otomatis, berbeda dengan cara konvensional yang harus hitung manual terlebih dahulu.

“Sangat efektif. Semua bisa dihemat, baik dari segi anggaran maupun waktu,” tegas Sakir.

Simulasi “pemilu beneran”

Untuk level sekolah menengah, pesta demokrasi di SMP Negeri 2 Yogyakarta terlihat dipersiapkan secara serius dan masak. Diakui oleh Sakir, bahwa pemilihan ketua OSIS di sini memang dibuat semirip mungkin dengan “pemilu beneran”. Menurutnya, ini dilakukan demi memberikan edukasi politik kepada para siswanya sejak dini.

Sama seperti pemilu pada umumnya, di SMP Negeri 2 Yogyakarta juga terdapat KPU yang bertugas menjalankan seleksi kandidat. Menurut pria asal Cilacap tersebut, seleksi kandidat dilakukan dalam beberapa tahap yang berlangsung sejak Desember 2022 hingga Januari 2023.

Seleksi tahap I dimulai dari lingkup kelas. Menurut Sakir, dari masing-masing kelas (kelas 7 dan 8) diambil lima siswa terbaik. Parameter “terbaik” yang diacu adalah kemauan, keaktifan, dan nilai akademis dari siswa tersebut.

Kemudian seleksi tahap II adalah dengan mengadakan tes lisan dan tertulis kepada seluruh delegasi kelas. Pada tahap ini, setengah dari keseluruhan kandidat akan dipilih ke tahapan berikutnya.

“Dari perwakilan kelas ada 50 siswa, kemudian di tes lisan dan tertulis kita ambil 25 siswa yang terpilih,” jelas pria yang pernah bertugas sebagai Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tersebut.

Setelah itu, bakal ada tes lanjutan untuk memilih 10 besar kandidat. Saat memasuki tahap 10 besar, barulah para guru yang akan menentukan tiga kandidat terakhir melalui seleksi internal. Pada tahap ini, kandidat akan dinilai berdasarkan kepribadian, motivasi, dan visi-misi.

“Barulah disaring menjadi tiga besar. Mereka yang akan berorasi di depan siswa-siswi lain beberapa hari jelang pemungutan suara,” ujarnya.

“Kami bikin seperti pemilu beneran supaya ke depannya para siswa sudah mengerti dan tidak kaget,” tukas Sakir.

Pemilu jangan buang-buang anggaran

Seperti yang disampaikan Sakir, ada banyak benefit yang diperoleh dari pemungutan suara digital yang dilakukan sekolahnya. Salah satunya adalah efisiensi anggaran. Ada banyak pengeluaran yang bisa dipangkas karena beberapa bisa disubtitusi dengan sistem digital. Di SMPN 2 Yogya saja, biaya pemungutan suara ini bisa ditekan hingga separuh dari alokasi anggaran pemilos sebelumnya.

Selain itu, keuntungan lain adalah efektivitas waktu. Menurut Sakir, yang paling terasa adalah saat tahap rekapitulasi suara, di mana panitia tidak butuh waktu lama untuk mengetahui hasilnya.

Atas pertimbangan itu, ia pun menganggap bahwa mekanisme digital cukup ideal untuk diterapkan di lokus yang lebih luas, atau dalam hal ini: negara.

Foto Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Sakir Marwanto. (Mojok.co)

Pemilu dari Kacamata Guru cum Petugas KPPS

Berangkat dari pengalamannya sebagai petugas KPPS, ia melihat ada berbagai kekurangan dalam sistem pemilu di Indonesia saat ini. Baik itu menyoal efisiensi waktu maupun biaya.

Misalnya saja, pada Pemilu 2019 lalu, dibutuhkan waktu berhari-hari untuk mendapatkan hasil rekapitulasi suara. Bahkan, perdebatan sana-sini antara surat suara “sah” dan “tidak sah” juga kerap terjadi, yang bikin proses perhitungan menjadi lebih lama.

“Ini tidak menutup kemungkinan juga bisa timbul kecurangan, karena meskipun ada saksi, sangat mudah buat mengakalinya,” ujarnya.

Sakir pun berpandangan, hal demikian tak bakal terjadi jika penghitungan suara menggunakan sistem yang dibuat secara canggih. Perhitungan yang lama dan perdebatan surat suara “sah” dan “tidak sah”, tidak akan ada lagi.

Selain itu, pada tiap perhelatan pemilu, anggaran yang dihabiskan juga tidak pernah sedikit. Kebanyakan anggaran ini habis untuk operasional, seperti pengadaan kertas suara yang jumlahnya mencapai puluhan juta dan juga kotak suara di masing-masing DPT.

Tahun ini saja, pemerintah mengalokasikan Rp76 triliun kepada KPU untuk menyelenggarakan Pemilu 2024. Padahal, menurut Sakir, duit yang bombastis ini seharusnya bisa dialokasikan ke hal-hal substansial lain seandainya Indonesia memiliki sistem pemilu yang murah.

“Uang sebanyak itu bisa untuk membantu orang-orang miskin atau membuka lapangan pekerjaan,” kata Sakir.

“Atau, dialokasikan saja untuk pendidikan, karena masih banyak wilayah-wilayah yang belum ada sekolah ataupun akses pendidikannya masih sulit,” tegasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Setahun Menuju Pemilu 2024: Benarkah Menjadi Pesta Demokrasi Termahal di Dunia?

Exit mobile version