Saya sekeluarga suka pisang goreng. Tapi mendapatkan pisang goreng yang enak menurut lidah saya, ternyata tidak mudah. Hingga suatu saat, saya mendapatkan pisang goreng yang enak, yang dijual di dekat Pasar Colombo, Jalan Kaliurang. Kebetulan dulu kami sekeluarga mengontrak rumah di sana.
Bahan pisangnya tentu saja pisang kepok, yang menjual tiga perempuan, dengan bahan bakar arang. Minyaknya nisbi bersih dan kimplah-kimplah, mungkin itu yang membuat pisang goreng di sana terasa sangat istimewa. Istri saya sering takjub dengan keberanian para ibu itu saat mencemplungkan entah itu pisang, tempe, atau sukun ke wajan. Begitu dekat dan seolah tangan mereka tahan panas.
Sayang, beberapa tahun lalu, penjual gorengan tempat pisang goreng paling enak bagi lidah kami, tak bisa saya dapatkan lagi. Mungkin ibu-ibu itu berpindah tempat. Terpaksa, kami mesti berburu pisang goreng lagi.
Istri saya dan Kali, anak saya yang berusia 8 tahun, akhirnya menemukan pisang goreng yang mereka sukai. Tebak di mana? Kopi Klotok. Di Yogya, siapa yang tidak tahu Kopi Klotok? Sebetulnya Kopi Klotok adalah nama warung makan ala kampung, didirikan di tepi sawah, dengan menu makan rumahan zaman dulu. Ada lodeh, sayur jantung pisang, sayur asem, telor dadar, tempe bacem, dan semacam itu.
Warung makan ini ngehits di Yogya. Banyak pejabat makan di sana, banyak pemuda-pemudi nongkrong di sana. Kalau ke sana, mesti rela ngantre. Dan salah satu menu andalan di Kopi Klotok adalah pisang gorengnya. Dari sisi harga, sebetulnya tidak terlalu mahal. Tapi yang menjadi masalah, kami tidak mungkin saban saat ingin makan pisang goreng dengan datang ke sebuah warung makan yang jaraknya 9 sampai 10 km dari rumah kami, hanya untuk makan pisang goreng.
Akhirnya, kami memilih berburu di sekitar rumah. Seadanya saja. Toh penganan tidak harus selalu paripurna bagi lidah. Tapi semua berakhir, hingga saya mencicip pisang goreng Pak Gembor.
Sebetulnya saya tahu pisang goreng ini justru ketika saya tidak sedang di Yogya. Beberapa minggu lalu, mertua laki-laki saya meninggal dunia, dan kami sekeluarga berangkat ke Sukabumi dengan diantar sopir sekaligus teman andalan kami, Rusli. Saat kami mau balik dari Sukabumi, ada banyak penjual pisang tanduk madu di pinggir jalan. Saya sempat nyeletuk, “Pisang seperti itu,” ucap saya sambil menunjuk warung-warung yang berjejeran di pinggir jalan, “enak banget kalau dibikin pisang goreng.”
Rusli yang sedang fokus di belakang kemudi, menoleh ke arah yang saya tunjuk. Dia tahu betul, setiap informasi kuliner yang keluar dari mulut saya, adalah sesuatu yang berguna. Lho, benar. Sebagai sopir dengan ceruk konsumen wisatawan, Rusli harus siap merekomendasikan berbagai ragam kuliner, baik yang sudah banyak dikenal orang maupun yang belum. Tentu saja salah satu sumbernya adalah saya. Kali itu, yang terjadi kebalikannya. Rusli mengernyitkan muka sambil bilang, “Mas, kayaknya di dekat rumah Mas Puthut ada deh penjual pisang goreng itu….”
Saya ingat persis tidak menjawab respons Rusli. Saya saat itu capek sekali, dan di pikiran saya, mana mungkin Rusli lebih tahu soal kuliner, apalagi di dekat rumah saya, dibanding saya?
Beberapa hari kemudian, ketika saya sudah sampai Yogya, saya mesti pergi ke Pakem. Sepasang mata saya langsung terpaut dengan kios kecil di pinggir jalan dengan jejeran pisang tanduk madu, bertuliskan: Pisang Goreng Raja Tanduk. Wah, mungkin ini yang dimaksud Rusli.
Saya dan Istri lalu mencoba mencari lewat aplikasi GoFood. Ternyata ada. Nama warung di aplikasi tersebut: Pisang Goreng Raja Tanduk Pak Gembor Jakal, Kaliurang. Jakal yang dimaksud di tulisan tersebut tentu saja Jalan Kaliurang. Setelah pesanan datang, ternyata enak. Sangat pas di lidah saya. Tapi kurang pas di lidah istri saya. Istri saya memang penyuka yang berbahan pisang kepok.
Sorenya, saya membeli langsung. Penjualnya seorang ibu dan anak perempuannya. Saya membeli beberapa bungkus untuk saya bagi-bagikan ke beberapa teman. Penganan enak, bukan hanya untuk diwartakan, tetapi juga untuk dibagikan. Dari kesaksian teman-teman saya, ternyata pisang goreng itu enak bagi lidah mereka.
Suatu malam, saya membeli lagi untuk saya bawakan kepada salah satu sahabat saya di Bantul. Iseng saya unggah di akun Twitter saya. Ternyata, banyak netizen di Yogya yang sepakat bahwa pisang goreng Pak Gambor adalah salah satu yang terenak di Yogya. Sebagian masih tetap mengunggulkan pisang goreng bikinan Kopi Klotok. Kalau itu sih, meminjam istilah anak sekarang, “No debat!”
***
Sore tadi, saya beruntung ketika sedang mengantre membeli pisang goreng raja tanduk Pak Gembor, bertemu dengan pemiliknya. Dia sedang mengantar tundunan pisang di warungnya, yang terletak tak jauh dari rumah saya. Tepatnya, di sebelah utara lampu merah Merapi View, Jalan Kaliurang.
Fedo, si pemilik bisnis, sempat saya ajak ngobrol sebentar saat mobil bak terbukanya hendak pergi. Di balik kemudinya, dalam waktu yang nisbi pendek, dia berkisah tentang bisnis pisang gorengnya itu.
Pria berusia 39 tahun itu berasal dari Lubuk Linggau, Sumatra Selatan. Dia datang ke Yogya untuk kuliah di salah satu universitas swasta yang cukup terkenal di Yogya. “Tapi saya tidak lulus,” ucapnya sambil tersenyum. Begitu tidak lulus, dia memilih untuk bekerja di Yogya. Karena merasa kurang beruntung, pada tahun 2012, Fedo pergi ke Tenggarong, Kalimantan Timur, sebagai buruh di sebuah perusahaan batu bara. Di situlah dia mengenal kata “Gembor”.
Fedo dan kawan-kawannya sesama kuli, sering mengutang di sebuah warung makan. Mereka tidak tahu persis nama ibu si pemilik warung makan, tapi punya sebutan yang seragam: Bu Gembor. “Orangnya cerewet tapi baik,” begitu kenang Fedo.
Tahun 2014, Fedo balik ke Yogya. Dia membuka bisnis pisang aroma, di sekitar UGM. Tapi keberuntungan belum mendatanginya. Hingga sekira dua tahun lalu, dia memutuskan menjual pisang goreng. Ketika saya tanya kenapa memilih pisang berbahan pisang tanduk madu, Fedo memberi jawaban khas seorang pebisnis. “Kalau saya membuat berbahan pisang kepok, di Yogya ini hampir semua pisang goreng berbahan itu. Lalu apa bedanya dengan saya?”
Sebagai orang yang agak tahu soal pisang, saya mencoba bertanya, kenapa pilihannya pisang tanduk madu? Bukan pisang yang lain? Pisang tanduk madu menurut Fedo, punya rasa yang khas. “Pisangnya manis, tapi tidak bikin eneg. Dan pisangnya tahan lama. Baik ketika masih matang (belum diolah) maupun ketika sudah digoreng.”
Saya coba tes lagi, daerah mana penghasil pisang tanduk madu terbanyak? Fedo menjawab dengan tangkas: Lumajang, Sukabumi, dan Lampung. Bukan hanya itu, ia bahkan menambah beberapa informasi yang saya tidak tahu. Seperti jenis-jenis pisang tanduk, berikut karakter mereka. Saya sendiri tahunya hanya satu jenis….
Laki-laki yang selalu mengumbar senyum itu lalu menjelaskan kenapa pisang gorengnya akhirnya diberi nama Pak Gembor. “Untuk mengenang masa susah saya di Tenggarong, dan mengenang kebaikan hati Bu Gembor, maka warung pisang goreng ini saya namakan ‘Pak Gembor’. Saya cuma ganti saja dari Bu menjadi Pak. Karena saya kan laki-laki….”
Dalam waktu yang nisbi singkat, Fedo sudah punya 4 cabang. Selain di Jalan Kaliurang, pisang goreng Pak Gembor juga bisa didapatkan di Jalan Goden, Klebengan (di sekitar GOR Klebengan), dan di Tajem, Maguwoharjo. Omzetnya pun cukup memikat. Sehari bisa menghasilkan 5 juta sampai 7 juta rupiah. Pisang tanduknya didatangkan dari Sukabumi. Di awal merintis bisnisnya, Fedo mengambil sendiri ke Sukabumi. Kini, sudah ada yang mengantarkan langsung ke Yogya sehingga Fedo tak perlu repot-repot nyetir mobil bak terbuka pulang-pergi Yogya-Sukabumi.
Tenaga kerja di warung-warungnya, dikerjakan oleh keluarga dan saudaranya sendiri. Warung yang di Jalan Kaliurang, dijalankan oleh istri dan anaknya. Sedangkan yang di Jalan Godean dan di Tajem, dijalankan oleh saudaranya. Fedo sendiri memegang yang di Klebengan.
Ketika saya mengambil pesanan pisang goreng, Tyas, anak perempuan Fedo bertanya, “Mau dimuat di IG ya, Mas?”
Saya tersenyum dan mengangguk.
BACA JUGA Mencari Kenyang di Baceman Pak Sukro Tepi Kali Progo dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.
[Sassy_Social_Share]