[MOJOK.CO] “Yamaha Vega R yang berlumur dosa dan karma dan kesedihan yang menghantui.”
Sepuluh tahun yang lalu, bagi seorang buruh pabrik yang hidup ngekos, mampu membeli motor dengan hasil jerih payah sendiri adalah sebuah kebanggaan.
Kredit di zaman dulu masih dianggap mahal dan sulit prosesnya. Apalagi rumus penghitungan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) belum sepraktis sekarang, yang mana sudah menjadi hak prerogatif kepala daerah. Padahal sebagai anak kos, motor adalah kebutuhan primer mengingat layanan angkot yang tidak kooperatif dengan cepatnya dinamika hidup di kota.
Oleh karena saya tipe orang yang tidak suka muluk-muluk apalagi ambisius, ketika saya punya cukup uang untuk menebus motor di dealer, bidikan saya mengarah pada Yamaha Vega R 2005.
Seri ini adalah versi downgrade Yamaha Vega, dengan bodi belum direvisi dan penampakan yang sangat mirip dengan Yamaha F1Z R. Kombinasi warna yang saya pilih adalah biru putih seperti langit dan awan yang menawan. Sungguh cocok untuk lelaki berwajah rupawan.
Motor itu saya beli tunai dari dealer motor bekas.
Meskipun bekas, yang penting nggak kredit, batin saya waktu itu.
Tapi ya namanya membatin, sering hanya menggema di dada dan justru lepas dari jangkauan pikiran. Uang yang saya pakai buat beli motor bekas tadi separuhnya adalah hasil utang dan mesti dibayar dua bulan lagi. Dengan demikian, selepas memboyong di Vega, terpaksa saya gadaikan BPKB-nya ke sebuah koperasi simpan pinjam dengan cicilan setahun penuh. Yang artinya adalah?
Yak, saya sebenarnya sedang kredit dengan cara memutar. Pintar sekali.
Syukurlah saya tak salah pilih motor. Ciri khusus si Vega ini adalah tarikan awalnya yang lumayan mantap untuk ukuran motor bebek saat itu. Akselerasinya cukup mumpuni di putaran bawah. Mesinnya lumayan tangguh walau jika kelewat panas atau menempuh jarak jauh, tarikan gasnya makin molor, seolah kabel gasnya sepanjang sepuluh meter.
Untuk konsumsi bahan bakar, mengingat ini pabrikan Yamaha yang selalu nomor dua setelah Honda untuk masalah penghematan, Vega R cukup irit. Bisa jadi Vega R adalah motor Yamaha paling irit. Dulu, saya biasa menempuh jarak Surabaya-Pacet (60-an kilometer) cukup dengan satu setengah liter bensin alias tiga liter pulang pergi. Yang tidak enak hanya shockbreaker depan dan belakangnya yang keras dan mudah “bocor”.
Soal ke Pacet, tak kalah dengan naq milenial jaman now, sebagai buruh pabrik saya juga butuh refreshing. Yang paling sering adalah berendam air panas di wilayah Mojokerto itu. Mulai dari tengah malam hingga menjelang subuh bersama tiga kawan saya.
Sebagaimana hubungan selalu punya kisah-kisah haru (untuk menghindari kata “menyedihkan”), saya juga punya “kisah” dengan si Vega R ini.
Momen tak terlupakan sekaligus pelajaran sangat berharga dan tidak untuk ditiru itu adalah ketika saya mengendarainya dari desa di Gresik menuju Pacet.
Seperti biasa, saya dan tiga kawan saya berangkat tengah malam. Bedanya, kali ini saya memulai perjalanan dengan berbohong kepada Ibu. Kalau biasanya berangkat dari Surabaya saya hanya pamit lewat SMS, kali ini karena sudah pulang kampung dan setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan untuk mendapat izin, saya bilang saja mau nonton bareng pertandingan Liga Champions di gang sebelah.
Mungkin ini azab bagi anak durhaka, baru satu kilometer keluar dari desa, ban depan Vega R saya mendadak gembos. Beruntung, berjarak sekitar dua ratus meter ada desa lain walau pasti tukang tambal ban sudah tutup.
Kami menyusuri gang demi gang, mencari rumah tukang tambal ban setelah mendapat arahan dari seorang bapak di warung kopi.
Beberapa saat kemudian kami menemukan rumah tukang tambal ban yang dimaksud. Tentu saja karena sudah tengah malam, sang tukang sudah terlelap. Karena didesak keadaan (baca: akibat berbohong pada Ibu), kami terpaksa membangunkannya.
Tukang tambal yang hingga kisah durhaka ini selesai ditulis tak ketahuan namanya itu setengah tersenyum menerima kedatangan kami. Lima menit kemudian, setelah mengumpulkan nyawa, beliau sudah siap mengerjakan “rezeki” yang kami bawa. Dasarnya cah mbeling, setelah ban selesai ditambal, kami masih tidak mengurungkan niat pergi ke Pacet.
Sekitar pukul setengah satu, kami lanjutkan perjalanan dan lancar sampai tujuan. Usai puas berendam di kolam air panas, menjelang subuh kami bertolak pulang. Perjalanan pulang inilah yang betul-betul menegaskan bahwa karma itu ada.
Sekarang, gantian ban motor teman kami yang gembos. Beruntung ada tukang tambal ban yang siaga 24 jam di depan pintu keluar area kolam air panas. Tapi ya begitu, ongkos jasanya tiga kali lipat harga normal.
Kami masih bisa cekikikan di perjalanan pulang, belum sadar dengan dosa besar yang telah dilakukan, hingga Gusti Allah mengingatkan lagi. Rantai Vega R saya tiba-tiba lepas dari gir di jalanan menurun.
Saat itu kawan saya sebagai pengemudi belum sadar dan merasa aneh karena tarikan gas seperti tidak berfungsi. Alhasil, dia beberapa kali mbleyer-mbleyer, memutar gas maksimal untuk memastikan tarikan gas. Tak sampai dua menit, datang dua pemuda mengendarai RX King menghampiri dan langsung memepet kami.
“Ngajak resek ta, Cak!”
“Nggg…gak, Cak, sepurane. Sepedaku eror. Gak iso ngegas.”
“Yo iyolah! Lah iku rantaimu los!”
Beruntung mereka maklum dan memaafkan ketololan kami. Mereka pun putar balik dan mungkin menyesal karena lupa tidak menggampar kami terlebih dahulu. Kami memutuskan berhenti setelah jalanan tak lagi menurun. Bersamaan dengan orang-orang berdatangan ke masjid untuk salat Subuh, kami sudah dipenuhi keringat sambil sibuk berkutat membetulkan rantai Vega R di pinggir jalan.
Sudah tuntaskah peringatan dari Gusti Allah? Oh belum….
Yang terakhir ini yang paling sadis, yaitu ketika kami sampai di alas Dawarblandong yang medannya panjang, naik dan turun, penuh kelokan tajam, dan rawan kecelakaan itu.
Ndilalah, bensin Vega R saya habis. Astaghfirullah….
Saat itulah, setelah duduk menenangkan diri sambil merangkai berbagai “kesialan” sepanjang perjalanan, saya akhirnya tersadar.
Inilah akibat berbohong kepada Ibu. Seandainya beliau ada di depan saya saat itu, niscaya, telapak kakinya sudah saya cium dan saya banjiri air mata. Tapi, apa mau dikata, sejauh mata memandang hanya tampak hutan, hutan, dan hutan. Tak terlihat kios bensin eceran, pertamini, apalagi SPBU. Seandainya telapak kaki dan dengkul ini dirakit di Cina atau Jepang sekalipun, niscaya tidak akan memengaruhi rasa pegal luar biasa usai mendorong motor sampai kios bensin eceran yang akhirnya kami temukan.
Beberapa bulan setelah itu saya putuskan untuk berpisah dengan Vega R penuh “dosa” ini. Saya jual kepada makelar. Lah kok ujung-ujungnya orang sekampung sendiri yang beli? Duh Gusti, tiap kali lihat Vega R mantan itu lewat di depan rumah, saat itu pula dosa masa lalu terasa menghantui….