[MOJOK.CO] “Di hadapan sepeda Family, Wimcycle masih bisa mengaku ‘heboh’, tapi tidak di hadapan Ninja, Satria, dan Vixion.”
Cerita ini dimulai pada sore hari sewaktu saya masih kelas 5 SD. Tanpa angin, hujan, maupun pengumuman di toa masjid terlebih dahulu, sehabis Asar Emak memanggil saya.
“Van, kamu mau sepeda baru nggak? Itu sepedamu yang sekarang sudah sering copot rantainya. Mandi sana, habis itu ke Toko Merdeka,” demikian kata Emak dalam bahasa Jawa.
Tanpa babibu, langsung saya mandi, ganti baju, dan berangkat ke Toko Merdeka dengan berboncengan motor sama Emak.
Sesampainya di sana, bingunglah saya mau pilih sepeda yang mana. Merek Polygon yang sekarang di-endorse Pak Jokowi dulu harganya paling mahal. Sedangkan sepeda China, murah-murah memang, tapi gear-nya gampang rusak. Akhirnya, karena keluarga saya keluarga moderat, saya memilih Wimcycle Vulcan merah yang harganya tengah-tengah. Tidak begitu mahal, tapi kualitasnya cukup baik untuk zaman itu. tidak ada pertimbangan lain karena yang memilih Emak. Soalnya dia yang bayar.
Begitulah awal perjumpaan saya dengan dia, sepeda yang biasa saja sebenarnya, punya roda cuma dua, rem tangan depan dan belakang, tingkat kecepatan 3 x 6, skok tengah yang bisa diputar untuk mengatur tingkat kelenturannya, jok asli yang sangat keras dan kemudian saya ganti, serta kemudian saya tambahkan aksesori selebor untuk menghalangi cipratan air dari ban depan dan belakang yang selebor lamanya sering patah karena tidak sengaja tertendan suatu kali.
Untuk menambah kejantanan si Merah, saya juga mengasih tanduk di kedua ujung setang. Tak ketinggalan pula stiker-stiker, yang kalau saya pikir sekarang kok tak jelas maksudnya, yang mungkin kelihatan keren bagi anak kecil saat itu.
Saat SD hingga SMP saya masih bangga menggunakan si Merah ini karena di Rembang, kota tinggal saya, masih banyak siswa-siswi yang bersepeda untuk pergi ke sekolah. Itulah masa ketika saya mengasah keahlian cul tangan alias naik sepeda lepas tangan. Saya masih ingat rekor pribadi itu: lepas tangan terjauh yakni dari SMP ke rumah sejauh 3 kilometer. Untung jalannya cuma lurus saja.
Masa bulan madu saya dan Wimcycle berganti dengan masa goyah bertepatan ketika saya masuk SMA. Di kota kecil ini, sudah lumrah bagi anak baru gede (ABG) untuk menuntut orang tuanya membelikan sepeda motor baru. Kalau tidak dibelikan, ancamannya mogok sekolah.
Inilah saat-saat banyak sales motor mempraktikkan strategi mereka yang bukan main: menjajakan selebaran motor kredit kepada lulusan SMP yang unyu-unyu. Saya, sebagai anak yang tahu diri, diam saja meski sebenarnya ya kepengin juga. Orang tua sendiri sepertinya kewalahan karena di adik saya juga masuk SMP dan butuh biaya untuk daftar ulang, uang gedung, SPP, beli bahan seragam, dan buku baru. Memang jer basuki mawa beya betul.
Di rumah saya memang ada motor, tetapi hanya satu dan untuk bapak ngantor. Dengan ikhlas saya memutuskan untuk ke sekolah dengan tetap menunggangi si Merah. Siapa tahu bertemu kawan bernasib sama.
Di awal-awal hari MOS (Masa Orientasi Siswa), ada beberapa kawan SMA yang naik sepeda, namun yang naik motor tentu banyak sekali. Apakah semuanya sudah punya SIM? Kenapa tidak ada tilangan polisi di hari pertama masuk sekolah ? Saya yakin di sini pasti ada konspirasi antara sales motor dan pak polisi, hahaha.
Dan konspirasi masih berlanjut. Di SMA saya tidak ada parkiran sepeda, adanya hanya parkir sepeda motor. Akhirnya terpaksa saya pakirkan si Merah berdampingan dengan motor-motor keren yang masih kinyis-kinyis. Pemandangan yang ironis.
Namun, rupanya penderitaan masih berlanjut. Saat sekolah mulai berjalan normal, tetiba banyak pengendara sepeda yang beralih ke angkot dan bus tanpa saya tahu apa sebabnya. Pelan-pelan populasi sepeda yang parkir di antara motor-motor baru itu berkurang hingga akhirnya hanya tiga yang tersisa: dua sepeda jengki biru dan si Merah.
Hari-hari di SMA dengan si Merah sungguh berat kalau dikenang. Yang pertama adalah medan rute ke sekolah. Meski berjarak hanya 2 kilometer, tapi banyak bagian naik turun dan karena harus lewat jalan pantura, jangan lupa sesekali menengok ke belakang. Bukan untuk melihat masa lalu, tapi melihat kalau ada kendaraan yang motong jalan atau menyalip dari kiri. Jika itu yang terjadi, si Merah harus siap-siap buat ngebut.
Kedua, mental. Rute saya saat SMA berbarengan dengan siswa SD dan SMP. Jadi, saya harus bersiap tiap pagi menjadi tontonan mereka.
Ketiga, status. Namanya juga anak ABG, SMA pula, inilah periode saya tertarik dengan lawan jenis. Dan konon, punya motor cowok seperti Vixion, Ninja, atau Satria akan lebih memudahkan menggaet cewek, sedangkan yang memakai Supra X atau Vega harus berjuang lebih keras. Untuk yang naik sepeda? Tidak usah ditanya, saya bahkan sudah ikhlas. Apalagi ketika guru saya sampai ngomong begini di depan kelas,
“Masa-masa SMA itu menyenangkan buat para cowok. Sudah seharusnya bisalah (punya pacar), apalagi zaman sekarang ini banyak ceweknya. Di kelas ini aja cowoknya cuma sepuluh, si SN (bukan nama sebenarnya) udah bisa dapat cewek. Lha kamu, Van, jangankan pacar, jadi tukang ojek saja nggak bisa.”
Sungguh terpaku nan terpukau saya mendengar kata-kata guru itu, yang diiringi dengan keriuhan tawa teman-teman sekelas. Saya tahu itu cuma bercanda, guru tersebut pun sering berpapasan dengan saya waktu pulang sekolah karena satu rute. Saya tak merasa dipermalukan atau sejenisnya. Saya cuma baru sadar kalau saya ini mengenaskan.
Sebenarnya, ada banyak kisah-kisah lain yang bahagia, sedikit bahagia, nggak bahagia, bahkan tragis dan memilukan dengan si Merah ini, tapi tak mungkin saya utarakan semua karena nanti malah jadi novel. Yang jelas, kini saya sudah putus dengan si Merah. Ia dijual oleh Emak di awal saya kuliah tanpa sepengetahuan saya. Inilah bagian yang sebenar-benarnya tragis.