Tahun 2009, saat masih kaya, setelah kenyang berkelana dengan berjenis-jenis mobil SUV dan MPV, saya cari selingan dengan meminang sedan Honda Accord hitam. Ya, Accord yang sampai sekarang masih banyak berseliweran di jalan raya, generasi kedua dari versi terbaru yang lampu kotanya tak bisa dimatikan itu.
Untuk kategori sedan, saya pikir inilah mobil puncak yang bakalan memuaskan segala keinginan manusia belagu. Ketidakpuasan-ketidakpuasan pada pengalaman menunggangi Toyota Corolla Altis dan Honda City yang tergolong “tanggung” memang dilunasi benar oleh mobil spek tertinggi Honda ini.
Jika bepergian ke luar kota, sebutlah ke arah Surabaya yang terkenal dengan jamaah truk di seputaran Ngawi hingga Saradan dan marka jalan tak putus-putusnya (alias tanda tak boleh nyalip), kepedean saya meningkat dua ratus persen. Libas, salip, libas, salip. Jangankan cuma truk, mendahului bus Eka atau Mira pun cukup sekali bejek gas.
Kepada Accord saya menjura. Tidak kena semprit polisi akibat melindas marka jalan adalah momen langka dalam driving experience saya. Saya mengalami masa-masa satu sempritan seharga tiga puluh ribu hingga kini yang sudah jadi tujuh puluh lima ribu.
Power yang melimpah, akselerasi yang membuat putus asa para sopir Avanza, handling yang mantap, hingga top speed yang membuat Sumber Kencono/Sumber Selamat tak lebih dari ingsutan Innova belaka—menjadikan saya mantap berjanji dalam hati untuk tidak pernah menceraikan Accord. Di tol Palimanan, Cirebon, Accord sanggup ngacir sampai lebih dari 200 kilo/jam. Bejekan pedal gas masih tersisa, tapi ketabahan hati saya sudah tiada.
Tegasnya, saya merekomendasikan Anda untuk membeli Accord jika mendambakan kendaraan yang bertenaga paripurna, berakselerasi juara, sound system yang tak perlu diotak-utik lagi, suspensi tidak geal-geol macam Toyota Avanza dan Daihatsu Gran Max, dan sanggup membuat Dek Nella atau Dek Uut murah senyum seketika. Tentunya harus siap ngangsur 20 jutaan perbulan selama dua tahun dengan DP 350-an juta. Lupakan rekomendasi ini jika Anda belum menikah. Menikah sajalah dulu, sebab menikah jelas-jelas merupakan sunah Nabi dan meminang Accord hanyalah sunah kaum hedonis. Macam saya. Juga Anda, meski baru pengin.
Sayangnya, beberapa waktu kemudian saya mengalami sial tak terlupakan soal Accord hitam ini. Persis kasus almarhum Alphard saya. Setahunan dipakai, Accord pujaan mulai berulah. Kalau ngerem pada kecepatan tinggi, 120 km/jam ke atas, setir bergetar. Makin lama makin hebat. Lalu lama-lama terdengar suara gradak-gruduk dari bagian velg depan. Kanan kiri.
Ini sungguh bahaya! Rem lo ini gangguannya, begitu kata mekanik Honda kemudian. Ini pertaruhannya nyawa. Mulanya saya disarankan mengganti cakram kanan kiri depan. Saya tanya opsi lain, jawabannya dibubut saja cakramnya agar rata. Jadi, penyakit tadi disebabkan oleh piringan cakram yang tidak lagi rata. Aus. Kan kampret, baru setahunan sudah aus.
Dibubutlah piringan cakram itu. Habis sejutaan. Malang, baru sebulanan dipakai, kambuh lagi. Setir gemetaran lagi. Sungguh Accord yang mudah bergetar.
Pihak bengkel kembali menyarankan ganti cakram. Oke, kali ini saya ngalah. Ditebuslah rem cakram orisinal baru kanan kiri, karena tak boleh beli sebelah, dengan harga yang nyaris setara Ninja 1R 50 seken. Jadi, maaf-maaf kata nih, Lur, Ninja R 150 seken yang getol dijadikan senjata mbribiki cewek itu jadi selilit doang di cakram Accord. Nggak lebih ….
Prima lagilah Accord saya. Was-wus lagi. Bahagia lagi. Berkali-kali kena semprit polisi lagi di sekitaran Ngawi dan Nganjuk.
Tapi apes lagi!
Entahlah, kenapa dalam urusan mobil saya kerap sial. Sekira setengah tahun, penyakit setir gemetar itu kumat kembali. Byuh! Amblas dah Ninja R 150 seken itu. Hasil rontgen bengkel Honda sesuai dugaan saya: cakram rem aus.
“Bapak mengendarai dengan ngebut ya, sehingga ngeremnya pun keras-keras, cakramnya jadi cepat aus …,” kata kepala bengkel.
Kesel banget saya sama pernyataan itu. Suka-suka saya dong, mobil-mobil saya! Mau ngebut kek, mau bejek rem dengan dua kaki kek, mau saya jadiin gantungan kunci kek, hak saya! Kok iyig ….
Saking keselnya, saya jual langsung Accord itu. Seminggu kemudian ganti Toyota Camry. All New. Ini sebagai sikap protes saya pada Honda. Biar kapok lu, ngatur-ngatur hidup gue.
Tentu saja Camry tak kalah ciamiknya dibanding Accord. Mereka sekelas. Head to head. Meski murahan Camry sedikit harganya.
Tapi, Camry memang beda taste sama Accord. Soal power, akselerasi, handling, performa, ya sama baguslah.
Ada dua taste yang menurut saya menjadikan Accord dan Camry dua pilihan yang menentukan karakter pengemudinya.
Satu, tampilan eksteriornya. Makin lama mengendarai Camry, batin saya kok ya bawaannya makin ngebet ikutan Pilkada Bantul. Sangat cocok bila saya jadi bupati ke mana-mana naik Camry. Gayanya memang modern, tapi tetap terkesan elegan, kalem, bijaksana, dan tua.
Meski bertenaga besar, setiap berada di balik kemudi Camry, jiwa saya tiba-tiba jadi pemaaf banget gitu. Mau ada sopir Avanza ugal-ugalan di depan saya, seolah hanya dia yang paling bisa ngebut geal-geol, biarin sajalah. Beda cerita bila saya berada di balik setir Accord yang bawaannya cenderung reaktif, responsif, dan ala-ala anak muda.
Jadi, jika anda ingin jadi pribadi yang sejuk, naiklah Camry. Orang sejuk kan tidak berarti tak menyimpan kekuatan. Jika sampai ia meledak, bablaslah Anda. Camry begitu pula karakternya.
Dua, suspensi yang lembut. Ini beda sama Accord yang suspensinya lebih keras. Efek dari suspensi lembut ialah kurang kokoh di kecepatan tinggi. Goyangannya lebih terasa. Pernah Camry ini saya bawa ngacir di tol Palimanan hingga mentok gas, 200 km/jam. Goyangan suspensinya lebih terasa. Ya, sebut saja, lebih terasa limbung.
Tapi, soal ini, maklumilah. Toh sejak dari pikiran para insinyur Toyota, Camry memang didesain untuk kelompok manusia yang berkarakter elegan, kalem, bijaksana, dan tua. Sebutlah anggota dewan. Masak iya sih anggota dewan yang mulia etis untuk selebor kelakuan dan omongannya, eh, di jalan raya. Nanti orang bisa bilang gini, “Eh, tu lihat, wakil kita kok iyig nggak keruan, memalukan.” Ramashok kan.
Yang patut untuk ngebut di jalanan ya generasi yang lebih mudalah. Macam saya. Juga Anda, meski baru dalam keinginan. Jangan yang tua-tua. Dan ini diakomodasi oleh suspensi Accord yang lebih keras ketimbang Camry.
Kira-kira setahun setengah saya menjual Camry itu. Tidak ada alasan teknis sama sekali, Cuma pengin jual aja. Saya lalu membeli Accord generasi mutakhir. Semata untuk menunaikan janji lama tidak menceraikan Accord yang selalu mampu memuaskan gelegak darah muda saya untuk bejek gas di tengah malam. Kelak, kalau sudah jadi bupati, saya ganti Camry lagi, bukan Alphard, bukan Mercy rasa Innova.
Sombong ya?
Setahu saya, sombong itu kalau Anda memiliki sesuatu lalu dipamer-pamerkan dengan tujuan riya. La ini saya cerita apa adanya kok, pengalaman nyata, dan hati saya tidak bermaksud riya.
Tak percaya? Seraaah.