Selalu Kangen Naik Kereta Api Sri Tanjung Zaman Dulu yang Setiap Gerbongnya Berisi Kekacauan

Potret Sedih di KA Sri Tanjung, Kereta Murah Jogja-Surabaya yang Menolong Banyak “Wong Kalahan”. MOJOK.CO

Ilustrasi Potret Sedih di KA Sri Tanjung, Kereta Murah Jogja-Surabaya yang Menolong Banyak “Wong Kalahan” (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKereta api Sri Tanjung zaman dulu berisi kekacauan antara penumpang dan barang bawaan. Namun, entah kenapa, saya malah selalu kangen.

Beberapa belas tahun yang lalu, ketika tidak ada hal yang menarik di Jember, muncul sebuah niat baru. Saya ingin naik kereta menuju Yogyakarta dan mencari buku-buku bermutu. Ini adalah cara untuk mengusir rasa murung dan mengatur rasa bosan dari kuliah saya. Maka, kereta api Sri Tanjung yang menjadi pilihan saya. 

Ini seperti usaha untuk mencari tantangan. Naik kereta api Sri Tanjung dari Jember ke Yogyakarta medio 2009 adalah satu momen hidup yang membuat saya semakin kuat. 

Rasanya seperti sedang menyabung nasib. Saya tidur di toilet dan dengan kegagahan yang tiada tara, saya mendaku diri sudah dewasa. Hanya karena saya baru saja melahap 12 jam untuk bertahan dalam kereta yang panas, tanpa AC, dan berdesakan dengan ratusan penumpang lain. Jika kalian semua tahu, hampir semua orang, pada ingatan mereka masing-masing, menaiki kereta api Sri Tanjung belasan tahun lalu adalah sikap paling berani.

Baca halaman selanjutnya: Kereta api Sri Tanjung yang kacau, tapi menyimpan keindahan.

Kacaunya kereta api Sri Tanjung saat itu

Kalimat pembuka novel Moby Dick selalu bisa menggambarkan bagaimana rasanya naik kereta api Sri Tanjung pada akhir 2010. Saat itu, sebelum perbaikan sistem oleh Ignasius Jonan, Sri Tanjung sebagai kereta api yang melayani rute dari Banyuwangi menuju Yogyakarta, lebih mirip palagan perang daripada gerbong kereta. Jumlah penumpang dan kursi bisa berbanding 2 kali lipat. Dua kali penumpang untuk 1 kursi, belum muatan lain yang menambah sesak.

Saya ingat betul, saat itu, kereta api ini sering penuh dengan barang di setiap gerbong. Penumpang yang harus mengalah. Kardus atau kandang burung memenuhi kursi. Kursi yang seharusnya tersedia secara teratur sering diisi oleh orang yang tak memiliki tiket. Saat itu, siapa saja bisa naik meski tanpa tiket karena stasiun tak memiliki sistem check in seperti saat ini.

Kamu akan terkejut ketika melihat berbagai benda atau hewan milik penumpang. Ada sepeda lipat, trenggiling, kucing anggora, ayam kate, musang, dan saya pernah melihat 2 kursi penumpang penuh dengan karung goni yang ternyata berisi sarung. Dulu, aturan maksimal kargo penumpang itu belum ada. Asal bisa masuk, cukup, dan kamu kuat membawanya, silakan masuk kereta api Sri Tanjung.

Saya pernah bertengkar dengan bapak-bapak tua yang membawa ayam jago. Ayam sialan itu duduk di kursi saya. Setengah mati saya menunjukkan tiket bernomor, sementara dia bilang dengan muka datar. “Yang duluan, yang duduk.” Akhirnya, ibu yang duduk di sebelahnya mengalah dan mempersilakan saya istirahat. Sementara itu, di sepanjang perjalanan, si bapak tua itu duduk tegak tak peduli. Belakangan saya baru kalau dia adalah penumpang gelap yang naik dengan membayar orang dan tidak memiliki tiket.

Keindahan di balik kekacauan

Saya pernah tidur di depan toilet kereta api Sri Tanjung dalam perjalanan pulang dari Yogyakarta ke Jember. Airnya mati, bau pesing, sisa koran, dan berbagai tisu yang ada tak membuat saya jijik. Rasa lelah karena semalaman begadang, takut ketinggalan kereta, membuat saya tak bisa tidur. Tapi menariknya, saya tak sendiri, ada seseorang yang nekat membawa anak kambing di dalam toilet. Sebuah keberanian yang membikin saya jadi girang belaka.

Meski demikian ada yang unik. Sesuatu yang indah dari kekacauan itu. Misalnya, penjual makanan dan minuman yang mondar-mandir di lorong sempit, penumpang random dengan cerita yang tak diduga, hingga petugas yang menjual bir dingin dalam botol kaca dengan setengah berteriak “Wayahe! Wayahe!”. Kereta api zaman dulu ya seperti itu. Bikin kereta api Sri Tanjung makin padat dan kadang terasa sesak.

Jika ada satu hal yang membuat rindu, barangkali makanan yang berseliweran. Kamu bisa tahu sedang berada di mana hanya dari makanan yang dijual. Jika ada penjual pecel, kemungkinan kamu ada di Madiun. Kalau ada yang menjual nasi krawu, kemungkinan kamu ada di Gresik. Nah, kalau ada yang menjual suwar-suwir, kamu sedang masuk Jember. Inilah yang membuat saya kecewa ketika KAI “mengusir” para penjual makanan ini.

Kemudahan yang muncul seiring zaman

Saat ini, KAI Access memberikan kemudahan bagi calon penumpang kereta api Sri Tanjung dengan menyediakan pemesanan beragam masakan tradisional. Perkembangan ini menunjukkan bahwa hidup memang tak sedih-sedih amat. 

Meski tak ada lagi interaksi dengan penjual, tapi ya mau bagaimana lagi? Setidaknya kita bisa makan.

Untuk memesan makanan tradisional, calon penumpang dapat mengakses aplikasi KAI Access dan memasukkan booking code tiket mereka. Pemesanan bisa dilakukan secara pre-order dengan maksimal 3 jam sebelum keberangkatan di stasiun keberangkatan yang menyediakan menu pesanan. Selain itu, untuk menu pilihan kuliner khas kereta api lainnya, pemesanan dapat dilakukan maksimal 23 jam sebelum keberangkatan.

Kemudahan dalam memesan masakan tradisional ini memungkinkan para penumpang untuk menikmati hidangan favorit tanpa perlu repot mencari di luar stasiun. Barangkali dengan modernisasi, dengan segala perubahan yang ada, naik kereta api Sri Tanjung dari Jember ke Jogja, bisa memungut lagi nostalgia yang ada, minus panas terik dan segala kegilaannya.

Penulis: Arman Dhani

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Kereta Ekonomi: Pemersatu Hati yang Rindu, Pemisah Hati yang Tak Ingin Terpisah dan pengalaman menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.

Exit mobile version