MOJOK.CO – Sudah delapan tahun Jupiter MX menenami saya. Sungguh, motor ini sangat rewel. Namun, saya sudah kadung jatuh hati kepadanya.
Masih segar di ingatan saya saat seorang Komeng menerabas acara peresmian jembatan Desa Cibebek sembari menunggangi Jupiter MX. Torro Margens selaku Kepala Desa, ditemani dua orang kepercayaannya, Didi Petet dan Deddy Mizwar, bersama kerumunan warga, lari terbirit-birit ketika melihat Komeng menggeber motor dengan kubikasi mesin 135cc itu dari kejauhan dan sukses memporak-porandakan hajatan tersebut.
Sebagai penonton setia acara “Spontan” yang dibintangi Komeng, saya yang waktu itu masih kelas 6 SD selalu dibuat tertawa oleh iklan Jupiter MX. Komedian yang dikenal karena suara cemprengnya itu memperlihatkan mimik wajah yang nggak kalah kocaknya saat angin kencang menerpa wajahnya sampai bibirnya berkibar hebat dan menyobek kaos serta celana jeansnya.
Ya, itu adalah sebuah konsep iklan Yamaha untuk Jupiter MX. Berbekal jargon “Yang Lain Makin Ketinggalan”, motor ini hadir untuk menyaingi Suzuki setelah mereka menoreh sukses dengan Shogun 125 R pada pertengahan 2004 sampai 2006.
Pada masa itu, harus diakui, Shogun 125 R memang jauh lebih populer. Nggak sedikit di antara tetangga saya punya Shogun 125 R itu. Rasa-rasanya, jalanan kampung saya dipenuhi motor tersebut. Shogun 125 R memang layak dilabeli motor sejuta umat jika dibanding Jupiter MX yang waktu itu masih terbilang jarang mengaspal.
Walau Shogun 125 R lebih terkenal, entah kenapa saya nggak nyaman sama motor itu ketika mereka memilih Mamiek dari Srimulat sebagai bintang iklannya. Tanpa bermaksud menjelek-jelekkan kualitas Suzuki. Namun, jujur, saya punya kesan kalau Shogun 125 R itu justru lebih cocok buat bapak-bapak ketimbang kawula muda.
Iklan Jupiter MX memang “agak lebay”. Namun, untuk saat itu, entah kenapa malah terasa pas. Mulut yang berkibar-kibar, celana jeans robek, acara desa porak-poranda, justru sukses menggambarkan kelebihan Jupiter MX. Bikin saya makin kepingin punya motor ini.
Saya pribadi sangat suka dengan bodi ramping dan desainnya yang serba tajam. Imajinasi bocah ingusan saya pun melayang-layang dan membayangkan ketika saya dewasa mengendarai Jupiter MX yang keren itu. Seolah-olah saya adalah seorang Valentino Rossi versi low budget.
Tekad ini pun terus saya jaga sampai bangku kuliah. Setelah kehilangan Vega R dan memakai Supra Fit milik sepupu, harapan punya Jupiter MX akhirnya terwujud. Kebetulan, Jupiter MX yang saya beli saat itu keluaran 2013 varian kopling manual berbasis mesin Vixion dengan harga Rp15,5 juta. Betapa gembiranya saya ketika meminang sebuah motor yang dicita-citakan sedari kecil.
Ada rasa bangga ketika mengendarai bebek super jagoan Yamaha itu. Tenaganya berlimpah, dari putaran bawah sampai atas, bobotnya pas, dan pengendaliannya mantap. Ciri khas Yamaha banget. Tiga tahun pertama saya lewati dengan penuh kebahagiaan layaknya pernikahan yang harmonis.
Namun sayang, semuanya berubah ketika memasuki tahun keempat. Motor kesayangan saya ini rupanya mulai memperlihatkan tabiat aslinya yang “doyan jajan”. Servis berkala yang tadinya bersifat kompromis berubah menjadi momok yang menyeramkan buat dompet saya selama delapan tahun setia bersama Jupiter MX.
Permasalahan yang paling terasa ada di sektor kelistrikan dan penggerak. Untuk sektor kelistrikan misalnya, entah kenapa, bagian busi dan lampu sering bermasalah setelah masuk tahun keempat. Bahkan dalam satu tahun terakhir, saya sudah mengganti busi sebanyak tiga kali yang bikin motor sulit di-starter.
Ketika dicek, saya kerap mendapat busi yang sudah dalam kondisi karatan atau basah meski jarak penggantian komponen masih begitu dekat. Padahal, saya jarang membiarkan motor kehujanan.
Untuk sektor penggerak, rantai jadi gampang longgar meski sudah saya setel berkali-kali di pengaturan yang pas. Pembaca tahu, rantai motor saya kerap dilumasi chain lube, tapi tetap saja nggak banyak membantu. Kalau dihitung, setelah delapan tahun, saya sudah lima kali mengganti komponen rantai. Bagian kopling sama saja. Kampas kopling jadi mudah tipis dan kerap slip ketika memindahkan gigi.
Keluhan berikut yang nggak kalah krusialnya ada di sektor akomodasi. Selama tiga tahun terakhir, saya banyak menggunakan Jupiter MX ini untuk keperluan belanja. Kapasitas bagasi yang cuma muat untuk toolkit dan tingginya dek bikin saya sulit menaruh barang kendati sudah pasang hook. Bahan bakar juga ikut bermasalah. Motor ini makin nggak irit seiring pemakaian.
Mengingat motor ini memiliki kompresi yang besar ditambah belum injeksi, otomatis saya mesti merogoh kocek lebih dalam untuk membeli Pertamax. Tangki bensin yang mungil di kelasnya ini sering bikin sakit kepala. Ketika berhemat dengan mengisi Premium atau Pertalite, mesin jadi knocking atau lebih cepat panas.
Delapan tahun bersama Jupiter MX membuat saya sadar. Aspek paling penting dari sebuah motor bukan performa yang beringas, melainkan fungsi dan kepraktisan. Percuma punya motor canggih kalau akhirnya cuma bikin kita repot.
Yah, mau gimana, terlepas dari kerewelannya, Jupiter MX adalah saksi bisu dalam kondisi suka maupun duka. Walau nggak pernah berhasil membantu saya memikat hati kaum hawa, Jupiter MX ini tetap tangguh untuk menerjang segala medan. Walaupun doyan jajan, ia tidak pernah mogok meski menghadirkan banyak masalah seperti yang saya ceritakan di atas.
Buat saya, hubungan antara pengendara dan motor layaknya mengarungi kehidupan rumah tangga. Kita mungkin tertarik menikahi seseorang karena penampilan dan kepribadiannya. Namun, kita tetap harus siap untuk segala kekurangan yang melekat pada pasangan dan harus dihadapi dengan penuh kompromi.
Ah, kalau dirasakan, tidak terasa Jupiter MX setia menemani saya selama delapan tahun. Segala terima kasihku adalah milikmu. Cacat dan buruknya adalah milikku.
BACA JUGA Kenangan Manis Bersama si “Bebek Sirkuit” Jupiter Z dan kisah mengharukan bersama kendaraan lainnya di rubrik OTOMOJOK.