MOJOK.CO – Dali Mas, bus pelari Surabaya Bojonegoro ini mendapat pandangan negatif dari masyarakat karena ngebut. Gesit, seperti Sumber Kencono dulu.
Meskipun orang tua sudah tiada, saya masih sering pulang ke kampung halaman di Bojonegoro. Bagi saya, pulang bukan tentang bertemu, tapi soal merawat ingatan. Semangatnya adalah memupuk memori masa lalu agar tak hilang dimakan waktu. Minggu lalu, saya memutuskan untuk pulang dari Surabaya ke Bojonegoro menggunakan bus.
Ada banyak perusahaan otobus yang mengisi rute Surabaya Bojonegoro PP. Sebut saja Rajawali Indah, Bintang Mas, Dali Mas, Dali Prima, Margo Djoyo, Putra Mas, Dali Jaya, Widji, Jaya Utama, dan Moedah.
Namun, entah ini kebetulan atau memang berjodoh dengan Dali Mas. Ketika saya berangkat di pagi hari ke Terminal Purabaya (Bungurasih), hanya ada satu bus jurusan Bojonegoro yang sedang ngetem (menunggu penumpang), yaitu bus Dali Mas.
Bus pelari Surabaya Bojonegoro dengan tampilan bodi yang unik
Bus Dali Mas yang akan mengantarkan saya dari Surabaya ke Bojonegoro kali ini tampilannya unik. Ia memiliki poni di bagian atas. Bus dengan model seperti ini umumnya sudah menggunakan mesin penggerak belakang. Namun, bus Dali Mas masih menggunakan mesin penggerak depan (Hino AK8). Unik, kan?
Saya bisa mengenali bus ini menggunakan penggerak depan karena saat masuk dari pintu depan, ada gundukan yang membuat jalan masuk penumpang menjadi sempit. Gundukan yang posisinya berada tepat di sebelah kursi sopir tersebut adalah tempat permesinannya.
Kru Dali Mas meletakkan busa atau bantalan di atas gundukan tersebut. Kalau penumpang ramai, bantalan tersebut difungsikan sebagai kursi tambahan. Saya pernah duduk di sana. Namun, nggak sampai 30 menit, saya memutuskan untuk berdiri lagi. Bukannya gimana, duduk di atas mesin membuat pantat seperti terpanggang. Panas, Rek.
Interior bus pelari Surabaya Bojonegoro ini terlihat sederhana dengan AC model lama. Sementara untuk kursinya, membentuk sudut 90 derajat alias kaku. Tapi lumayan nyaman untuk perjalanan jarak menengah. Terbukti, di kursi keras dan kaku tersebut, saya pernah ketiduran.
Bus yang nggak kalah gesit dari Sumber Kencono
Reputasi PO Dali Mas memang kurang positif di mata masyarakat. Kalau mau repot searching di Google, Anda akan menemukan bahwa PO yang identik dengan warna merah dan krem ini mendapatkan ulasan yang buruk. Ia hanya mendapatkan “rating 3”.
Banyak yang mengeluh kalau sopir Dali Mas ugal-ugalan. Nggak hanya itu, bus Dali Mas juga pernah diamuk warga lantaran ngebut di jalan raya. Image Dali Mas kurang lebih sama dengan bus AKAP Sumber Kencono, sama-sama gesit dan was wes wos. Meminjam istilah arek Suroboyo, gas tok gak gawe ngerem, alias ngebut.
Namun, saya punya pandangan agak berbeda tentang bus pelari Surabaya Bojonegoro ini. Memang sih, saya nggak bisa menyangkal kalau bus ini sering ngebut di jalan. Akan tetapi, melempar seluruh kesalahan pada sopir bus perkara ngebut sebenarnya kurang tepat juga.
Keputusan ngebut tak mungkin datang begitu saja. Namun, kita juga perlu mempertimbangkan beberapa faktor. Misalnya, pilihan chassis, kondisi jalan, dan tuntutan perusahaan yang mengharuskan bus sampai tujuan sesuai jadwal.
Chassis Hino AK8 mendukung untuk balapan
Bagi yang belum tahu, perusahaan otobus itu hanya membeli chassis saja. Setelah itu, perusahaan otobus akan membawa chassis tersebut ke karoseri untuk pembuatan bodi. Dali Mas sendiri menggunakan chassis Hino AK8 yang termasuk murah. Maksudnya murah bagi perusahaan otobus, ya.
Nah, biasanya, bus kelas ekonomi yang menggunakan chassis ini. Alasannya, untuk kelas ekonomi, kenyamanan itu nomor dua. Hal yang utama adalah sampai tujuan. Kalau bisa sampai dengan selamat, kalau tidak ya wallahualam.
Sementara itu, bus ekonomi di Jawa Timur dan Jawa Tengah sendiri banyak yang menggunakan chassis Hino AK8. Orang Sumatera kemungkinan besar jarang melihat bus dengan Hino AK8. Chassis “murah” hanya mumpuni untuk jalan yang relatif datar dan jarang kelokan tajam seperti di Jawa Timur. Sudah jelas nggak cocok untuk jalan ala “Ninja Hattori” di Sumatera.
Meskipun Dali Mas terkenal sebagai bus pelari, saya memilih duduk tuma’ninah di bangku paling depan. Ini bukan karena saya pemberani, ya. Tapi, bus dengan front engine (chassis Hino AK8) masih menggunakan suspensi leaf spring (per daun) yang nggak ada empuk-empuknya sama sekali. Duduk di bangku belakang takutnya membuat saya lebih cepat sakit pinggang.
Sementara itu, duduk di bangku depan bus pelari Surabaya Bojonegoro ini juga mengandung risiko. Yaitu saya mendengar suara mesin yang meraung dan merasakan getarannya. Namun, di posisi ini, saya bisa mengamati cara sopir berkendara.
Ini berdasarkan penglihatan saya yang belum menggunakan kaca mata, ya. Chassis Hino AK8 memang mendukung untuk ngebut. Setidaknya, chassis ini cocok untuk bus yang diburu waktu, tapi harus tetap ngecer (menurunkan dan mengangkut penumpang di jalan) seperti bus Dali Mas ini.
Sangat responsif sehingga enak untuk stop and go
Dengan posisi penggerak depan, dekat dengan pengemudi dan transmisinya manual. Bus pelari Surabaya Bojonegoro ini tampak sangat responsif sehingga enak untuk stop and go. Setelah berhenti menurunkan penumpang, bus langsung tancap gas dengan kencang. Kalau melihat ekspresi sopir saat berkendara, tarikan bus ini sepertinya enteng. Terbukti, ketika ada bus lain yang nyalip, sopir bus langsung bisa mengejarnya.
Sudahlah dituntut tepat waktu, tarikan busnya responsif pula. Sopir mana yang kuat menahan godaan semacam itu? Hah?
Nggak hanya itu, sih. Melihat kencangnya bus pelari Surabaya Bojonegoro ini, saya kadang curiga dapur pacunya memang sudah dimodifikasi. Meskipun hanya sebatas curiga, karena sungkan mau bertanya langsung ke sopirnya.
Hino AK8 memang mempunyai prinsip kerja yang masih konvensional. Oleh sebab itu, chassis mereka menguntungkan bagi perusahaan otobus karena perawatannya mudah. Selain itu, perusahaan otobus memungkinkan memodifikasi chassis ini untuk dibuat lebih kencang dan enak untuk salip-salipan.
Akui saja, sebagai penumpang, kita juga menikmati bus yang ngebut
Sepanjang perjalanan dari Terminal Purabaya Surabaya hingga sampai di depan rumah di Bojonegoro, saya terus mencatat dalam pikiran. Jadi, saya sama sekali tidak mendengar keluhan penumpang. Nggak ada yang bilang, “Pelan-pelan, Pak Sopir.” Padahal, bus yang kami tumpangi melakukan manuver yang melanggar aturan lalu lintas.
Contohnya adalah ketika bus keluar tol Gresik dan jalanan macet parah. Sopir bus memutuskan untuk keluar dari jalur kemacetan dengan mengambil jalur di sisi seberangnya (berlawanan arah).
Terlepas dari jalanan yang memang sepi, tindakan tersebut melanggar kaidah berkendara yang baik dan benar. Sebagai penumpang, seharusnya saya atau penumpang lain menegur sopir. Tapi kami diam saja. Sejujurnya, saya, mungkin juga penumpang lainnya, justru lega karena bisa keluar dari kemacetan, meskipun tahu caranya keliru.
Mohon maaf sekali, perasaan bersalah itu ada. Perasaan ingin berseru ke sopir dan mengatakan kalau tindakan beliau berbahaya juga ada. Tapi, setan dalam diri saya mengatakan, nikmati saja privilege ini. Kamu nggak bisa mendapatkan “keistimewaan” seperti ini saat naik mobil pribadi.
Setelah keluar dari kemacetan, bus pelari Surabaya Bojonegoro ini melaju dengan kecepatan menyentuh angka di atas 100km/jam. Yah, mungkin karena jalanan sudah longgar. Kami (penumpang), ya tetap diam. Mungkin kami senang karena busnya akan sampai tujuan lebih cepat. Beruntungnya, saya memang sampai di rumah dengan cepat dan selamat.
Dua hari setelahnya, saat perjalanan balik dari Bojonegoro menuju Surabaya, saya kembali naik bus. Namun, kali ini mendapatkan bus Margo Djoyo, yang kecepatannya seperti siput. Saya duduk bersebelahan dengan bapak-bapak yang bekerja di Teluk Lamong. Kami sempat mengobrol tentang bus Margo Djoyo yang sudah tua, tapi tetap beroperasi.
Bapak di sebelah saya berkata, “Jane numpak Dali Mas lebih enak Mbak. Kenceng.”
Saya pun hanya bisa berucap, “Lho, nggak bahaya ta?”
Meskipun sejujurnya sih, saya lebih suka naik bus yang kencang. Tidak harus ngebut, tapi jangan terlalu pelan juga.
Mengurangi faktor pendukung sopir bus ngebut
Izinkan saya mengutip Milan Kundera dalam Slowness.
“Seseorang yang mengemudi dengan kecepatan tinggi akan sampai pada kondisi ekstase, dalam keadaan itu dia tidak menyadari usianya, istrinya, anak-anaknya, juga kekhawatirannya, hingga dia tidak memiliki rasa takut.”
Mungkin perasaan seperti itu juga yang dialami sopir bus Dali Mas atau sopir bus lain yang sedang ngebut. Mungkin, lho, ya.
Alih-alih hanya menyalahkan sopir, ada baiknya PO bus, pemerintah dengan regulasinya, dan kita sebagai penumpang, tidak menjadi variabel yang mendorong sopir mencapai kondisi ekstase. Dengan catatan, sopir juga harus menghargai nyawa orang lain. Kita ini bukan Super Mario, yang sekali mati masih menyimpan dua nyawa lagi sebelum benar-benar game over.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kenangan dengan Bus Sumber Kencono yang Pernah Menyelamatkan Hidup Saya dan pengalaman menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.