Selalu Ada Sugeng di Antara Eka dan Mira - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Home Otomojok

Selalu Ada Sugeng di Antara Eka dan Mira

M. Faizi oleh M. Faizi
21 November 2017
0
A A
sumber-rahayu-mira-eka-mojok-bus

sumber-rahayu-mira-eka-mojok-bus

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

[MOJOK.CO] “Memelesat dari Surabaya ke Madiun dengan bis Sugeng Rahayu.”

“Polisine ndi sik mau?” (Polisi yang tadi ke mana?)

“Ngiri, bablas.” (Belok kiri, lanjut.)

“Yakin?”

“Iyo.”

Baca Juga:

Revitalisasi, Terminal Giwangan akan Diremajakan

Dugaan Prostitusi Terselubung di eks Dolly, Pemkot Surabaya Buka Suara

Sarkam: Warkop 24 Jam di Surabaya yang Multietnis

Gagal berhenti, bis kami lanjut lagi. Lampu APILL yang menyala merah nanar dan berdiri tegak kedinginan di persimpangan pertama keluar dari Terminal Purabaya itu saya bayangkan sangat kecewa. Sugeng Rahayu membuatnya merana, dicueki begitu saja.

Pedal gas belum tandas, tapi kecepatan bis ini jelas di atas rata-rata kendaraan lain, menjelang sepertiga malam itu. Buktinya, sembilan menit kemudian, bis sudah melintasi jembatan layang Trosobo tanpa satu pun kendaraan menyalipnya. Pada 02.19, tahu-tahu kami sudah mau masuk jalan lingkar Krian; 16 menit dari Surabaya.

Jalan raya masih ramai. Mobil, truk, bis, sepeda motor, masih saja berseliweran. Pada mau ke mana mereka ya? Barangkali masih ada beberapa anak muda yang pulang pagi karena ingin menghabiskan sisa malamnya di luar rumah. Dan mungkin saja satu di antara mereka adalah pembunuh, sementara yang lainnya ada seorang waliyullah. Berhati-hatilah di jalan!

Sopir-kondektur-kernet, trio pemain jangkar, duduk di depan bersejajar, mengawal kami dalam perjalanan. Melalui cahaya lampu utama yang memantul-mantul pada papan tengara jalan atau kaca belakang mobil, saya menyadari jikalau “Mas Sugeng” 7579 ini memainkan lampu dim/jauh secara terus-terusan. Atau, jangan-jangan lampu itu memang tidak dikendalikan oleh tangan sang sopir, melainkan oleh modul piranti elektrik yang bekerja secara otomatis laksana lampu blitz, sehingga setiap ada mobil di depan, sensornya langsung berfungsi; mengedip-ngedipkannya. Dan itu artinya determinasi. Apa pun yang ada di depannya, harus didahului.

Sebetulnya, Sugeng Rahayu ini tidaklah banter-banter amat, namun “mosak-masik”-nya itu yang menyulap aura kabin jadi ngeri-ngeri sedap. Berjalan dengan kecepatan 110—115 km/jam itu bakal terasa melayang kalau kamu naik Avanza, tapi akan “b aja” saat kamu naik bis. Apa pasal?

Di antaranya adalah ukuran dan bobot kendaraan yang menjadi penyebabnya. Bis jadul cuma 8 ton-an saja bobotnya, pendek pula sasisnya. Hanya jenis (sebagian) patas yang punya bobot di atas 10 ton. Bis zaman sekarang lebih anteng karena umumnya berat kosongnya saja sudah mendekati atau bahkan lebih dari 15 ton. Demikian analisis saya setelah menimbang beberapa jenis berat kosong kendaraan yang pernah saya intip pada informasi KIR-nya.

Setiap kali ada penumpang yang naik, mereka langsung nyosor ke tengah. Heranlah saya sebab kursi terdepan kosong melompong, tak seorang pun di sana. Ataukah sebetulnya ada makhluk-makhluk tak kasat mata di situ yang hanya menampakkan diri pada orang-orang yang gamang pada kecepatan tinggi? Lucu juga sih melihat kondisi macam itu: penumpang bersebaran di belakang tapi tak satu pun mau duduk di baris bangku terdepan.

Sopir bis ini terbilang muda, 10—12-lah dengan Rio Haryanto. Adapun kelakuannya dalam mengemudi bergaya sopir-sopir “Sumber”: suka nempel-nempel dulu, lalu goyang kanan, lalu nyalip.

Saya sudah tuwuk dengan yang beginian. Masak dari pertengahan ‘90-an mau gini-gini melulu? Sejak zaman masih bernama Maju Mapan, ganti nama jadi Sumber Kencono dan kini jadi Sugeng Rahayu dan Sumber Selamat, sejak plat-nya masih kepala P, lalu ganti L, dan kini W, saya sudah kenal mereka. Perasaan, dulu-dulunya tidak begitu kok.

02:48, Mojoagung. Koh Hari Wijaya belum tidur. Ia masih membalas SMS saya beberapa waktu lalu. Akan tetapi, dia tidak tahu kalau bis yang saya tumpangi ini melintas di depan rumahnya pada saat itu.

Tujuh menit berikutnya, 02:55, bis ambil kiri, jalur baru, jalur asing. Saya kira sopir akan menggelandang para penumpang supaya salat malam dulu di Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan. Sugeng Rahayu masuk jalan kecil. Eh, ketika sampai treteg, sopir ambil kanan, menyusuri jalan kecil ke arah barat, jalan yang bersisian dengan rel kereta api, di antara ladang tebu yang manis dan kepahitannya ada pada kegelapan malam dan cerobong pabrik.

Saya tahu, ujung jalan ini adalah Jalan Gatot Subroto, namun saya tidak tahu, mengapa kami dibawa melewati jalan tersebut. Apakah ia semacam jalan kenangan bagi Pak Sopir? Ataukah ia sopir baru yang tidak beriman kepada apa pun sesembahan selain GPS? Ataukah ada suatu “aral mistis” di sekitar Jombang Lama sehingga ia harus melakukan rute gerilya?

Kernet teriak-teriak “Ja Solo, Ja Solo” di depan stasiun Jombang. Suaranya memantul, dikembalikan oleh kekosongan. Lanjut terus ke barat, sopir menginjak gas dalam-dalam. Jalannya satu arah, sepi pula. Bukannya takut, saya malah tidur pulas. Mata terbuka bertepatan ketika bis masuk Terminal Anjuk Ladang pada menit 35 setelah pukul 3.

Di sana, bis kami “nyurung” SR 7576. Apakah tadi ada peristiwa penting di antara Jombang-Nganjuk? Ia terlepas dari catatan. Bagaimana mungkin orang tidur bisa mencatat? Jam parkir sangat pendek disebabkan oleh interval keberangkatan yang sangat rapat. Kami satu atap di garasi, saingan berat di jalanan.

Sekeluarnya bis dari terminal, saya baru sadar, ada seorang perempuan pirang duduk di belakang sopir, sendirian Ya, hanya satu orang itu saja yang ada di sana, sedangkan yang lain tetap ajek di belakang. Apakah perempuan ini kontestan Fear Factor yang salah daftar atau semacam kontrol dari perusahaan otobis yang sedang menyamar?

Bis masuk jembatan timbang. Tentu saja ketemunya sama truk-truk berat. Awalnya saya heran, namun akhirnya mengerti. Semua kru turun dan mencari tukang kompresor. Saya ikut-ikutan. Mau moto, kok malu sebab awak ini sudah tua. Rupanya saluran pembuangan AC ada yang mampat, butuh semburan dari kompresor berkekuatan tinggi.

Dalam hidup keseharian, pemandangan semacam ini kerap terjadi. Ibarat orang awam politik dalam melihat realitas kekinian, suka gagap dan mudah membuat kesimpulan. Ibarat ia melihat dari jauh, itu pun kali pertama, maka ia akan beranggapan, “Ternyata bis juga ditimbang ya! Saya kira cuma bayi aja yang ditimbang di Posyandu, juga rongsokan yang ditimbang di pasar loakan.”

Orang yang berwawasan tidak akan gegabah. Dia punya banyak pertimbangan: “Mungkin sopir mengantuk dan ia mencari tempat untuk istirahat; mungkin sopir sedang nyambangi istri simpanannya; dan mungkin-mungkin lainnya.”

Sementara pakar akan membuat analisis terlebih dulu: “Bis pasti sedang bermasalah. Sopir berasumsi bahwa hanya di tempat seperti jembatan timbang itulah masalah dapat diatasi, seperti masalah pada tekanan angin (ban), filter udara, yang mana di situ pasti ada banyak bengkel kompresor besar yang buka. Kalau cari sambil jalan tentu tidak efektif dan buang waktu”.

Banyak awam politik yang karena punya kesempatan bicara apa pun secara bebas di media sosial lalu suka-suka membuat analisis persoalan dari satu sudut pandang saja, itu pun masih pula dibumbui caci-maki. Cara ini mirip dengan anggapan pertama tadi (kasus bis masuk jembatan timbang). Jika kamu adalah orangnya, maka itu bukanlah cara menunjukkan kepedulian, kamu itu sebenarnya malah pamer kekonyolan. Yang pantas dilakukan oleh awam adalah diam. Bicaralah hanya yang kamu paham.

Selesai!

Bis jalan lagi, dipacu lagi. Perempuan tadi akhirnya turun di daerah Bagor. Sebelum turun, ia menyalami sembari mencium tangan Mas Sopir, membisikkan beberapa kata dan dibalas dengan semacam “Hati-hati, Nduk” atau sejenisnya.

Begitu ia turun, bis bergerak lagi, tapi agak pelan. Sopir mendongakkan kepala, mengintip spion tengah dan spion kanan, seolah-olah ia dihantui rasa waswas dan kepikiran, bagaimana nasib si Nduk tadi. Tidak penting bagi saya untuk menebak-nebak, siapakah perempuan itu. Tak ada teka-teki silang yang harus saya isi di Minggu pagi. Saya ingat pesan guru: “Jika jantungmu penuh dengan dzikir, maka tak ada lagi waktu bagimu untuk berburuk sangka pada yang lain.”

“Wis, aman, kok! Iso nyeberang dewe, hahaha,” sambar si kernet menghibur sopir. Sudah aman, bisa menyeberang sendiri kok, katanya.

Mesin kembali menderu. “Mobat-mabit” berlangsung lagi. Kali ini, kami mengejar Mira 7207 yang barusan nyalip saat kami berhenti. Kurang tepat antagonis-protagonis di sini karena perjalanan ini bukanlah cerita pendek yang para figurannya dibuat-buat sedemikian rupa dan plotnya direka-reka agar pembaca tak dapat menduga. Ini kisah nyata perihal cinta segitiga antara Eka dan Mira dengan Mas Sugeng sebagai orang ketiga. Tokoh-tokoh ini pun padu, menyatu di lintasan yang sama, sebagaimana malam dan gelapnya, sebagaimana api dan panasnya. Akan tetapi, mereka semua punya musuh bersama, yaitu membawa bangku-bangku kosong dan tiba terlambat dengan ancaman “putar kepala”.

Hutan Saradan gelap gulita. Hantu-hantu seolah ngapurancang di tepi jalan. Dan pada setiap tikungan, di setiap ruas jalan, malaikat maut bersedekap, menyaksikan semua makhluk bernyawa yang asyik menjalani hidup namun melupakan ajalnya.

Mira berjalan zig-zag. Sugeng meladeni. Mira melesat. Sugeng membuntuti. Tunggal kyōshi bernama “Hino”, tunggal dojo bernama “AK”: susah menyalip, mustahil pula diasapi. Kesaktian hanya ada pada kemudi dan tuas percepatan. Sisanya adalah panggilan nasib, lambaian calon penumpang untuk menambah pundi-pundi perbekalan.

Di dalam kabin bis yang dingin saya justru gamang oleh rasa takut. Keinginan untuk segera bisa menunaikan ibadah haji sementara saya tangguhkan dulu hingga beberapa menit ke depan, digantikan keinginan segera sampai ke Caruban dalam keadaan selamat. Saya lebih banyak menunduk daripada melihat ke muka. Kejar-kejaran ini bagai konten dewasa dan saya merasa belum akil balig untuk menontonnya. Bukankah kejahatan dan maksiat sering kali diawali oleh melihat yang bukan-bukan?

Ini angkutan umum, membawa penumpang, bukan mengangkut hanya seorang driver di dalam kokpit atau hanya seorang rider di atas sadel. Yang dibawa di sini adalah nyawa rombongan.

Lanjut terus, keduanya melewati Patas Eka 7535 begitu saja. Ia seolah pemeran figuran yang kemunculannya hanya beberapa detik saja dalam tayangan.

Tepat pukul 04.18, kami mencapai Caruban, berbarengan dengan kumandang salawat tarhim menjelang azan. Saya menyeberang jalan, menuju Masjid Gede Al-Arifiyah. Mira sudah menjauh, Sugeng menyusulnya. Mereka hendak menuntaskan perjalanan, saya hendak bersujud untuk menyempurnakan kehambaan. Mereka bergerak cepat sebelum jalan raya menjadi sesak, dipadati orang-orang yang menyibukkan hari Minggu-nya untuk liburan dan pacaran. Saya justru bergerak lambat demi menikmati waktu jaga, sebelum pelupuk mata terhalang penyesalan.

Tags: bisbuscarubanekamadiunmirapatas malampurabayasugeng rahayuSurabaya
M. Faizi

M. Faizi

Aktivis tahlilan dalam kampung hingga antarkota antar-provinsi. Menyukai perjalanan naik bus dan menuliskan catatan perjalanannya. Menulis buku dan lagu berbagai genre, fingerstylist tapi takut kamera, banyak suka terhadap barang-barang lawas, terutama Colt T120

Artikel Terkait

terminal giwangan mojok.co

Revitalisasi, Terminal Giwangan akan Diremajakan

2 Agustus 2022
lokalisasi dolly mojok.co

Dugaan Prostitusi Terselubung di eks Dolly, Pemkot Surabaya Buka Suara

10 Juli 2022
warkop sarkam mojok.co

Sarkam: Warkop 24 Jam di Surabaya yang Multietnis

6 Juli 2022
Secuil Cerita dari Gang Dolly: Tentang Mami Lili, Sang Mucikari MOJOK.CO

Secuil Cerita dari Gang Dolly: Tentang Mami Lili, Sang Mucikari

24 Juni 2022
Jembatan Peneleh yang Bersejarah, Saksi Cinta Soekarno dan Siti Oetari

Jembatan Peneleh yang Bersejarah, Saksi Cinta Soekarno dan Siti Oetari

10 Juni 2022
Warga Surabaya Mulai Tak Percaya Polisi dan Dukun MOJOK.CO

Ketika Warga Surabaya Mulai Tak Percaya Polisi dan Dukun

1 Juni 2022
Pos Selanjutnya
gatot nurmantyo

Kata Pak Gatot Nurmantyo, Jangan Ikuti Ulama yang Bicara Kasar

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak MOJOK.CO

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak

8 Agustus 2022
sumber-rahayu-mira-eka-mojok-bus

Selalu Ada Sugeng di Antara Eka dan Mira

21 November 2017
pola pengasuhan anak mojok.co

Psikolog UGM Jelaskan Tipe Pola Asuh yang Bisa Berdampak pada Hasil Akademik Anak

5 Agustus 2022
Asrama mahasiswa Sumatra Selatan, Pondok Mesudji dalam sengketa di pengadilan. Mahasiswa menilai ada campur tangan mafia tanah.

Mahasiswa Sumsel di Asrama Pondok Mesudji Jogja Terancam Pergi karena Mafia Tanah

11 Agustus 2022
Lampu merah terlama di Jogja. (Ilustrasi Ega Fansuri/Mojok.co)

Menghitung Lampu Merah Terlama di Jogja, Apakah Simpang Empat Pingit Tetap Juara?

9 Agustus 2022
Derita Gagal SBMPTN dan (Ditolak) Perguruan Tinggi Favorit MOJOK.CO

Derita Gagal SBMPTN dan (Ditolak) Masuk Perguruan Tinggi Favorit

5 Agustus 2022
Sri Sultan Mampu Redam Konflik Pemaksaan Jilbab Secara Taktis, Bukti Jogja (Mungkin) Masih Istimewa MOJOK.CO

Sri Sultan Mampu Redam Konflik Pemaksaan Jilbab Secara Taktis, Bukti Jogja (Mungkin) Masih Istimewa

9 Agustus 2022

Terbaru

Ibu Ruswo: Pembakar Api Revolusi Dari Dapur Umum

7 Fakta Ibu Ruswo, Kurir Rahasia yang Memasok Rokok untuk Para Pejuang

14 Agustus 2022
sim c mojok.co

Susahnya Ujian Sim C: Ini Tipsnya Biar Lulus Menurut Polisi, Ahli, dan Orang yang Gagal Berkali-kali

14 Agustus 2022
Sukarni: Soekarno-Hatta, Rengasdengklok, & Lahirnya Sebuah Republik

Sukarni: Soekarno-Hatta, Rengasdengklok, & Lahirnya Sebuah Republik

14 Agustus 2022
pangkat polisi mojok.co

Memahami Kasus Brigadir J, Ini Golongan Pangkat Polisi yang Perlu Diketahui

14 Agustus 2022
Kisah Bagaimana Gus Dur “Membela” Karya Salman Rushdie MOJOK.CO

Kisah Bagaimana Gus Dur “Membela” Karya Salman Rushdie

14 Agustus 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In