Keluh Kesah Onderdil Mobil yang Mendecit Bagai Tikus Kecil

otomojok-curhat-onderdil-mobil-MOJOK.CO

[MOJOK.CO] “Kalau spare part mobil bisa ngomong, dia jujur tak akan bohong~”

Di sebuah jalan yang lebar, tapi macet; mulus, tapi berisik; rindang, tapi panas, sebuah mobil seven seater berisikan 2 gundul berjalan pelan dan ndut-ndutan seperti mau kehabisan bahan bakar. Padahal mobil tersebut jenis mobil mahal yang kalau melintas di desa bakal jadi perhatian orang-orang yang berdiri di tepi jalan. Namun, karena laporan selayang pandang ini—anggaplah—mengambil latar tempat di kota besar, saingannya dia jadi banyak. Hilang pula aura keartisannya. Ia harus bersanding dengan Range Rover, Land Cruiser, dan juga aneka rupa supercar lainnya sebagai saingan.

Ia terhenti di perempatan dengan lampu bangjo yang menyala merah. Semua orang cuek, mengurus dirinya sendiri. Hanya CCTV-lah yang ditakdirkan terus bekerja demi sebuah pekerjaan paling melelahkan: mengurus gerak-gerik orang lain. Dan di tempat itulah, obrolan ini terjadi.

Pedal Gas: “Kau tahu, siapa yang paling menderita di antara kita? Aku! Diinjak melulu demi memuaskan adrenalin si empu! Lihat saja habis ini. Tapi, aku tahu diri. Aku terima nasibku sebagai takdir. Sebaliknya, di jalan lapang yang bebas hambatan kadang aku dibiarkan menganga karena si empunya sibuk main hape. Diperlakukan begitu, kuingin berubah jadi paku.”

Rem: “Kalau curhat jangan ke aku dong, ke medsos aja sana, biar kayak tuan-tuan kita! Tapi, baiknya kau belajar sabar, Gas, jangan sensian gitu. Ingat aku ini diciptakan untuk mengimbangimu. Engkau dinjak karena wujudku. Akulah kontrol dirimu. Kau tak sendirian. Tanpa aku, mana mungkin mereka berani menginjakmu. Sesungguhnya, fungsiku adalah memberi ketenteraman batin pengemudi saat menginjakmu nancap adalah pelepasan katup katarsisnya.”

Percepatan: “Sebentar, sebentar, sebentar. Kalian ini ngomong apa? Ngomong-ngomong soal oposisi biner dan segala pasangan berganda lalu dengan entengnya melupakan statusku sebagai pihak ketiga, Gas? Rem? Coba kalian juga mikir agak pentol kepalaku tidak semakin pening: disorong-sorong, ditarik-tarik. Tahu nggak, sih, kalian ini? Semua tugasku itu ada demi mengimbangi kalian. Masa pantas kalian hanya sibuk mengurus perjuangan kalian sendiri, seolah kalianlah yang paling berjasa. Mengurus peran sendiri yang kelihatan vital lalu melihat peran lainnya tidak penting itu sungguh visi kekanak-kanakan.”

Klakson: “Hey, Ngomong aja. Sudah! Berisik itu tugasku, kalian diam saja! Jangan ikut-ikutan cerewet kayak manusia. Aku terima beban kalian di lempenganku, di membranku, di corongku. Biarkan daku disukai sopir namun dibenci oleh telinga. Sesungguhnya, aku sudah bersamadi puluhan tahun lamanya, merenung dan bertafakur, mengapa aku terlahir ke dunia ini? Mengapa aku ditakdirkan dapat tugas begini rupa? Aku tahu, aku hanyalah unsur remeh darinya yang andai tanpa diriku, kalian bertiga, bahkan sebuah mobil pun tetap disebut mobil dan tetap berjalan sesuai fungsinya. Kadang-kadang, aku benci diriku sendiri. Aku sadar, suaraku memang tidak semerdu John Lennon, tapi masa iya kalian rela nasibku seperti Kurt Cobain?”

Lampu: “Izinkan aku berempati, juga bersimpati padamu, Son. Kita-kita ini yang paling senyap, berkebalikan denganmu. Kita bicara tidak pakai bunyi, tapi menggunakan cahaya. Wajar kalau kalian tak akan paham bahasa kita karena kita sudah senior, sudah menggunakan bahasa itu sebagaimana si empunya mengenal cahaya lebih dulu ketika baru lahir daripada memahami bahasa yang dapat ditangkap oleh gendang telinganya. Iya, tho, Son? Tapi, mari kita bekerjasama. Kalian pakailah kode matematik untuk mengukur desibel dan kemampuan telinga, kita-kita akan pakai kode semiotik untuk saling memahami bahasa antar-pengguna jalan raya.”

Piston: “Son, kamu itu hanya sesekali berbunyi; dan kamu, Pu, hanya berjaya di malam hari. Sekarang, ingat, bahkan sebelum gas dan rem diinjak pun, aku sudah bekerja lebih dulu. Cobalah jangan cuma mikir yang di atas, tapi juga harus melihat ke bawah. Yang kalian anggap berat itu sebetulnya tidak seberapa ruwet dibandingkan tugasku. Luangkan waktu 10 detik untuk berpikir: jika tuan empunya lagi bernafsu lalu menginjak pedal gas sehingga meluncurlah mobil sampai 180 km/jam dan RPM-nya nyaris mencapai angka 4 x1000, betapa supercepat kerja sundal-sundulku? Bayangkan itu! Bayangkan saja andai aku punya pikiran seperti manusia, betapa pusingnya diriku. Untungnya, cara berpikirku beda.”

Oli: “Hai, Ton. Kamu tahu sama doa kuat orang dahulu? Otot kawat balung wesi. Ototnya dari kawat, tulangnya dari besi. Kalau begitu, sperma orang macam itu apa iya dari oli? Sama denganku, ditugaskan untuk melumasi kamu. Paham kamu, Ton? Piston? Gak pernah berterima kasih, naik-turun nggak tahu malu, malah nyinyir sama klakson dan lampu. Nggak usah gitu! Sekarang, kamu yang mikir! Kalau susut diriku, maka hancur dirimu.”

Ban: “Ya, mbok jangan begitu, Wan-kawan. Belajarlah bijak. Jangan sok kalian curhat kayak orang keranjingan media sosial yang ngoceh banyak dan berpikir sedikit itu. Komentar argumentum ad baculum itu mbok jangan diomongkan di sini, malu sama manusia. Tugas kita beda-beda, tapi semuanya saling mendukung. Iya, kan? Kalau mau penting-pentingan dan susah-susahan, tentu aku yang menang. Aku dan oli adalah yang paling sering diganti. Kita ini sama-sama selalu panas dalam menghadapi kenyataan. Oli panas bersama piston dan aku panas bersama aspal. Tapi, kalau mending-mendingan, masih mending kamu, Li, karena kamu panas-panasan dengan keluarga sendiri sementara aku bermain panas dengan liyan. Kamu stabil dalam suhu dan perputaran, sedangkan aku naik turun bergantung medan dan jalan. Lebih-lebih jika takdirku bersama orang-orang yang pelit dan miskin: dipaksa terus berputar meski galur tapakku sudah tak kelihatan, hingga tapak permukaanku seperti pipi none-none, seperti ban dalam yang dipasang di luar. Sabar dan bijaklah, kawan.”

***

Lampu bangjo kembali hijau dan mobil-mobil pun kembali berjalan, tetap pelan dan ndut-ndutan.

“Ma, Papa kok curiga, ya! Kayaknya, mobil kita ini banyak curutnya, berisik banget.”

“Papa kebanyakan minum paracetamol, ya? Kurang bagus buat jantung, lho, Pa. Mana ada mobil bagus begini ditinggali curut. Biasanya, mobil bangsa odong-odong gitu yang jadi tempat peraduan mereka.”

Si Papa mungkin tipe orang yang kurang suka nguping hal remeh-temeh, terlalu serius nonton televisi dan baca koran. Sebab itulah, si Papa akhirnya nguping mobilnya sendiri. Pantas saja kalau ia mendengar obrolan rahasia onderdil mobilnya.

“Tapi, Papa yakin, kok. Papa sering dengar bunyi-bunyi di mobil ini, seperti orang bercakap-cakap tentang konsep negara ideal, konsep nganu, konsep macem-macem deh, percakapan yang nggak perlu-perlu amat tetapi diulang-ulang melulu.”

“Ya, sudah, Pa, kalau gitu parkirin saja mobil ini. Nanti kita beli mobil baru.”

***

Akhirnya, setelah Papa dan Mama itu tiba di rumah, mobil yang mereka duga banyak curutnya itu dimasukkan ke neraka: tempat parkir yang sepi, di dalam sebuah garasi yang jauh dari rumah, sebuah gudang besar tempat mereka menyimpan koleksi-koleksi terbaik “ciptaan-manusia-beroda-empat”.

Sekarang, di tempat yang asing dan dingin itu, tidak ada satu pun yang bicara. Semuanya diam. Onderdil-onderdil telah menyesal karena telah berlaku cerewet selama ini. Saatnya, bodi mobil yang ambil jatah berkhutbah di dalam keheningan: “Sekarang, kita semua sadar, alangkah menderita jika kita diperlakukan begini rupa, diperlakukan tidak sepantasnya. Dikira kita ini barang mati dan tidak berperasaan? Kita punya nyawa, yaitu masa kedaluarsa dan batas maksimal pemakaian. Kini, kita tinggal menunggu waktu untuk menjadi sampah. Dan kita akan lebih menderita karena amal perbuatan kita tidak pernah diperhitungkan, padahal andai saja kita masih bekerja untuk kebaikan-kebaikan, bukan mustahil kita boleh ikutan manusia masuk ke surga. Amal kita akan dilupakan, makanya dimasukkan ke neraka ini. Adapun bobot tubuhku hanya ditimbang, masuk ke tukang loakan.”

Semua terdiam, semua menyimak. Pedal gas dan rem, tuas percepatan, lempeng klakson, ban, bohlam lampu, maupun jeroan mesin mobil seperti piston, dan oli, semuanya tak bicara lagi. Hingga akhirnya, Bodi berkata lagi, “Gitu emang kalau cerewet: banyak omong, banyak salah, tahu!”

Exit mobile version