MOJOK.CO – Yang bikin mobil BMW E28 520i ini beli-able bukan dari peformanya. Tapi the way it looks.
Kalau Anda sudah nonton Mission Impossible yang baru, pasti Anda ingat scene Mas Ethan lagi kejar-kejaran pakai mobil tua warna hijau lumut tapi nggak imut itu. Kira-kira Anda tahu nggak itu mobil apa? Sini saya kasih tahu. Jadi itu namanya mobil BMW 535i dengan kode bodi E28. Yang mana saya memiliki pengalaman yang nggak penting-penting amat dengan mobil eksekutif muda pada zamannya ini.
Sedikit sejarah tentang mobil ini, mobil ini adalah BMW 5-series produksi 1981-1987 yang  pertama kali menggunakan konfigurasi kokpit dengan driver-oriented. Di seri ini juga diperkenalkan untuk pertama kalinya lini M5 dari BMW. Makanya mobil ini sebenernya memiliki sejarah yang menarik. Tapi yaudahlah ya, masa lalu biarlah jadi masa lalu. Sakit kalau dikenang.
Begini ceritanya mengapa akhirnya saya bisa pakai mobil yang sama dengan Mas Ethan.
Jadi, sebelum itu, saya menggunakan mobil Datsun Go. Nah, suatu hari di malam jumat yang bukan kliwon pada November 2016, saya kecelakaan. Lho kok bisa? Makanya jangan mengemudi dikala masih dalam pengaruh alkohol ya, Mas dan Mbak. Hehehe.
Jadi mobil Datsun Go itu ringsek parah di bagian depannya. Bagaimana tidak, lha wong yang saya tubruk itu truk tronton dari belakang. Nggak nangung-nangung, dengan kecepatan 120 km/jam. Sehingga nggak mengherankan kalau akhirnya ringsek. Ajaibnya, saya nggak luka sedikit pun berkat kuasa Tuhan.
Lantas dengan uang asuransi yang cuma dua-per-tiga harga si Datsun Go ini, saya bingung kira-kira bisa buat beli mobil apa, ya?
Kemudian saya nonton filmnya Mas Iko Uwais yang legend banget dan warbyasah melalui situs streaming ilegal. Di situ saya melihat ada BMW putih yang lampu depannya gemes. Dengan bermodalkan nanya sama kawan yang paham soal BMW, akhirnya saya tahu kalau mobil itu namanya BMW E28. Bentuknya yang lucu, akhirnya menggoda saya untuk mencari mobil tersebut di situs jual beli.
Dengan perjuangan yang nggak berat-berat amat, dapatlah saya mobil E28 ini. Tapi yang 520i. Warna hitam.
Lha, kok bukan yang 535i?
Hehehe, mahal, Sis~
Ketika saya bawa pulang mobil tersebut, terjadilah perang sipil antara saya dan Bapake. Hal ini karena ketidaktahuan keluarga saya mengenai mobil Eropa. Jadi, Bapake yang memang die-hard fans dengan brand penyedia mobil tragedi Setya Novanto, menganggap sedan gemes ini adalah onggokan sampah yang tidak reliable dengan sparepart yang super mahal dan langka.
Ya, memang tidak dapat dipungkiri, di awal saya bawa, kondisinya agak menyedihkan dengan karat di mana-mana, cat yang tidak layak, dan mesin yang batuk-batuk karena lupa dikasih Konidin sama Pak Haji.
Singkat cerita, setelah 5 bulanan mencari tempat restorasi yang tepat, saya putuskan untuk restorasi sendiri. Ehm, kebetulan saya sempat nyambi jadi tukang las dan tukang cat. Jadi yoweslah, rapapa koyoke nek tak garap dewe. Eh, sama dibantuin temen saya juga ding.
Penyakit mobil lucu ini kebanyakan berada di bagian dek dan body. Di mana karat sudah membangun kerajaan sebesar Kerajaan Sisingamaraja.
Sedangkan untuk bagian mesin, mobil ini memiliki mesin berkode M20 dengan kapasitas 2000cc Naturally Aspirated. Yang sering dibilang mesin banci. Pasalnya, ini adalah kapasitas mesin 6 silinder yang paling kecil. Udah lemot, boros pula.
Tapi saya nggak perlu sedih-sedih amat masalah ini, karena transmisi 5 kecepatan dari mobil ini memiliki flywheel bawaan pabrik yang paling enteng sedunia. Jadi tarikan sebenarnya mantep dan enteng. Kondisi standar, akselerasi 0-100 km/jam dapat ditempuh selama 8,5 detik dengan menggunakan timer iPhone.
Alhamdulillahnya, mesinnya termasuk yang bandel dan reliable ternyata. Sebenarnya, hampir semua BMW mesinnya itu memang awet kalau sudah tua. Selama saya pakai mobil ini, cuma turun mesin sekali gara-gara memang dari awal mobil ini tidak begitu terawat.
Bicara soal kaki-kaki pun, termasuk yang lumayan bandel asalkan mobil ini tidak dipakai di Hambalang dengan kecepatan tinggi.
Kalau tentang kecepatan, saya suka yang cepat. Asal keluarnya nggak cepat. Hehehe. Saya merasa mobil ini sudah cukup mumpuni meski dibilang lemot. Ada saat di mana Tol Jagorawi sangat sepi dan saya berhasil menembus kecepatan… ehm… anu… 210 km/jam.
Ya memang tidak fantastis seperti BMW baru yang dijual di dealer sekarang, sih. Tapi setidaknya masih bisa ngadepin Avanza dan ngintilin Camry lah ya.
Oh iya, dengan setting-an yang tepat, mobil ini pun bisa irit. Jakarta-Bandung plus jalan-jalan ke Dago Pakar selama 3 hari dan balik lagi ke Jakarta, saya cukup menghabiskan Rp210 ribu saja dengan bensin oktan 92.
Unique Selling Point dari mobil ini, sebenarnya bukan dari peformanya. Tapi the way it looks. Jadi, saya adalah mahasiswa di salah satu sekolah komunikasi yang banyak wanita cantiknya. Plus lelaki yang nggak kalah cantik. Hanya saya, satu-satunya orang yang menggunakan mobil ini di daerah itu.
Tinggal mengenakan kemeja flannel, jins sobek-sobek, kacamata Ray-Ban 10 ribuan, dan booom! Akan dengan mudahnya, menjadi buah bibir dan pusat perhatian para wanita (dan beberapa lelaki). Bisa nggaya 80an yang mantul dengan mobil klasik tersebut.
Semenjak saya menggunakan mobil ini, saya yang sebelumnya jomlo 4 tahun, langsung bisa deket sama perempuan, lho. Amazing kan?
Sayangnya, karena keadaan ekonomi yang sedang tidak mumpuni, saya harus melepas mobil ini. Dikarenakan pada waktu itu, pasar untuk mobil gemes ini sedang naik-naiknya. Bukan bermaksud untuk tidak menyayanginya lagi, namun saya tidak bisa menyia-nyiakan keuntungan yang bisa saya dapat, karena mobil ini ditawar dengan harga mahal.
Intinya, selama mobil ini kondisi interiornya original dan rapi, insyaalah Anda akan mendapatkan harga tinggi. Harus diakui, printilan interior mobil ini, harganya selangit.
Masalah harga, jangan harap sekarang Anda bisa menemukan mobil ini yang kondisinya mint dengan harga di bawah Rp100 juta. Tapi kalau Anda memang rajin mencari, Anda bisa menemukan mobil ini dengan kondisi yang apa adanya dengan harga 20-50 jutaan. Mahal? Memang.
Tapi dengan rasa berkendara dan status sosial yang akan Anda dapatkan, harga itu menjadi tiada artinya. Saya aja nyesel jual mobil ini, karena membuat saya nggak ganteng lagi. Ya, gimana ya, saya ini kan STMJ. Selera Tinggi, Muka Jelek. Jadi gantengnya, tergantung mobil saya.
Walau masih ada rasa nyesel itu, setidaknya saya sudah melakukan impian saya. Mengendarai mobil Eropa keliling Jakarta semalaman, dengan gadis lucu, imut, dan menggemaskan. Meski ujungnya nggak jadian juga, sih.