Bagi kamu yang lagi ngerasain quarter-life crisis, pertimbangan untuk menginvestasikan sebagian harta untuk sebuah mobil bekas bukan hal sepele. Pertanyaan dan pernyataan seperti “Emangnya worth it?”, “Apa nggak mending disimpen dulu buat keperluan lain?” atau “Selama ini pakai motor kayanya masih cukup”, pasti sering membayangi kamu setiap sesi 3am thoughts.
Segala saran dan cerita dari teman yang berpengalaman dengan masalah otomotif maupun netizen ahli investasi sudah dilahap, tapi hati masih belum yakin untuk mengeluarkan sejumlah uang dan komitmen untuk membeli sebuah mobil, yang baru maupun yang bekas. Bukannya terinspirasi malah bikin kamu dan self-doubt dengan keinginanmu sendiri.
Kalau saran mereka belum menggerakkan kamu untuk mengambil keputusan, mungkin artikel ini bisa membantu kamu untuk meyakinkan diri “Apakah beli mobil bekas worth it atau nggak”, di luar alasan teknis dan finansial.
Maret lalu, saya akhirnya memutuskan untuk mengadopsi mobil bekas di bawah Rp50 juta yang ditawarkan di iklan baris. Saya sudah mulai lupa detail proses pembeliannya, tapi informasi mobilnya adalah Hyundai Atoz tahun 2004.
Profil pengguna sebelumnya adalah seorang perempuan, dengan penggunaan sewajarnya untuk aktivitas sehari-hari. Profil ini cocok dengan kondisi mobilnya yang nggak ndakik-ndakik, biasa aja. Tanpa ada modifikasi interior maupun eksterior. Namun, ternyata, mobil bekas ini kurang diberi perhatian.
Benar saja. Kondisi rem, ban, hingga kunci pintu mulai menyita perhatian saya dalam seminggu pertama penggunaan. Saya jadi rajin main ke bengkel setiap akhir pekan selama sebulan untuk mengecek ulang data dari pengguna sebelumnya dengan apa yang terjadi di lapangan. Setelah selesai cek ulang pun, nggak jarang harus mengeluarkan biaya untuk membeli beberapa suku cadang, maupun pelumas.
Di kasus ini, semua kemungkinan terburuk dalam pembelian mobil bekas sudah terjadi. Namun, saya tetap merasa worth it dengan keputusan saya. Berikut alasan-alasannya:
Bisa jadi conversation starter
Jika mendapat kondisi yang sama seperti mobil saya ini, kamu pasti akan merasa boncos dan keluar banyak duit buat perawatan, bahkan berasa kena tipu. Bolak-balik bengkel dan keluar duit untuk perawatan nggak bakal bisa dihindari.
Jika melihatnya dari sisi yang berbeda, lewat pengalaman ini, kita bisa dapat informasi dari ahlinya beneran dan menambah pengetahuan umum tentang aki, ban, oli, dan lain-lain. Lagipula, sesekali, berinteraksi dengan pihak di luar bidang keahlian kita dapat memberi perspektif yang lebih objektif. Jadi, masalah bisa diselesaikan tanpa ada keterikatan emosional dan bias personal seperti yang terjadi jika kita konsultasi dengan teman atau kerabat dekat.
Pembayaran yang dilakukan pun bukan hanya untuk transaksi benda yang berwujud (oli, ban, suku cadang) tapi juga untuk pelayanan, dan trust. Ini adalah sebuah pengalaman yang bisa kamu jadikan bahan pembicaraan dengan para otomotif enthusiasm yang biasanya didominasi lelaki. Dengan tahu pengetahuan dasar dan memiliki pengalaman otoritas tentang aki, ban, dan oli kamu bisa mendapat rispek lebih saat PDKT dengan doi, teman kerja di kantor baru, bahkan calon mertua. Pertukaran informasi yang melibatkan emosi (kalau kamu ceritain pengalamanmu dengan menggebu-gebu dan antusias) akan memberi kesan lebih loh, FYI aja.
Bisa buat me time yang aman selama pandemi
Kondisi pandemi membuat mobilitas kita berkurang, tapi waktu luang bersama orang-orang yang tinggal bersama kamu akan meningkat. Jika tinggal bersama saudara, orang tua, maupun teman kontrakan, kamu pasti merasa perlu waktu sendiri atau private space untuk menghimpun kembali kewarasan.
Berkat mobil bekas ini, saya bisa mengambil waktu sejenak untuk nyetir sendiri keliling kota. Aktivitas keliling kota bisa kamu isi dengan menyanyi sekeras-kerasnya tanpa takut di-jugde fals dan menimbulkan keresahan pada orang lain. Kamu juga nggak usah khawatir harus berkerumun di tempat umum jika ingin merasakan kembali sensasi nongkrong.
Cukup pesan kopi dan croffle buat makan di mobil udah lebih dari cukup untuk merasa terkoneksi kembali dengan diri sendiri sebelum lanjut virtual meeting lagi. Ini worth it banget apalagi kita nggak tau pandemi ini bakal sampai kapan.
Belajar move on dan memaafkan diri sendiri
Saya termasuk orang yang sentimentil dengan barang-barang. Saya agak sulit menerapkan teori Marie Kondo saat harus menyeleksi barang-barang lama. Semua barang punya memori dan kenangan sendiri bagi saya.
Namun, semenjak ada mobil bekas ini, saya merasa ini bukan seluruhnya milik saya. Dengan saya berpikir kalau ini “bekas” orang lain, saya hanya menggunakannya secara fungsi, dan tidak terlalu melibatkan emosi (atau mungkin belum).
Saya malah merasa nggak terlalu meributkan setiap ada aksesoris baru di eksterior mobil (baca: lecet/penyok). Sebagai desainer pun saya merasa itu sudah menjadi tugas body luar mobil untuk melindungi penggunanya sampai harus lecet-lecet.
Sekalian cerita aja nih ya, sebenarnya secara personal saya nggak terlalu suka dengan orang yang terlalu mempermasalahan penampilan luar mobil. Ada yang cenderung menutup-nutupi lecetnya mobil, seakan-akan menutupi kekurangan diri sendiri karena merasa seharusnya bisa menyetir lebih baik, kurang sehat untuk kesehatan mental, Bun. Mending move on, salurkan energi itu dengan mencari cara agar tidak terulang lagi.
Saya jadi ingat twitnya akun official Twitter “You dont need unsend feature, you need to forgive your self.” Kamu nggak perlu undone lecetnya mobil, kamu hanya perlu memaafkan dirimu sendiri.
Bisa jadi filter mana teman yang beneran
Ada yang pernah bilang “Kalau kamu mau lihat sifat asli seseorang, ajaklah dia naik gunung.” Tapi nggak usah jauh-jauh naik gunung, deh. Kamu bisa ajak dia keliling ringroad lalu perhatikan dia saat merespons kebosanan apalagi pas suasana menjadi hening karena kehabisan bahan obrolan. Cara dia untuk merespons keadaan itu bisa menunjukan apakah dia mau menghabiskan waktu dan tetap merasa nyaman untuk tidak melakukan apa-apa dengan kita.
Kalau itu sudah pernah dicoba dan terasa belum valid, kamu bisa memancing dia untuk memberi pendapat tentang mobil bekas yang lagi kamu pakai. Pancing dia dengan kalimat seperti:
“Akhirnya aku beli mobil bekas ini habis nabung enam tahun.”
“Eh sori ya, pintu mobilnya agak susah dibuka.”
“Kemarin aku liat si A beli mobil, aku jadi tambah yakin beli mobil.”
Kalimat pembuka percakapan seperti itu bisa men-trigger jiwa-jiwa FOMO dan menguji self-esteem-nya. Jika cukup berani untuk mengungkit topik ini, kamu bisa melihat cara mereka merespons kekayaan materiil kamu, apalagi jika kita hidup di lingkungan yang melihat kesuksesan dari jumlah penghasilan. Apakah mereka ikut senang? Atau membanding-bandingkan dengan penghasilan orang lain? Atau memberi saran: “Mending tuh ya duitnya buat….”
Sekalinya tahu respons mereka, kamu bisa melihat apakah dia bisa diandalkan untuk dimintai bantuan dan bisa menjadi pendengar yang baik saat kita tertimpa masalah, atau cuma temen aja.
Bisa buat lihat red flag
Jika poin sebelumnya untuk menguji kedekatan sebuah hubungan antarmanusia, poin terakhir ini lebih untuk melihat motif orang-orang yang hendak mendekati kita dengan kecenderungan romance.
Untuk sister-sister di luar sana, ini bisa jadi batasan jelas untuk cowo-cowo yang punya niat untuk PDKT, loh. Jangan sampai dibutakan oleh perhatiannya sebelum melihat respons dia atas jumlah kekayaanmu.
Bakal keliatan banget mana yang memang men-support value kamu dan mana yang mundur perlahan karena udah minder duluan. Apalagi kalau doi malah kebawa emosi saat menceritakan pencapaian-pencapaiannya, mending tunda dulu deh manifesting dating ideas-nya, sis.
Buat para masbro yang belum sanggup beli mobil yang doi anggap bare minimum seperti Ayla, Agya, Brio, atau Calya bisa coba cara ini untuk menguji calon pasangan. Kamu akan tahu apakah doi hanya melihat kamu dari jumlah kekayaan, atau emang naksir lahir batin.
Nah, gimana? Worth it nggak?
BACA JUGA Berburu Mobil Bekas di Bawah 25 Jutaan untuk Kaum Low Budget dan pengalaman bersama kendaraan lainnya di rubrik OTOMOJOK.