Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Doa Salat Dhuha dan Jebakan Ritual Purifikasi Budaya Korupsi di Dalamnya

Nyimas Gandasari oleh Nyimas Gandasari
19 Mei 2019
A A
Doa Salat Dhuha dan Jebakan Ritual Purifikasi Budaya Korupsi di Dalamnya
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Sudah jelas-jelas tahu kalau harta yang didapatkan itu haram. Kok bisa-bisanya malah sok-sokan ngelakuin ritual purifikasi lewat doa salat Dhuha?

“Boleh nggak sih lafaz doa yang sudah baku dari sananya kita ralat?”

Pertanyaan itu datangnya dari salah seorang kawan. Saya agak lemot memahami pertanyaan kawan tersebut sehingga perlu merespons pertanyaannya dengan pertanyaan lagi, “Misalnya?”

Dia kemudian memperjelas dengan menyodorkan sebuah buku panduan salat wajib dan salat sunah. Dengan cepat pula ia kebet halaman yang tercantum bacaan doa salat Dhuha. Dan, saya makin bingung.

Usut punya usut, kawan saya yang mengaku baru dua kali salat Dhuha seumur hidupnya sedang menghadapi kegalauan perihal kasus ayahnya. Ayah kawan saya itu tengah menghadapi kasus dugaan korupsi di lembaga tempatnya bekerja.

“Coba perhatikan deh, ini benar ya setiap selesai salat Dhuha kita mintanya gini ke Tuhan? Bokap getol salat Dhuha, loh!”

Saya membaca dalam hati sebait doa yang disoal kawan saya itu, “Wa inkaana haraman fa thahhirhu.” Yang kira-kira punya makna “apabila (rezeki saya) haram, maka sucikanlah.”

Saya mulai paham arah pertanyaan kawan saya. Terlebih, setelah bertanya kawan saya tiba-tiba saja menangis. Duh.

Terlepas dari kasus ayahnya, saya kenal bahwa kawan saya ini orang baik. Pertanyaannya pada saya tempo hari itu, saya kira, merupakan ekspresi kekecewaan mendalam pada apa yang dilakukan ayahnya. Ia yang juga aktivis sosial mungkin kini tengah merasakan yang disebut sebagai dilema.

Tapi saya mau meninggalkan dulu kisah kawan saya yang masih bersedih itu. Saya sepakat bahwa salah satu faktor praktik korupsi di sekitar kita masih semarak, itu karena masih banyak ritual yang tampak terpuji tapi sesungguhnya mengandung jebakan yang membikin kita sulit lepas dari budaya tercela tersebut.

Misalnya, tiap akhir tahun ajaran, sebagian orangtua kerap menyampaikan rasa terima kasih atas usaha Bapak/Ibu guru yang mengajar dan membimbing anak-anaknya selama setahun penuh dengan limpahan hadiah atau materi lainnya. Rasa syukur para orangtua yang dermawan ini kerap jadi jebakan para guru di sekolah. Nggak jarang juga berdampak pada sensitivitas guru dalam melakukan penilaian yang objektif pada siswa.

Pernah, suatu kali, kawan saya yang seorang guru merasa nggak kuasa memberi penilaian buruk pada anak yang bermasalah hanya karena orangtuanya memberi perhatian dan kebaikan berlebih pada kawan saya. Puncaknya, ketika siswa tersebut seharusnya nggak naik kelas karena hasil belajarnya nggak memenuhi standar kenaikan kelas, eh kawan saya malah membuat keputusan yang ditentang banyak guru lainnya. Alasannya, “Nggak enak, mamanya X kemarin kirim parcel buah dan makanan yang enak-enak saat saya sakit.” Hmmm.

Kawan guru saya yang lainnya, beda lagi. Suatu kali, ia bertugas menjadi panitia PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) di sekolahnya. Beberapa anak dengan nilai yang kurang, menurut saya akan sulit untuk diterima di sekolahnya. Tapi ternyata kawan saya membantu agar “sistem” dalam PPDB online yang ditanganinya mau meloloskan anak-anak tersebut.

Ketika saya tanya perihal tindakannya, dengan berapi-api dia mengatakan bahwa seharusnya setiap anak punya kesempatan bersekolah di mana saja, dengan layanan yang maksimal. Bahwa konsep sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah teladan, nggak perlu ada. Anak-anak yang kurang nilainya harusnya bisa bertemu dengan anak-anak dengan nilai yang tinggi dan belajar bersama.

Iklan

Wah, saya takjub dengan pemikiran dan tindakan kawan saya itu. Sayangnya, rasa takjub itu cuma bertahan sekian detik aja ketika salah seorang wanita dengan tampilan necis menghampiri kawan saya ini dan mengaku sebagai orangtua yang dibantu olehnya.

Bukan cuma mengucapkan terima kasih, tapi wanita necis ini juga menyerahkan selembar amplop yang diterima oleh kawan saya dengan sungkan yang dibuat-buat sambil nyengir menjijikan.

“Sekadar rasa terima kasih, Pak,” kata wanita jelita itu.

Saya cuma bisa misuh dalam hati, “Itu namanya jual beli ‘bangku’, gobl*k!”

Rasa-rasanya, kita masih mampu menyebutkan sederet ritual purifikasi yang menjebak kita untuk merendahkan kepekaan kita pada perilaku curang di sekitar. Di berbagai aspek kehidupan, dalam bidang apa pun.

Apalagi, biasanya sebagian kita menyamarkannya dengan satuan “SEKADAR”, “CUMA”, “HANYA, “DOANG”, dan semisalnya, yang kadarnya—tentu saja—relatif bagi setiap orang. Dan disematkan dengan istilah saru semacam “uang rokok”, “uang terima kasih”, “uang lelah”. Haish~~~

Bentuk tindakan purifikasi lainnya barangkali mewujud dalam laku ibadah, seperti yang dikeluhkan kawan saya pada kegetolan ayahandanya dalam beribadah. Sayangnya, ibadah tersebut tak mencegahnya dari perbuatan korupsi yang saat ini sedang membelitnya.

Saya sendiri bukan sejenis makhluk yang benar-benar terbebas dari ritual-ritual purifikasi berkedok kebaikan dan ibadah. Wah, apalagi dalam bidang yang saya geluti. Sungguh, godaannya banyak. Berat, malovv~~

Suatu kali, saya hampir menerima sejumlah dana untuk membantu biaya operasional komunitas belajar yang saya kelola dari sumber yang saya duga kuat hasil money laundring. Tentu, saat pertama kali ditawari, awalnya saya nggak tahu. Namun ketika saya tanyakan lebih lanjut sumber bantuan tersebut, calon donatur keceplosan bilang bantuan itu hasil sisa proyek yang belum terpakai.

Saya langsung menolak meski digoda dengan rajukan donator bernada, “Justru kalau disalurkan ke komunitas sosial begini kan bisa membersihkan harta kami yang mungkin abu-abu. Ini sudah konsultasi dengan ustaz kami, kok.”

Hah?

Mungkin saya yang naif. Namun feeling saya mengatakan, bantuan macam itu, dengan niat awal yang tersamar macam itu, tidak perlu diterima untuk membiayai sejumlah proyek pemberdayaan di komunitas yang saya kelola.

Menolak bantuan macam itu, bukan perkara simpel. Pasalnya, beberapa kawan dalam komunitas yang saya kelola nggak melulu satu suara dan memandang hal yang sama dengan saya. Seperti yang kawan saya galaukan perihal redaksi doa yang diralat, kerap kali saya menerima saran begini dari kawan-kawan saya sendiri,

“Kalau memang takut makan harta yang abu-abu (subhat istilahnya), kan itulah fungsi kita berdoa untuk disucikan rezeki-rezeki yang kita dapatkan. Jadi, mbok ya jangan terlalu kaku.”

Saya nggak paham dengan logika macam ini. Tapi begini, berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk meluruhkan standar soal perkara-perkara abu-abu (setengah halal, setengah haram, sebagian baik, tapi ada buruknya) hingga kita kian adaptif dan menerimanya menjadi putih sekali atau hitam sekali?

Nggak ada yang tahu, kan?

Mekanisme kerja godaan barangkali selalu seperti itu. Di fase awal, mengajak kita berdansa dengan keraguan, jika kita sudah menikmati alunan ritme dan gerakan hingga ia menjadi habitus, seketika itu kita mendadak lupa untuk berhenti.

Menurut saya, jika memang kita tahu persis harta yang akan kita terima penuh dengan keragu-raguan akan sifatnya yang halal dan haram, bukankah itu semacam alarm untuk tidak perlu dekat-dekat dengannya? Menolak, sekalian. Untuk memutus rantai keraguan, tentu saja.

Apalagi, kalau kita tahu persis rezeki tersebut kita dapat dengan jalan korupsi dan curang. Lah, ya nggak perlu lagi salat Dhuha untuk menyucikannya dong!

Kalaupun kita hendak mendawamkan salat Dhuha sebagai ibadah di samping ibadah wajib, harusnya ia dilakukan sebagai bentuk kecintaan kita bertemu dengan Tuhan di pagi hari. Menemukan sejumput energi sebelum menghadapi tantangan kerja seharian. Begitu pun dengan ritual ibadah lainnya.

Bukan justru dengan niat setulus hati meminta Tuhan membersihkan harta-harta yang kita peroleh dengan curang. Cukupkan meminta kepada-Nya untuk menunjukkan yang putih adalah putih, yang hitam adalah hitam. Maka dari itu, hilang ragu-ragu layaknya gebetan yang maju mundur mau nembak nggak jadi-jadi. Eaaa~

Terakhir diperbarui pada 18 Mei 2019 oleh

Tags: ibadahkorupsipurifikasisalat dhuha
Nyimas Gandasari

Nyimas Gandasari

Artikel Terkait

korupsi politik, budaya korupsi.MOJOK.CO
Ragam

Budaya Korupsi di Indonesia Mengakar karena Warga “Belajar” dari Pemerintahnya

16 September 2025
nadiem makarim, pendidikan indonesia, revolusi 4.0.MOJOK.CO
Aktual

Kasus Nadiem Makarim Menunjukkan Kalau Lembaga Pendidikan Sudah Jadi “Inkubator Koruptor”

8 September 2025
Dear, Prabowo: Koruptor Itu Dikasih Efek Jera, Bukan Malah Diampuni.MOJOK.CO
Aktual

Dear, Prabowo: Koruptor Itu Dikasih Efek Jera, Bukan Malah Diampuni

2 Januari 2025
Gaji Besar di Kemensos Tapi Nggak Kuat Lihat Kelakuan Teman yang Korup. MOJOK.CO
Ragam

Rasanya Kerja di Kemensos: Gaji Besar, Tapi Nggak Kuat Lihat Kelakuan Teman yang Korup

5 November 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.