MOJOK.CO – Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sudah sampaikan sikapnya soal konflik Uighur di Cina. Lah kok kita masih aja pakai narasi Komunis Cina vs Islam ya?
Pada minggu terakhir penghujung tahun 2018, Dubes Cina untuk Indonesia Xiao Qian sibuk melakukan tabayun. Berselang empat hari sesudah sowan ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jumat 28 Desember kemarin Xiao Qian bersilaturahmi ke Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah buat menjelaskan permasalahan etnis Uighur di negaranya.
Sebagaimana video yang diposting akun Youtube NU Channel, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengetengahkan dua hal selepas bertemu Dubes Xiao.
Pertama, soal agama.
Kiai Said memastikan pemerintah Cina menjamin kebebasan beragama warganya sejak diterapkannya kebijakan Reformasi dan Keterbukaan oleh Deng Xiaoping sehabis mangkatnya Mbah Mao.
“Saya pun pernah ke (Cina) sana. Semua pun banyak yang sudah pernah ke sana. Para kiai, para tokoh agama, menyaksikan bagaimana masjid-masjid dibangun, imam-imam digaji dengan wajar, dan kuburan-kuburan orang Islam juga dipelihara. Kebebasan salat, kebebasan ngaji, (boleh) asal tidak di luar masjid… (dan) tidak mengganggu ketertiban umum,” terang Kiai Said yang setahu saya cukup sering kali ke Cina sembari berziarah ke situs-situs Islam bersejarah di Cina.
Kedua, perkara politik.
Kiai Said menjelaskan, “Suku Uighur itu sejak dulu, sebelum RRC sekarang, sejak masih kaisar dulu, mereka sering berontak ingin memisahkan diri dari kaisar Cina. Karena memang… gennya (Uighur) itu lebih dekat ke Asia Tengah (ketimbang Cina).”
“Maka,” lanjut Kiai Said, “kalau sikap (Uighur) itu sikap politik separatisme, kita paling (banter hanya bisa) memberikan masukan. Tidak bisa mengecam. Karena itu urusan dalam negeri. Seperti kita kalau ada pemberontakan di Papua atau di Aceh, luar negeri jangan ikut campur.”
Oleh sebab itu, pungkas Kiai Said, “(PBNU memberi masukan kepada Pemerintah Cina) agar Uighur mendapatkan haknya, dihargai eksistensinya… tanpa harus memisahkan diri dari kesatuan negara RRC.”
Senada dengan sikap PBNU, PP Muhammadiyah juga mengusulkan kepada Dubes Xiao agar “Penanganan masalah kelompok separatis Uighur hendaknya dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan, bukan militeristik.” Demikian dirilis Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti di laman Facebook pribadinya.
Intinya, kalau saya tidak gagal paham, baik PBNU maupun PP Muhammadiyah sama-sama cenderung beranggapan bahwa permasalahan utama Uighur di Xinjiang bukanlah agama, melainkan politik—yang dalam hal ini berupa gerakan separatisme.
Saya pribadi berpandangan begitu pula. Pasalnya, kalau benar yang dipermasalahkan beberapa Uighur di Xinjiang adalah persoalan agama di bawah rezim komunis, saya kira kelompok-kelompok separatis Uighur tidak akan pernah mau menerima sokongan senjata dari Uni Soviet untuk memberontak kepada Partai Nasionalis yang menguasai Cina buat mendirikan Republik Turkestan Timur pada 1944 silam.
Rakyat Republik Tukestas Timur pun, dengan demikian, mestinya bakal menolak dipimpin seorang presiden bernama Ehmetjan Qasim which is seorang anggota Partai Komunis Uni Soviet kaki tangan Stalin—sehingga menjadikan negaranya tak lebih sebagai negara satelit negeri dedengkotnya komunisme tersebut.
Uniknya fakta sejarah mengatakan sebaliknya bukan? Istri Ehmetjan Qasim, Mahinur Qasim, belakangan malah bergabung dengan Partai Komunis Cina.
Nah, itulah yang membikin puyeng Pemerintah Komunis Cina saat ini. Sebab, kendati bukan murni masalah agama, separatisme di Xinjiang justru berkelindan dengan—dan kebanyakan dilakukan oleh—kelompok-kelompok muslim Uighur yang mempunyai pandangan keagamaan yang radikal.
Para radikalis itu, kata Sekjen Komite Politik dan Hukum Partai Komunis Xinjiang Xiong Xuanguo dalam wawancara eksklusifnya dengan portal berita Phoenix yang berbasis di Hong Kong, “Hanya memakai nama agama, lantas memelintir ajarannya, dengan tujuan melakukan tindakan teror, memecah belah bangsa, untuk selanjutnya memisahkan Xinjiang dari Cina.”
Masalahnya, keluh Xiong Xuanguo, “Ketika Pemerintah menertibkan aktivitas melanggar hukum yang dilakukan mereka, mereka langsung memproduksi hoaks bahwa Pemerintah telah ikut campur (urusan agamanya), tidak ada kebebasan beragama di Xinjiang.”
Kalau kamu merasa kejadian itu mirip dengan kelakuan kelompok-kelompok tertentu di sebuah negeri yang sebentar lagi mau Pilpres? Hm, harus diakui memang iya.
Bedanya, Pemerintah Cina tidak pernah ewuh pakewuh untuk menggasak mereka.
Cuma, caranya selalu berubah-ubah seiring masa. Sesudah lama garang, berganti selow. Yang diterapkan sekarang ini yang menurut saya berkarakter wasatiyah, tengah-tengah, tidak garang tapi tidak juga selow.
Agar kamu dapat gambaran utuh konflik ini, izinkan saya bercerita garis besarnya saja.
Begini. Selama 60 tahun terhitung sejak bergabungnya Republik Turkestan Timur setelah kemenangan Partai Komunis Cina dalam perang saudara melawan Partai Nasionalis pada akhir 1949 sampai 2010, rata-rata yang menjadi petinggi Xinjiang adalah orang-orang yang bertangan besi.
Di antara mereka, yang paling ternama dan terlama menguasai Xinjiang adalah Wang Lequan. Sampai-sampai dia dijuluki “Xinjiang Wang”, Pangeran Xinjiang.
Wang Lequan—yang notabene suku Han—menjadi orang nomor satu Xinjiang sejak 1995. Kita tahu, pada era ’90-an, Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM) sebagai kelompok separatis Uighur kawakan memang sedang gencar-gencarnya melancarkan beragam aksinya. Xinjiang menjadi sangat tidak kondusif.
Makanya, tatkala pemerintah pusat pada 1996 mengeluarkan dokumen berisi arahan khusus untuk Xinjiang yang terkenal dengan sebutan “Qi Hao Wenjian” (Dokumen Nomor 7), di situ disimpulkan bahwa, “Yang menjadi penyebab utama kondusif tidaknya Xinjiang adalah separatisme dan aktivitas keagamaan yang melanggar hukum.”
Mulai saat itu, Wang Lequan langsung menitikberatkan pemerintahannya pada bagaimana agar Xinjiang bisa kondusif walau bagaimana pun caranya. Dia pilih jalur militeristik. Ada yang kelihatan radikalis dikit, bungkus, jebloskan ke penjara, atau langsung didor saja, tanpa kompromi.
Benar Xinjiang berubah kondusif seketika. Namun, hubungan antara Uighur dengan migran-migran Cina bersuku Han malah kian tegang karenanya. Terlebih, terbengkalainya pembangunan ekonomi sebab anggaran belanja daerah lebih difokuskan pada sektor keamanan, menjadikan kesenjangan ekonomi Uighur versus Han makin menganga.
Lalu meletuslah Kerusuhan 5 Juli 2009 yang memakan ratusan korban jiwa dan ribuan orang luka-luka di Ürümqi itu.
Sekitar sepuluh bulan kemudian, tepatnya pada 24 April 2010, Wang Lequan yang gahar dicopot dari jabatannya. Digantikan oleh Zhang Chunxian yang dikenal kalem.
Zhang Chunxian meninggalkan gaya-gaya militeristik Wang Lequan. Dia memakai pendekatan kesejahteraan lewat pembangunan ekonomi. Lapangan kerja untuk Uighur diperluas.
Dia sendiri sering melakukan blusukan ke daerah-daerah dan makan bareng dengan masyarakat Uighur setempat. Pejabat-pejabat Xinjiang juga diminta belajar bahasa Uighur dan pergi ke desa-desa untuk bercengkerama bersama warga.
Di waktu yang sama, pemerintah pusat semakin memperluas cakupan kebijakan yang meminta belasan provinsi maju tapi kafir di Cina buat menyedekahkan sekian persen pendapatannya untuk membantu perekonomian Xinjiang. Kebijakan yang disebut “duikou yuanjiang” ini masih berlanjut hingga kini.
Sayang, harapan untuk menumpas kelompok separatis Uighur berpaham agama radikal dengan pendekatan kesejahteraan pun tak menemui hasil yang signifikan jua.
Buktinya, 30 April 2014, tepat pada hari terakhir kunjungan Presiden Cina Xi Jinping ke Xinjiang, dua orang Uighur melakukan penyerangan dan bom bunuh diri yang mengakibatkan sekitar 3 orang meninggal dan 79 orang luka-luka di Stasiun Kereta Ürümqi Selatan. ETIM mengaku bertanggung jawab atas aksi terorisme tersebut.
Hampir sebulan berselang, 22 Mei 2014, terjadi peledakan oleh Uighur lagi yang menewaskan sedikitnya 39 orang di salah satu pasar pagi di Ürümqi.
Zhang Chunxian akhirnya didepak pada 2016. Digantikan oleh Chen Quanguo yang sebelumnya menjadi Sekjen Partai Komunis Tibet.
Di periode kepemimpinan Chen Quanguo inilah Pusat Reedukasi dan Pendidikan Vokasi—yang oleh banyak media dan pegiat HAM sebut “kamp konsentrasi”—digalakkan pembangunannya.
Mereka yang terpapar paham keagaamaan radikal, dimasukkan ke situ buat diajari nasionalisme dan pelbagai kemampuan dasar yang diperlukan dunia kerja. Iya, Pemerintah Cina masih berkeyakinan bahwa paham-paham keagamaan radikal lebih mudah dicekokkan oleh kelompok separatis kepada mereka yang pengangguran.
Di dalamnya, pasti ada “murid” yang patuh dan yang nakal. Terhadap yang bandel, kemungkinan akan diperlakukan keras selayaknya guru-guru zaman old memperlakukan anak didiknya. Tujuannya tiada lain demi kebaikan mereka kelak.
Barangkali ini adalah jalan tengah yang coba ditempuh Pemerintah Xinjiang setelah gagal menempuh jalur militeristik dan kesejahteraan: diberi kesempatan “tobat” dulu di Pusat Reedukasi dan Pendidikan Vokasi, daripada dijebloskan ke jeruji besi, atau langsung dieksekusi.
Masalahnya, informasi semacam ini yang kemudian diimpor ke Indonesia menjadi isu laten perselisihan antara Pemerintahan Komunis vs Islam. Bahkan meski PBNU dan PP Muhammadiyah sudah sepakat bahwa yang terjadi di Cina merupakan persoalan politik semata, banyak orang Indonesia yang tetap nggak mau peduli.
Apa karena kita udah kelewat terbiasa membawa segala macam urusan agama ke dunia politik ya? Jadi nggak bisa bedain yang begitu-begitu? Hm.