Gara-gara twit Akhmad Sahal, saya jadi kepo siapa sesebenarnya Hafidz Ary. Maklum, belum pernah sebelumnya saya mendengar nama itu di jagat intelektual Islam Indonesia.
Oh, ternyata Hafidz Ary itu aktivis Indonesia Tanpa JIL (ITJ). Oh, ahli twitwar yang demen nyerang-nyerang kelompok lain. Oh, orang yang di tahun 2013 pernah bilang, “….orang kafir lebih baik bunuh diri saja, toh percuma hidup lama karena ujungnya neraka juga.” Oh, orang yang kini nyinyirin gerakan #AyoMondok yang dilaunching PBNU pada tanggal 1 Juni 2015 kemarin.
Selebihnya, saya tak tahu beliyonya berafiliasi ke kepentingan apa, faksi apa, juga sanad ilmunya dari mana. Itu bukan urusan saya. Keenakan beliyonya kalau saya urusin. Nyebutin akun twiternya di sini saja pastilah saya berhak atas jubelan pahala, karena niscaya dengan segera ia akan dikepoin orang-orang se-Indonesia Raya. Kesan saya sih, beliyonya ini memang suka cari perhatian.
Tetapi, sekali lagi, ini gara-gara Gus Sahal saja. Beliau yang tulisannya dalam buku Kontroversi Khilafah bersanding dengan banyak cendekiawan muslim terkemuka, seperti Komaruddin Hidayat, jelas bukan orang sembarangan. Mateng totok di pesantren, trah kiai, plus kini menimba ilmu doktoral di Amerika.
Ada apa ini kok Gus Sahal sampai terpanggil ngajak Ary debat terbuka tentang Islam? Setelah kepo, saya pun dapat jawaban logisnya: Ary nyinyirin gerakan #AyoMondok begini:
“Gerombolan sepilis ga pantas ikut2an pake hestek #AyoMondok, mrk pantasnya pake hestek #AyoMabok #AyoMojok atau #AyoBeasiswaGakPerluPinter.”
“….Masalahnya mereka cuma pernah pesantren, belajar ilmu alat. Nah bagian ini yang dijadikan andalannya. Ini mah kosong.”
Woalah, ya pantes beliyonya ini bikin banyak orang gemes. Masih mending kalau yang nggemesin itu dedek-dedek GMZ. Ini Hafidz Ary, masak iya pantas disebut dedek Hafidz Ary GMZ. Nggak cucok, bo. Beberapa orang malah nyebut dia Stupidz Ary.
Tapi begini, Kak Ary yang pintar…
Seorang tukang tenun terbaik di Lombok yang pernah saya jumpai bulan Mei 2015 lalu, nenek berumur 65 tahun, selalu membutuhkan alat-alat untuk menenun. Alat-alat tenun di tangannya bergerak gemulai menghasilkan helai-helai kain kaya estetika bernilai jutaan rupiah. Ingat, alat-alat di tangan ahlinya yang jelas bertopang keilmuan, tradisi, pengalaman, dan penjiwaan selalu menjad kunci karya hebat.
Seorang tukang ukir terbaik dari kota Jepara sukses mengubah batang jati menjadi gebyok sedemikian mempesonanya berharga puluhan juta rupiah ya berkat alat-alat. Di tangannya, ditopang keilmuan, tradisi, pengalaman, dan penjiwaan, alat-alat bekerja sedemikian indahnya.
Sampai di sini, catat, tak ada seorang pun yang bisa menghasikan sesuatu tanpa alat. Ia harus kenal alat-alat, ahli mengoperasikannya, dan kreatif menelisik inversi-inversinya. Semua itu butuh ilmu, kemampuan, pengalaman, tradisi, dan penjiwaan.
Di pondok pesantren, sepengalaman saya nyantri di Denanyar, Jombang, nggak hanya diajari ilmu alat (Nahwu, Sharaf, Mantiq, Balaghah hingga Ushul Fiqh), melainkan juga etika, kedisiplinan, ketrampilan, hingga barakah. Nalar Kak Ary mungkin akan bengep-ndak-nyandak menyaksikan seorang santri kerjaannya bukan ngaji kayak yang lain-lain tetapi memasak, menimba air, mencuci piring, membersihkan WC, tetapi ketika pulang puluhan tahun berikutnya ia menjelma tokoh panutan masyarakat.
Kenalkan, Al-Duali. Bukan Al-Kuali lho, Kak Ary. Beliau tercatat dalam sejarah ilmu Nahwu kala berinisiatif mengharakati Alqur’an, surat al-Taubah ayat 3. Ia mendengar seseorang membaca ayat tersebut begini: “Innallaha barii’un minal musyrikiina wa rasulihi.” Artinya: “Sesungguhnya Allah membiarkan orang-orang musyrik dan rasulNya.”
Al-Duali kaget. Ini kesalahan baca yang fatal sekali, akibat buta Nahwu, sehingga maknanya berubah sedemikian telaknya. Harusnya ayat tersebut dibaca: “Innallaha barii’un minal musyrikiina wa rasuluhu.” Artinya: “Sesungguhnya Allah dan RasulNya membiarkan orang musyrik.” (Dengan dhammah, bukan kasrah, pada huruf lam di kata rasulahu).
Pada pembacaan pertama, kata rasulihi diposisikan sebagai lanjutan dari huruf wa yang mengekor pada kata musyrikiin yang dibaca kasrah karena ada huruf jar (min). Padahal, yang benar secara Nahwu, harus dibaca rasuluhu, sebab lanjutan dari huruf wa itu merujuk pada kata barii’un (bukan musyrikii
Bagi Kak Ary yang ahli elektro boleh jadi itu hal sepele. Tapi bagi yang tahu ilmu Nahwu—yang dianggap Kak Ary “kosong”, itu sangat prinsipil. Sebab sangat mempengaruhi maknanya kemudian.
Sekarang contoh ilmu Sharaf ya, Kak Ary.
Ibnu Abbas r.a., sahabat Rasul, yang dikenal luas sebagai penerjemah Al-Quran pernah kebingungan memaknai kalimat “fathirus samawati” dalam Al-Quran karena tidak mengenalnya sama sekali. Ia baru tahu makna kalimat itu setelah berjumpa dua orang Arab dari kabilah non-Quraisy dan berkata salah satunya pada Umar bin Khattab tentang sebuah sumur: “Ya Amiral Mu’minin, ana fathartuha.” (Wahai Amirul Mukminin, saya yang membuat sumur itu).
Ibnu Abbas baru ngeh saat itu kalau makna “fathirus samawati” adalah “pencipta langit”. Tentu saja, Ibnu Abbas tetap takkan paham makna fa’il “fathir” bila ia buta ilmu Sharaf, sebab orang Arab itu berkata dalam fi’il madhi (fathartu), bukan fa’il (fathir).
Lain lagi kisahnya bila sampel pentingnya ilmu alat diluaskan ke ranah fiqh, yakni Ushul Fiqh. Saya sebut satu contoh saja: ‘urf.
Abdul Wahab Khallaf bilang,‘urf adalah tradisi yang diakomodasi oleh fiqh sebagai salah satu metode penggalian hukum Islam (istinbath al-hukmy). Orang yang buta alat ini akan mati-matian menolak gaya dakwah Sunan Kalijaga—sebagai contoh. Lha di Arab nggak ada gamelan begitu. Itu bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan di neraka. Hoyooh, raimu wae bid’ah lho, Kak Ary, sebab di masa Nabi kan nggak ada muka sepertimu. Berarti Ente sudah sesat sejak lahir, sejak dalam pikiran bahkan.
Akhirnya, saya dan jutaan umat muslim Indonesia yang alumnus pesantren berharap banget Kak Ary menerima undangan Gus Sahal untuk debat terbuka itu. Ndak usah khawatir, tho. Gus Sahal sudah mengizinkan Ente pakai buku-buku terjemahan kok, sebab Ente nggak bisa baca kitab Arab. Ente kan ngentengin ilmu-ilmu alat macam Nahwu dan Sharaf, sehingga Ente bakal puyeng misahin mubtada dari khabar-nya.
Oh iya, satu lagi, Kak Ary, dalam tradisi keilmuan kiai dan santri, debat bukan untuk ber-thagut kok, tapi tabayyun al-‘ilmi. Thagut-thagutan itu, dalam bahasa orang kafir—yang kata Ente hidupnya sia-sia dan sebaiknya bunuh diri: logical fallacy. Alias, otakmu korslet.