MOJOK.CO – Di antara semua profesi yang makin lama makin tergerus oleh kemajuan teknologi, kita masih bisa berharap pada profesi satu ini: penulis satire. Kenapa begitu?
Pak Hanif Dhakiri, Menteri Tenaga Kerja memang tak sedang menakut-nakuti kaum milenial dengan pernyataanya; “bahwa 56 persen tenaga kerja di dunia akan hilang akibat dampak disrupsi teknologi.” Dan memang, hilangnya beberapa jenis profesi ini sudah mulai terasa beberapa tahun belakangan.
Misalnya, semenjak teknologi telepon genggam alias hape ada, sopir bis kecil antar-kecamatan, angkodes (angkutan desa), dan tukang becak sudah merasakan akibatnya.
“Sepi, Mas, lha gimana mau nggak sepi, orang sekarang turun kereta atau bus lebih suka telepon saudara atau teman dijemput, beres tur irit.” Itu yang saya dengar dari pengakuan Pak Sodik yang ojek terminal sekira delapan tahun lalu.
Pedagang kain di Pasar Legi, pasar terbesar di kota tempat saya tinggal juga sama. Sudah hampir dua dasawarsa terakhir pasar Legi Kidul, pusat pakaian dan kain yang pernah masyhur di kota makin sepi peminat.
Bahkan Kodin, sahabat saya kini telah melepas karier sebagai bakul kain, hampir 10 tahun lalu. Dan kini beralih profesi sebagai tenaga lepas yang dibayar khusus Pak DePeEr, untuk memilih menjadi makelar proyek.
Belum lagi berbagai aplikasi belanja online yang telah menggantikan pola berbelanja konvensional, bersamaan dengan semakin majunya teknologi smartphone.
Ya, tak ada yang abadi memang. Apalagi di jaman, yang kata para ahli zaman Revolusi 4.0. Istilah “Revolusi 4.0” ini belakangan menjadi idola para dosen dalam berbagai ceramahnya di atas mimbar kuliah, dan pejabat dalam berbagai sambutannya dalam acara peresmian gedung, peresmian pasar, dan sebagainya.
Oke, kembali ke persoalan hilangnya pekerjaan. Di antara semua profesi yang makin lama makin tergerus oleh teknologi, kita masih bisa berharap pada profesi satu ini: penulis satire. Kenapa begitu? Ya karena profesi ini adalah salah satu profesi yang susah digantikan oleh sistem kecerdasan buatan (artificial intellegence).
Pertama, humor dan satire berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia, yakni rasa aman dari ketakutan, setara dengan lapar, haus dan seks. Dengan membaca tulisan satire seperti yang sering nongol di media seperti Mojok ini (tentu saja ini kalimat penjilat biar tulisan ini dimuat) orang akan belajar menertawakan diri sendiri dan realitas.
Sama juga statusnya jika kita nonton acara komedi di televisi, kita bisa tertawa, entah menertawakan materi lawakan atau menertawakan diri sendiri. Artinya berdasar pengalaman saya, urusan ngakak, baik ditujukan bagi diri sendiri ataupun dunia di sekitar kita, kehadiran tulisan satire hampir-hampir tak tergantikan.
Meskipun ada tawaran ngakak dari berita politik di koran di televisi, namun ngakak karena nonton berita politik, masih disertai dengan perut mules—bonus getir. Oleh karena itu kebutuhan manusia untuk tertawa, pada masa depan makin lama bakalan mengalami tren naik, bersamaan dengan stress yang kian meninggi akibat hilangnya banyak pekerjaan.
Kedua, stok kompetitor di sektor ini rupanya tidak sebanyak yang berebut untuk kursi CPNS. Rupanya para calon penulis satire—bisa dibilang—tidak bertambah dengan cepat, seperti jumlah sarjana yang diwisuda di kampus abal-abal.
Apalagi media yang mau memuat tulisan masih menyediakan wadah luas bagi penulis satire yang dapat meningkatkan traffic–nya, yang itu berarti terkait dengan hidup matinya media digital. Artinya kebutuhan para penulis satire ke depan masih akan sangat tinggi.
Ketiga, bahan baku satire makin ke sini makin bejibun. Perkara-perkara remeh temeh sampai persoalan hajat hidup orang banyak ternyata mengandung sisi paradoks. Menyebalkan di satu sisi, jenaka di sisi yang lain. Hal-hal demikian yang justru membuat bahan bakar untuk materi tulisan satire semakin banyak.
Bagaimana tidak? Urusan geruduk selingkuh aja bisa jadi berita utama dan trending topic di mana-mana. Lagu Wong Edan Kui Bebas yang liriknya cuma itu saja juga menjadi viral.
Kegaduhan di dunia nyata, pun olok-olok dan kekacauan dunia maya banyak menjadi inspirasi bagi tulisan-tulisan satire. Artinya bahan baku tulisan satire tak akan pernah habis, bahkan makin lama makin menggunung.
Keempat, penulis merupakan orang-orang unik, apalagi mereka yang jago nulis satire. Banyak orang mau mencoba menulis, tapi selalu gagal dan tak mau mencobanya lagi. Terlalu banyak cobaan bagi penulis, yang hanya bisa dilakukan orang yang tahan banting, dan juga tahan lapar.
Mengapa? Bayangkan dari berpuluh-puluh kirim artikel, setelah lelah menulis, tak satu pun bisa terbit di media mainstream—atau media yang ada honornya. Apalagi bagi penulis satire, belum banyak media mau menampung model tulisan seperti ini. Hanya media-media dengan nyali tinggi saja, saya kira, yang mau menerima artikel jenis ini.
Jadi kalau nulis yang standar-standar saja kesulitan, apalagi harus bersaing di bidang penulisan satire? Bagaimana bisa tahan dengan ujian macam ini? Sementara ada pekerjaan yang dilakukan pagi hari, dan mendapat balasan penghasilan yang pantas di sore hari. Alias hal-hal yang secara konkret ada duitnya.
Keenam, lama-lama orang Indonesia ternyata makin senang baca tulisan satire. Portal kayak Mojok yang sedang kamu baca ini—misalnya, ternyata sudah menduduki posisi tinggi dalam ranking situs paling dicari oleh netizen.
Saya pernah cek ranking mereka, dan Mojok ada di posisi 150-an se Indonesia versi Alexa. Padahal media macam begini harus bersaing dengan media-media “normal” lainnya dengan jumlah sumber daya plus sumber dana jauh lebih besar.
Artinya, tren pembaca tulisan-tulisan satire juga relatif stabil. Hal yang kemudian menunjukkan bahwa pengakses tulisan satire merupakan tipikal manusia yang memiliki kesetiaan yang cukup tinggi. Bisa jadi karena tidak banyak media yang mau mengambil ceruk ini.
Oleh karena itu, saya tidak segan-segan memberi maklumat bahwa salah satu jalan menuju sukses dan hidup tanpa ancaman di era milenial adalah menjadi penulis satire. Karena cuma profesi penulis satire yang tidak bisa digantikan oleh robot atau kecerdasan buatan pada era disrupsi teknologi.
Nah, itulah beberapa alasan bagi kamu yang gagal CPNS, gagal masuk AKPOL atau AKMIL, atau DO dari kampus, mulai sekarang bisa segera belajar untuk jadi penulis satire. Sebab lapangan pekerjaan di masa depan akan banyak menanti.
Oke, jadi gimana, tulisan ini udah ada satirenya belum?