Angkringan merupakan istilah untuk warung makan kaki lima yang banyak berdiri di sekitar wilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Biasanya, angkringan berupa gerobak dorong yang dilengkapi dengan tenda atau terpal plastik untuk tempat duduk pembeli.
Kata “angkringan” berasal dari bahasa Jawa “angkring” yang berarti alat dan tempat berjualan makanan keliling yang pikulannya berbentuk melengkung ke atas. Awalnya, angkringan hanya menjual nasi kucing, yaitu nasi putih dengan lauk pauk sederhana seperti tempe goreng, tahu bacem, dan oseng-oseng. Angkringan identik dengan tempat makan yang murah meriah dan merakyat.
Seiring waktu, menu angkringan semakin beragam, termasuk gorengan, sate usus, sate telur puyuh, dan berbagai minuman seperti teh, kopi, wedang jahe, dan susu. Sebuah esai Mojok berjudul “Angkringan Palsu di Jogja Meresahkan: Dikonsep ala Kafe, Jualannya Minuman Sachet dan Tempura Sosis” sempat viral beberapa waktu yang lalu.
Frase “Angkringan Palsu” terasa menggelitik dan jadi bahan perbincangan di media sosial. Banyak yang pro maupun kontra dengan pendapat penulis artikel tersebut. Nah, Jasmerah kali ini akan bercerita tentang sejarah tentang angkringan, bersama host tamu yang juga seorang pegiat sejarah, Yosef Kelik.
Bagaimana sejarah angkringan? Di manakah lahirnya tempat nongkrong favorit anak muda satu ini? Simak video di atas sampai selesai.