MOJOK.CO – Tulisan balasan untuk esai “Mau Hijrah kok Setengah-setengah, Itu Hijrah atau Kredit Rumah?”. Walaupun isinya banyak yang sepakat, tapi ada beberapa yang bikin nggak sreg, dan itu perlu diungkapkan.
Sebagai Marketing Perumahan yang baru hijrah dari profesi lama, yakni kernet truk tangki, saya merasa tergerak untuk menanggapi artikel salah satu dari beberapa penulis mojok favorit saya, ukhti Esty Dyah Imaniar. Salim ya, Mbak? Eh bukan mahram, afwan.
Membaca judul artikel Mbak Imaniar yang terbit beberapa waktu lalu. Setidaknya ada dua hal yang saya enggak begitu sepakat. Pertama, soal hijrah setengah-setengah dan yang kedua tentu saja soal analogi sales perumahan. Meski saya enggak tahu itu memang judul dari Mbak Esty atau sudah diedit sama redakturnya sih.
Akan tetapi, anggap saja kita sepakat itu tulisan Mbak Imaniar saja agar bisa dikuliti isi tulisannya satu demi satu. Selow aja untuk yang nyimak. Nggak usah yang serius banget kayak gitu. Simpan energi antum, karena saya baru bahas judulnya, belum isinya.
Yang pertama, soal hijrah yang nanggung alias setengah-setengah.
Lha, emang kenape? Semua kan juga butuh proses, Mbak. Al-Quran saja diturunkan oleh Allah kepada Baginda Rasulullah melalui Malaikat Jibril juga sedikit-sedikit, nyicil, enggak langsung blek langsung jadi satu mushaf. Perintah untuk menjauhi khamr juga pelan-pelan, enggak langsung satset. Sahabat yang sudah terbiasa meneguk minuman yang memabukkan pun enggak terus langsung digeruduk macam tempat maksiat yang digeruduk ormas di bulan Ramadan.
Lagian, amalan yang sedikit-sedikit tapi berkesinambungan itu kan lebih dicintai Allah, ketimbang amalan yang borongan sebentar kemudian ditinggalkan. Itu amalan apa serangan fajar Pilkada kok pakai borongan?
Dari hal itu saya jadi punya pendapat, kira-kira bagusan mana saat kita berniat buat hijrah; yang akhwat misalnya, langsung memutuskan bercadar, pakai gamis syar’i yang kedombrangan padahal ke sana ke mari masih numpang ojek online. Apa enggak khawatir itu gamis masuk ke jari-jari velg motor atau ke rantainya? Kemudian memutuskan keluar kerja karena gajinya payroll bank konvensional yang mengandung riba, padahal si akhwat salihah itu tulang punggung keluarga.
Lalu yang ikhwan, dengan alasan hijrah, tiba-tiba berhenti kerja di bank padahal belum punya alternatif pekerjaan yang baru, memotong celana jadi cingkrang biar enggak isbal, memanjangkan jenggot meskipun jenggotnya cuma beberapa lembar, blas enggak enak banget dilihatnya, ya Rabb. Enggak segitunya juga keles. Enggak jamil saja lah pokoknya. Padahal Allah kan menyukai sesuatu yang jamil. Nyaho teu, jamil?
Dari gambaran itu, saya jadi pengen nanya saja, kira-kira bagus mana dengan akhwat yang ini?
Seorang ukhti yang mulai memperbaiki dirinya pelan-pelan tapi meyakinkan, mengubah gaya berbusananya dengan yang lebih sopan, menutup auratnya tapi tetap menyesuaikan dengan aktivitas keseharian. Tetap bekerja sambil sesekali mencari peluang kerja yang enggak mengandung subhat. Menjaga hubungan baik dengan teman dan keluarga lalu bermunajat dan memohon ampun kepada Sang Pencipta pada sepertiga malam.
Bagus mana dengan ikhwan yang ini?
Yang mempelajari agamanya lebih dalam lagi, banyak bertanya dengan orang yang jauh lebih paham tanpa pilih-pilih aliran selama bukan aliran yang menyesatkan. Perlahan meninggalkan kebiasaan hal-hal yang diharamkan dengan tidak mencibir teman yang masih berkubang di dalamnya. Berpakaian biasa tapi senantiasa menebarkan senyum persahabatan, lalu pada ujung malam meneteskan air mata memohon ampunan.
Coba deh, kira-kira bagusan yang mana?
Ya, dua-duanya bagus. Yang enggak bagus itu malah yang nyinyirin dua lelaku di atas dengan membuat tulisan di media-media yang gemar memojokkan umat. Eh, saya enggak sedang ngomongin Mojok lho ya, kalo redaktur Mojok tersinggung dan jadi alasan esai ini nggak dimuat, ya maaf kalau keceplosan.
Yang kedua, soal analogi rumah kreditan.
Nah, ini. Mbak Imaniar itu enggak tahu apa ya, bahwa untuk memantapkan diri menjadi marketing perumahan itu saya harus merenung tujuh hari tujuh malam, memikirkan maslahat dan mudharatnya.
Bahwa untuk menjadi marketing perumahan itu saya harus terjebak dalam dilema. Di satu sisi saya harus mendukung pengambilalihan lahan pesawahan untuk dijadikan hunian bagi kaum ploretar yang kerap termarginalkan atau tetap mempertahankan idealisme saya yang begitu menginginkan negeri ini kembali berjaya sebagai negeri agraris yang baldatun thayyibatun wa robbun ghafur. Di sisi lain, hal itu juga berisiko membuat saya jadi pengangguran yang cuma bisa bikin status galau di dinding pesbuk kepunyaan orang Yahudi itu?
Jadi plis, tolongin saya dong, Mbak. Jangan bikin saya jadi masygul berkepanjangan karena membaca analogi itu. Masa sales perumahan disamakan dengan pejuang hijrah yang nanggung itu. Kenapa enggak sales mobil yang jelas-jelas mengajak orang untuk bergaya tapi sebetulnya memaksakan diri, karena buat parkir aja mereka harus membayar sewa ke tetangga yang punya kebun kosong? Atau sales kartu kredit yang sudah jelas riba dan banyak mudaratnya?
Gitu aja, Mbak Imaniar yang baik hati. Semoga tulisan ini tidak terkesan memojokkan Mbak Imaniar. Saya cuma ingin mengungkapkan apa yang saya enggak sepakat saja. Toh, tulisan balasan begini kan baik juga untuk nambah khasanah keilmuan umat. Ya kalau dianggap memojokkan ya saya bisa apa, namanya juga Mojok ya kan? Meski begitu, selebihnya saya setuju kok dengan ide-ide di tulisan panjenengan. Lagian apalah saya ini di mata panjenengan yang fenomenal.
Eh, ini Mbak Imaniar yang penyanyi RnB yang pernah hit dengan lagu Kacau di tahun 90-an itu atau bukan ya?