MOJOK.CO – Ada mobil yang diciptakan untuk mengubah dunia muram menjadi lebih ceria. mobil yang lahir untuk menggenapi cita-cita mulia tersebut adalah Daihatsu Ceria.
Di dunia otomotif, ada jenis mobil yang diperuntukkan sebagai penakluk segala medan. Mobil jenis ini biasanya menggendong mesin bertorsi badak, memakai ban selebar pintu, dan memakai sasis yang tetap akan baik-baik saja sekalipun kita melemparkannya ke tengah peperangan. Mitsubishi Pajero (tanpa Sport), Mercedes seri G, dan Ford Ranger adalah contoh mobil perkasa tersebut.
Ada pula jenis mobil yang dibuat untuk memfasilitasi kegiatan harian penggunanya dengan aman dan nyaman. Mobil jenis ini akan membalut lingkar setir dan jok dengan bahan terbaik, menjejalkan selusin fitur yang sebagian hanya berfungsi ketika mobil menancap di pohon, dan menyediakan ruang bagasi yang cukup untuk diajak pindahan. Toyota Innova, Mistsubshi Xpander, dan Honda CR-V adalah beberapa contoh mobil segala keperluan tersebut.
Dan, ada pula mobil yang diciptakan bukan untuk keperluan praktis. Mobil jenis ini lahir dari tangan desainer-desainer ahli yang sudah tercerahkan, yang menganggap dunia adalah tempat maha muram sehingga perlu untuk diceriakan. Idealisme model begini membuat mereka mencoret sektor mesin dan fitur, lalu berfokus pada psikologi massa dan perintilan-perintilannya.
Salah satu mobil yang lahir untuk menggenapi cita-cita mulia tersebut adalah Daihatsu Ceria.
Tak ada mobil yang disalahpahami lebih sering ketimbang Daihatsu Ceria. Ketika pertama kali diluncurkan pada 2001, orang-orang mengucek mata sebelum dengan teliti mencari letak keindahannya. Saat brosurnya disebar dan orang-orang mendapati spesifikasi resminya, mereka beranggapan bahwa Daihatsu benar-benar berhasil menciptakan lelucon.
Saya adalah salah satu dari mereka. Empat tahun silam, ketika Mas Bojo memboyong mobil ini ke garasi rumah, saya lekas-lekas mengambil handuk dan air es untuk mengompres dahi Mas Bojo. Empat puluh juta rupiah demi menebus mobil model begitu; sudah pasti Mas Bojo terserang demam.
“Kita perlu mata yang lain untuk melihat kelebihan mobil ini, Adinda,” ujar Mas Bojo malam itu. “Mata dzahir lebih sering menipu.”
Saya benar-benar tak mengerti kaitan antara sebuah mobil dengan dunia metafisik. Yang saya tahu, saat itu, saya agak malu ketika harus duduk di kursi penumpang Daihatsu Ceria dan ikut berpelesir. Tak sekali-dua saya mendapati pengendara motor cekikikan sambil menunjuk mobil kami, dan pernah suatu ketika seorang pengendara Ninja membuka kaca helm dan menudingkan jempolnya dengan senyum ironis yang tak dibuat-buat.
Namun, itu dulu. Kini saya mampu memahami tujuan keberadaan Daihatsu Ceria sekalipun mata batin saya masih tertutup. Ia memang pantas menyandang nama “Ceria” tanpa ironi apa pun.
Bagi cewek seperti saya, Daihatsu Ceria benar-benar membawa keceriaan ketika saya masih belajar mengemudi. Tak pernah sekali pun Mas Bojo meneriaki saya untuk berhati-hati karena dia tahu harga onderdil mobil ini murah meriah. Saat saya tak sengaja menyenggol portal, Mas Bojo lebih mengkhawatirkan biaya perbaikan portal tersebut ketimbang bemper mobilnya yang penyok.
“Bagaimana dengan mobilnya?” Tanya saya dengan telapak tangan berkeringat.
“Tak apa-apa, Adinda,” sahut Mas Bojo sambil tersenyum manis, “toh, tak ada bedanya.”
Keceriaan semacam itulah yang membuat saya lancar menyetir di hari ketiga pembelajaran. Andai mobil kami lebih bagus, saya akan terlampau takut untuk menjajal ini-itu, dan Mas Bojo tentu akan lebih bawel. Jika begitu yang terjadi, sampai hari ini saya mungkin belum bisa mengemudi.
Dimensi mobil ini juga membawa keceriaan bagi cewek mana saja. Angka-angka ini mungkin sulit menghadirkan imaji: 3.365×1.405×1.415. Tapi, percayalah bahwa Daihatsu Ceria lebih kecil daripada Suzuki Ignis, Toyota Agya, atau Honda Brio. Ia lebih kecil daripada mobil terkecil yang Anda ketahui, yang membuat saya kerap ingin memasukkannya ke tas belanja saat di parkiran.
Mobil kecil tentu mudah dikendarai. Saya tak pernah mengalami kesulitan saat berkendara di gang sempit, berputar balik, atau memarkirkannya. Andai saya begitu teledor sehingga menghantam apa yang tak seharusnya dihantam, ingatlah keceriaan dalam hal onderdil yang sudah saya sebut di atas.
Bagi pemilik, atau siapa pun yang mengongkosi kehidupan mobil ini, Daihatsu Ceria juga tak pernah membikin muram. Mesinnya hanya 850cc, tanpa turbo atau teknologi canggih. Mesin sekecil itu memang tak cocok untuk diajak pecicilan di jalan, tetapi ia penghibur yang andal dalam bidang ekonomi.
Konsumsi bensin Daihatsu Ceria, misalnya, mampu tembus hingga 20 kilometer per liter, 15 kilometer kalau jalanan macet, yang nyaris tak pernah terjadi di Kota Cepu. Ia juga tak pernah menuntut bensin beroktan tinggi; rasio kompresinya bahkan tak cocok untuk ditenggaki bensin yang berbanderol lebih dari tujuh ribu rupiah. Pajak tahunannya pun lebih murah ketimbang pajak Ninja 4 silinder: cuma delapan ratus ribuan!
Dan bagi pengguna jalan, Daihatsu Ceria memberi banyak hal positif yang tak bisa diberikan mobil lainnya.
Dimensinya yang kecil adalah berkah bagi tipe pengendara motor yang berpikir bahwa mobil adalah benda sialan pemakan ruang jalan yang sudah semestinya disalip sambil bermuka masam. Anda bisa menyalip Daihatsu Ceria dari sisi mana saja tanpa perlu mencemaskan keselamatan.
Mesinnya yang kecil dan jadul adalah anugerah bagi warga yang bermukim di sekitar jalan umum dan kadung geram dengan balap liar dan semacamnya. Tenaga Daihatsu Ceria hanya 35 HP; dibutuhkan mekanik yang luar biasa ahli dan nekat untuk menguliknya hingga layak diajak balapan.
Dan desain eksteriornya yang berkelit dari segala standar estetika mampu menceriakan orang-orang yang kepingin punya mobil tapi terhalang saldo. Bertahun-tahun lampau, saat berpapasan dengan sebiji Daihatsu Ceria di lampu merah, saya memandangi Jupiter-Z yang saya tunggangi dan tersenyum kepadanya sebelum bergumam, “Yaelah, masih bagusan motor gue.”
BACA JUGA Menyiksa Honda Brio Satya dengan Membawa Beban Setengah Ton di Tol Trans-Jawa dan ulasan kendaraan menggemaskan lainnya di rubrik OTOMOJOK.