MOJOK.CO – Fadli Zon adalah sosok dengan komitmen yang teruji dalam urusan perang melawan konten porno.
Beberapa tahun yang lewat, pernah ada satu masa di mana layanan GIF di WhatsApp dipenuhi oleh konten porno. Hal tersebut, kemudian melahirkan protes dari banyak pihak, termasuk dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Dari sekian banyak protes yang muncul, salah satu yang boleh jadi punya dampak yang sangat signifikan tentu saja adalah protes dari Fadli Zon—yang kala itu masih jadi pentolan di DPR-RI. Maklum saja, nama besarnya sebagai pesohor pongelitik tentu saja membuat protesnya punya impresi dan engagement yang tinggi.
Oke, kita tak perlu kepo bagaimana Fadli Zon bisa demikian update perkara hal-hal mesum di internet. Tapi satu yang mesti kita catat, politikus Gerindra ini punya komitmen yang layak diacungi jempol dalam kerja-kerja menghentikan sebaran konten pornografi di internet.
Ketika ia dilantik sebagai anggota komisi I DPR tahun 2019 lalu, kebanyakan orang berpikir bahwa itu adalah penurunan kasta yang sangat jomplang, sebab pada periode sebelumnya, ia merupakan wakil ketua DPR-RI. Bayangkan, dari wakil ketua DPR menjadi “hanya” anggota komisi I DPR.
Khalayak menduga, Fadli Zon sedang menuju masa-masa redupnya sebagai politikus. Senjakala Zon Politikon.
Saya sendiri menganggap bahwa dugaan orang-orang itu keliru besar. Banyak yang tak menyadari, bahwa turunnya Fadli dalam hierarki jabatannya di DPR tersebut boleh jadi memang sangat diinginkan oleh Fadli sendiri.
Bukan tidak mungkin bahwa hal tersebut sejatinya merupakan siasat agar Fadli bisa lebih serius mengurusi konten-konten mesum di ranah digital, sesuatu yang betul-betul menjadi perhatiannya selama ini. Kita tahu bahwa komisi I DPR membawahi bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, dan intelijen. Komisi tersebut tentu menjadi ruang yang sangat cocok bagi Fadli untuk “turba” dalam usaha memerangi konten porno di internet.
Kelak, waktu membuktikan bahwa ia memang konsisten dalam menjalankan kerja-kerjanya dalam melawan konten pornografi di internet. Ia langsung tancap gas, banting kiri, belok kanan, melacak situs-situs yang bisa membikin generasi muda kian gersang hatinya, menyelami forum-forum yang penuh lendir dan gairah.
Walhasil, beberapa bulan lalu, ia kembali angkat suara dalam urusan konten porno, kali ini yang menjadi sasaran tembaknya adalah aplikasi streaming Boom Live, aplikasi yang sempat viral karena ada konten di mana seorang bidan kedapatan bugil sambil joget-joget.
“Seharusnya pemerintah mempunyai instrumen untuk menghentikan aplikasi-aplikasi yang mengandung atau menyebarkan pornografi. Instrumen seperti ini bukan hal baru dan sudah banyak juga dilakukan di negara-negara yang kuat menyensor pornografi, apalagi yang live,” ujarnya. Dari kalimatnya saja, tampak jelas betapa ia menyimpan kegusaran yang sangat besar terkait maraknya konten porno.
Hidup di negara di mana sosok animasi berbentuk tupai harus disensor, dan aktivitas seperti memerah susu sapi dikenai blur oleh televisi, tentu menjadikan pornografi sebagai sesuatu yang sangat problematis. Batas antara yang porno dan yang tidak porno betul-betul setipis mendoan dibelah tujuh.
Dalam sengkarut semacam itulah Fadli Zon hadir. Ia menjadi indikator penentu. Apabila ia berkomentar gusar, atau mulai riset kecil-kecilan, artinya fix konten tersebut punya tendensi porno dan harus diberangus sampai ke akar.
Oleh sebab itulah, ketika Fadli Zon ketahuan nge-like video bokep di Twitter dan menjadi trending topik lewat tagar #FadliZonJuruBokep, alih-alih ketawa ngakak—seperti kebanyakan orang—karena ia tampak munafik, saya justru merenung dan berkontemplasi.
Yang paling mengganjal dan bikin nyesek, kok bisa-bisanya Fadli Zon punya selera dan referensi lebih mutakhir ketimbang anak muda seperti saya. Bayangin aja, figur yang ia like adalah Emily Willis, sosok yang memang sedang naik daun, sementara tontonan saya begitu dekaden, mentok di… Ah sudahlah
Melihat rekam jejaknya, saya amat sukar percaya bahwa Fadli Zon doyan menonton video esek-esek di Twitter. Terasa aneh sekali. Seorang Fadli Zon, yang kuat beli koleksi lukisan dan manuskrip mahal itu, sudah selayaknya kuat berlangganan VPN premium dan Pornhub premium. Bokep kelas Twitter tentu bukan kelasnya.
Dari situlah saya curiga, bahwa insiden like pada konten porno yang melibatkan akun Fadli Zon itu memang disengaja. Fadli Zon bukan sekadar punya integritas dalam urusan memberangus sebaran porno, tapi ia juga betul-betul mendalami karakter.
Melalui akun Twitternya, Fadli Zon memang sudah memberikan penjelasan bahwa hal tersebut kemungkinan karena adanya kesalahan oleh admin yang mengelola akun Twitter miliknya. Ia juga mengatakan sudah menegur admin yang bersangkutan.
Kendati demikian, saya tetap curiga bahwa Fadli Zon sebenarnya sedang melakukan riset mandiri terkait tugasnya di Komisi I DPR. Like pada video tersebut kemungkinan memang ia sematkan sebagai bukti konkret bahwa di Twitter berserak banyak sekali video porno. Setidaknya, secara otomatis para followernya mulai tersadarkan.
Hal tersebut juga tentu saja mampu meningkatkan awareness masyarakat dan juga Kemenkominfo agar lebih giat dalam usaha pemantauan dan patroli siber untuk memberantas konten-konten porno di internet wabil khusus di media sosial.
Ia seperti ingin menyampaikan pesan bahwa masih banyak konten-konten lucah di Twitter yang belum diberangus.
Bayangkan, seorang Fadli Zon rela mengorbankan nama baik dirinya tercoreng, agar para orang tua senantiasa berhati-hati, dan para polisi moral bisa leluasa mengambil ancang-ancang.
Tulisan ini bukan satire. Ini serius. Kendati demikian, saya tetap ingin memberikan saran kepada Fadli Zon, jika kelak ternyata husnuzon saya salah dan ternyata Fadli Zon memang kepleset mencet video porno, alias betul-betul stalking akun porno bukan untuk tujuan riset (uhuk), maka alangkah baiknya menggunakan akun alter saja. Kalau memang malas pakai akun palsu, sebaiknya pakailah jempol kiri, saya sudah membuktikannya. Lancar, aman, dan menggelinjang.
BACA JUGA Apa Harus Jadi Pejabat Kayak Fadli Zon Dulu, Biar Kritik ke Pemerintah Bisa Diakui? dan tulisan Muhammad Nanda Fauzan lainnya.