MOJOK.CO – Kasihan konten kreator cum buzzer politik. Mereka udah ribet-ribet bikin konten soal Cebong dan Kampret yang clickbait, eh kalah telak sama cupangnya Diwan.
Belakangan, orang-orang lebih tertarik berlomba-lomba untuk mencapai puncak tertinggi engagement ketimbang berbuat amal shaleh, atau pada titik yang lebih ekstrem, ada juga sebagian orang yang menggunakan kedok kesalehan—sebagai personal branding—untuk meningkatkan jangkauan. Yha bebas bebas saja, toh semua orang memang kepingin famous, yang membedakan cuma kadar capernya.
Di luar perkara keuntungan finansial yang bisa diraih, di era mutakhir ini, menjadi viral adalah keniscayaan, Bung, Percayalah. Kalau zaman baheula tolak ukur kesuksesan hanya sekadar menjadi PNS, dan cita-cita para bocah diseragamkan dalam profesi sekitaran dokter, pilot, polisi, tentara, dan sebagainya, era digital telah mengubah itu semua dalam satu fenomena “viral” yang fana.
Coba tanya sepupumu yang masih bocah itu, apa yang ia impikan dalam setiap tidurnya hari-hari ini, kalau dia menjawab “mau jadi viral nih, Bang” niscaya ia bocah 4.0. Bahkan kelak, HRD tak lagi bertanya soal IPK dan kamu lulusan mana, tapi berapa jumlah followers, Bung.
Bahkan, salah satu kampus di Jakarta—melalui laman resminya—mengumumkan bahwa mereka membuka jalur prestasi bagi para Youtube Content Creator alias “Youtuber” untuk bergabung menjadi mahasiswa, dengan syarat memiliki paling sedikit 10.000 subscriber.
Atau yang lebih ekstrim, jika kamu adalah seorang remaja tanggung yang sedang memiliki semangat cinta yang meledak-ledak tetapi sering banget di tolak lawan jenis karena alasan “kamu terlalu baik buat aku”, maka jawaban semacam “aku memang terlalu baik buat kamu, tapi aku pernah viral loh dan masuk Lambe Turah, beneran nih nolak?” adalah pilihan yang tidak keliru. Jadi jika kamu punya rekam jejak pernah viral, niscaya tujuh dari sepuluh masalahmu di dunia ini akan terselesaikan.
Padahal, menjadi konten kreator dan menjadi viral benar-benar harus dibedakan, Sayang. Soal ini, tak perlulah saya jelaskan secara detail, lha wong pembaca Mojok kan sudah dewasa dalam menghargai perbedaan, memangnya ormas ngamukan~
Belakangan para insan kreatif ini juga memanfaatkan polpras-pilpres sebagai ajang mencari nafkah, berlomba-lomba menjadi juru kampanye bayaran alias buzzer dan menyiapkan diri disebut-sebut sebagai Cebong atau Kampret. Profesi ini memang menjanjikan, apalagi jika kamu seorang Key Opinion Leader atau memiliki pengaruh kuat terhadap isu-isu tertentu. Macam kak Iqbal Aji Daryono begitulah.
Sebagai profesi penyedia jasa, insan kreator minimal musti paham perkara marketing dan teori-teori lainnya. Biar tak kalah salip begitu. Orang-orang yang dikaruniai rasa percaya diri kelewat batas memanfaatkan momen ini untuk meraih keuntungan, mulai dari menerbitkan buku fantastis dengan judul “Menjadi Konten Kreator dalam Waktu Dua Detik” atau membuat kursus berbayar untuk itu. Mengapa banyak orang tertarik? Ya untuk viral, sebab untuk masuk surga tetap butuh amal saleh dan doa orang tua, bukan konten semata. Wqwqwq.
Tapi… tapi.. tapi… memang butuh banget ya sama segala macam teori njelimet, kalau beberapa hari lalu, bocah seusia Diwan saja bisa lebih populer di Youtube ketimbang sidang sengketa Pilpres di MK? Cuma modal cupang pula. Kalau kata kawan saya Mufa Rizal, dengan dialog suroboyoan khasnya, “Bangsat! Terus opo gunane konten kreator lain susah-payah nggawe video menarik. Mulai mikir judul clickbait, bikin drama unfaedah, nyenggol kreator lain, dan editan maksimal. Pungkasane sing sederhana, nggak neko-neko, tapi malah jadi rajanya”.
Sengketa pilpres sebenarnya ramai juga jadi bahan obrolan di media sosial, bukan karena edukasi politik dan hal-hal semacam itu. Akan tetapi, ya karena acara ini memang kelewat lucu sampai jadi bahan tertawaan netizen.
Ada yang saking gugupnya salah sebut ‘’Yang Mulia’’ jadi “Baginda”, ya Allah di kira Nabi kali. Kebelet buang air kecil memang manusiawi, tetapi saat diminta kesaksian barangkali dorongan itu muncul lebih besar, dan tentu, ekspresi seseorang akan terlihat sangat lucu saat keinginan itu di sampaikan, di tengah persidangan pula. Ada banyak laku jenaka pada persidangan itu, dan tertawa adalah satu-satunya cara yang baik untuk mencegah kegilaan.
Dalam hal ini, Diwan datang dan menyalip dua kubu secara bersamaan; para konten kreator dan pendukung pilpres—yang biasa disebut Cebong atau Kampret.
Kubu yang pertama, terpental dengan segala macam teori njlimet untuk mendapat konten yang disukai penonton. Dan mau tidak mau, suka tidak suka harus turut berlapang dada menyatakan bahwa Diwan dan ikan cupang jauh lebih seru, ketimbang pamer kekayaan yang diselubungi pertanyaan “Berapa harga outfit lo”, misalnya. Atau para kreator yang sekaligus buzzer politik harus tepuk jidat karena kampanye-kampanye di segala platform kalah ramai.
Mereka boleh saja memahami segala jenis pengetahuan, tapi jangan seolah-olah terjebak pada logo-sentris. Inti dari konten kreator ya kreatifitas. Kalau kamu berhasil membungkus ikan cupang, beli bakso, angkat galon sebagai tontonan menarik ya sudah, pengetahuan hanya menjadi hal kesekian.
Kubu kedua lebih naas lagi. Bayangkan, Bung, sudah mempersiapkan waktu panjang berdebat dan sebar hoax, demo dan rusuh, mbacotin kelompok golput, pada saat injury time harus kebobolan dan kalah pamor oleh Diwan.
Diwan seperti oase di tengah gurun pasir, dia juga merobek tatanan utuh yang mendominasi masyarakat. Ketimbang berantem melulu lantas terpolarisasi jadi Cebong dan Kampret karena urusan politik—yang hanya sebatas elektoral, tapi minus unsur demokrasi lain, ya jelas mending beli ikan aduan yang cantik-cantik.
Tetapi, selamat untuk Pak Jokowi-Maruf yang terpilih sebagai pasangan presiden dan wakil presiden—sesuai putusan MK. Dan buat para simpatisan, tak usah risau, sebab pada titik ini saya berani menarik kesimpulan bahwa antara Cebong dan Kampret yang juara adalah Cupang, Wqwqwq. Jadi kalian seimbang, My Lov~