Rusunawa Berdarah dan Nyaring Suara Gamelan

Saya ditemukan pingsan di lantai satu rusunawa. Tangan kiri saya berdarah. Dua kuku saya hilang….

Rusunawa Berdarah dan Nyaring Suara Gamelan MOJOK.CO

Rusunawa Berdarah dan Nyaring Suara Gamelan MOJOK.CO

MOJOK.COBelum lama ini, saya pernah tinggal di sebuah rusunawa berdarah. Rusunawa dengan suara gamelan yang terdengar nyaring di telinga.

2017. Bersama tiga teman terdekat, saya berhasil diterima di sebuah universitas terkenal di Jawa Timur. Dua laki-laki, satu perempuan. Kami diterima dengan jalur undangan. Saya sangat bersyukur karena kami bisa melanjutkan kuliah di sebuah kampus yang pernah menempati peringkat 10 daftar universitas terbaik di Indonesia versi Webometrics.

Sebagai perantau, hal pertama yang kami lakukan adalah mencari kos. Kedua teman laki-laki kami sudah mendapat kos sejak jauh hari. Teman mereka yang mencarikan. Sementara saya dan teman perempuan bernama Yuli belum juga mendapat kos yang cocok.

Setelah mencari selama beberapa hari, Yuli mendapat kos dari rekomendasi teman fakultas. Sayangnya, harga sewa kos tersebut terlalu mahal. Saya berasal dari keluarga pas-pasan. Jadi, biaya kos saya tidak bisa terlalu mahal. Oleh sebab itu, saya memutuskan untuk mengunjungi sebuah rusunawa yang direkomendasikan oleh teman kampus.

Ditemani Galih dan Malik, saya segera meluncur ke rusunawa tersebut. Begitu sampai, kami langsung disambut pengelola rusunawa. Ibu-ibu galak yang kalau bicara hampir selalu pakai nada tinggi.

“Siapa yang mau tinggal disini? Kalau cowok di rusun putra, ini khusus putri.”

“Saya, Bu. Mereka hanya mengantar,” jawab saya sambil kaget dengan nada bicaranya.

“Mau tinggal di lantai berapa? Lantai dua, Rp200 ribu per bulan, lantai tiganya Rp185 ribu, lantai empat Rp170ribu, lantai lima Rp155 ribu.”

Saya memilih lantai empat. Untung saja masih ada sisa tempat di rusunawa itu. Banyak mahasiswi baru yang memilih untuk tinggal di rusunawa ini.

Lantai empat terasa sejuk, agak dingin. Namun, bagi saya, ini cocok untuk belajar. Sementara itu, keharusan naik dan turun lewat tangga saya pandang sebagai kondisi positif. Bisa sekalian buat olahraga. Tiba-tiba saja saya merasa cocok sama rusunawa ini.

Di lantai empat, saya tinggal bersama dua orang, yaitu Tata dan Ayu. Mereka berbeda jurusan, tapi masih satu kampus. Kami bertiga langsung akrab. Obrolan kami nyambung. Jadi, dalam beberapa hari saja, saya makin betah. Selain itu, beberapa penghuni di lantai dua, tiga, dan lima juga enak ketika diajak ngobrol.

Rusunawa yang tak pernah saya kira sebelumnya

Sudah seminggu saya tinggal di rusunawa ini. Suatu kali, selepas ospek, saya pulang sekitar pukul 23.00. Begitu sampai kamar, saya langsung tertidur. Lelah. Sekitar pukul 02.30 saya terbangun. Kebelet kencing.

Sambil menahan kantuk, saya dikagetkan dengan warna air dari keran. Warnanya cokelat kemerahan. Saya langsung kembali ke kamar dan membangunkan Tata. Ayu yang mendengar suara saya ikut terbangun. Bertiga, kami memeriksa air di kamar mandi.

“Airnya bening, kok. Kamu kecapekan kayakya,” kata Tata. Ayu diam saja.

Saya yang awalnya keheranan jadi lebih lega. Pikiran-pikiran negatif langsung saya buang dari pikiran dan melanjutkan keperluan untuk kencing. Namun, anehnya, air dari keran itu terasa lengket. Warnanya pun masih merah. Setelah saya bilas, rasa lengket itu baru hilang. Tetap saja, saya nggak mau berpikir terlalu dalam. Besoknya, saya sudah lupa.

Paginya, hari minggu, saya diam sendiri di rusunawa saja. Tata dan Ayu sudah pergi sejak pagi. Lagipula, pagi itu turun hujan deras. Lagi asik melamun, ada suara ketukan di pintu kamar.

“Mbak, permisi mau tanya.”

Tiba-tiba ada penghuni lain yang datang dan bertanya. Dia masih anak-anak.

“Mbak, di sini ada yang namanya Gadis?” Tanya anak itu sambil kedinginan karena basah kuyup.

“Nggak ada. Saya Lala, tema saya yang lain namanya Tata dan Ayu.

“Terima kasih, Mbak.” Anak itu langsung pergi dan naik ke lantai lima.

Saya menutup pintu dan sibuk bermain hape ketika saya lihat Tata masuk kamar. “Tadi ada anak yang nyari Gadis?”

“Iya, Ta. Kenapa?”

“Semua kamar dari lantai dua sampai lima ditanyai seperti itu.”

Saya terdiam. Anak tadi berbicara dengan tatapan kosong. Karena penasaran, saya memutuskan turun ke lantai satu dan bertanya ke satpam. “Permisi, Pak. Tadi ada anak yang masuk ke rusunawa. Basah kuyup dan mencari penghuni namanya Gadis?”

“Itu sudah biasa terjadi kalau sedang hujan seperti ini.”

“Maksudnya, Pak?”

“Mahasiswa baru pasti mengalami kejadian seperti itu. Jangan kaget. Setiap hujan, pasti ada ketukan pintu dari anak yang mencari nama Gadis. Tapi, semua satpam tidak pernah tahu siapa anak itu,”

“Dari data penghuni rusunawa memang nggak ada yang namanya Gadis, Pak?”

“Dari dulu juga dicari, Mbak. Tapi, sampai sekarang, tidak ada yang namanya Gadis. Ibu yang jadi pengurus juga nggak mau menjawab kalau ditanya soal Gadis. Memang agak aneh. Sudah, jangan dipikirin. Jangan terlalu takut, Mbak.”

Waktu itu saya nggak terlalu takut, sih. Cuma penasaran saja. Kebiasaan aneh yang selalu terjadi ketika hujan. Namun, pengurus dan satpam rusunawa sampai tidak tahu asal-usulnya. Bukankah ini aneh?

Saya pun menurut nasihat satpam. Kembali ke kamar sambil terus memikirkan kejanggalan ini. Perlahan saya menaiki tangga. Saking sibuknya berpikir, saya sampai kelewatan satu lantai. Tanpa sadar saya sudah naik ke lantai lima. Mungkin saya terlalu banyak berpikir, keluh saya waktu itu.

Saya pun membalikkan badan untuk turun ke lantai empat. Tepat saat itu, mata saya tertuju kepada seorang perempuan memakai baju serba hitam sedang berdiri di ujung balkon lantai lima. Sontak saya punya feeling dia akan melompat.

Dan benar saja! Dia melompat dari lantai lima!

“Mbak!!!”

Saya berteriak sekencang mungkin. Panik, saya menggedor pintu terdekat.

“Tolong!”

Penghuni lantai lima sontak keluar semua. “Ada apa, Mbak?”

“Tolong, Mbak, ada yang lompat!” Suara saya terdengar sangat nyaring. Suara orang panik dan kalut.

Beberapa orang langsung berlari turun. Beberapa melongok dari balkon yang basah oleh hujan deras. Dari bawah, samar-samar, saya mendengar orang saling bersahutan. “Nggak ada, kok.”

Dua orang naik lagi ke lantai lima. “Nggak ada, Mbak. Nggak ada apa-apa. Saya hanya menemukan baju panjang hitam ini. Mungkin tadi baju ini jatuh saat dijemur.”

Saya berdiri mematung. Setelah agak tenang, saya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan penghuni rusunawa lantai lima. Saya cuma bisa minta maaf.

Saya turun ke lantai empat dengan langkah gontai. Saya sangat yakin melihat seorang perempuan melompat dari lantai lima. Saya yakin karena sempat melihat sisi wajahnya. Tapi sudahlah. Mungkin benar, saya hanya kelelahan saja.

Minggu malam, Tata dan Ayu mengajak saya main. Namun, saya memutuskan nggak ikut kerena kepala saya tiba-tiba sangat pusing. Sendirian, saya memutuskan akan tidur lebih cepat.

Hari-hari berganti tanpa kegaduhan. Namun, pikiran saya soal perempuan berbaju hitam dan seorang anak basah kuyup yang hanya muncul di kala hujan masih terus terbayang.

Suara gamelan yang terdengar nyaring

Saat itu masuk semester dua. Sebenarnya, saya masih mengalami beberapa kejadian janggal di rusunawa ini. Salah satu bercak darah di lantai satu. Namun, saya tidak berani bercerita. Malas juga kalau dikira saya selalu kelelahan dan berhalusinasi. Namun, masuk semester dua ini, kejadian janggal mulai dirasakan penghuni rusunawa lainnya.

Suatu malam, saya harus begadang untuk menyelesaikan tugas. Tata dan Ayu kebetulan masih terjaga. Mereka asyik menonton YouTube. Tiba-tiba, pintu kamar kami dibuka dengan keras.

Teman kami yang menghuni lantai dua rusunawa masuk dengan tergesa-gesa. “Kami bertiga tidur di sini boleh?”

“Kalian kenapa kok ketakutan?”

“Tadi di kamar kami dengar suara gamelan yang keras banget. Kami jadi takut.”

“Suara gamelan itu pasti dari gedung sebelah. Tadi aku lihat di sana ada acara pernikahan. Mungkin gedung sebelah disewakan. Atau anak-anak seni lagi latihan,” saya mencoba menjelaskan suara gamelan itu secara logis.

“Gedung sebelah sistem penyewaannya hanya sebatas jam. Jadi, kalau acaranya pagi, ya hanya pagi sampai siang, maksimal sore,” sahut Tata.

“Ya berarti anak-anak seni lagi latihan,” kataku.

“Kan temanmu ada yang ikut kesenian, coba tanyakan,” Tata memintaku.

Saya baru ingat kalau Malik anak kesenian. Saya menanyakan suara gamelan itu, apakah dari anak-anak seni yang sedang latihan. Kata Malik, anak seni sudah tidak latihan. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk lomba.

“Kata Malik, anak-anak seni ke Yogyakarta. Mereka Lomba,” jelasku kepada mereka. Tata, Ayu, dan tiga teman kami yang tidur di lantai dua semakin pucat. Bertanya ke satpam? Kami tidak berani turun!

Akhirnya, karena tidak ada gunanya berdebat, kami memutuskan untuk tidur rama-ramai. Beberapa jam kemudian, mereka sudah tertidur, sementara saya baru saja selesai nugas.

Sebelum tidur, saya memutuskan untuk kencing dan cuci muka. Ketika jalan ke kamar mandi, tiba-tiba terdengar suara gambelan. Suaranya lirih saja. sayup-sayup. Saya memang takut, tapi juga penasaran.

Anehnya, semakin dekat kamar mandi, suara gamelan itu semakin keras terdengar. Ketika sudah di depan kamar mandi, suara gamelan itu tiba-tiba terdengar keras. Telinga saya sakit.

Saya merasa sudah berteriak sekuat tenaga sambil menutup telinga. Namun, tetap saja suara saya tenggelam oleh suara gamelan itu. Hingga tiba-tiba, tubuh saya bergoncang. Saat itu juga, saya terbangun.

“La, bangun, La!” Tata, Ayu, dan beberapa penghuni rusunawa sudah mengerubungi saya. Saya tergeletak di depan kamar mandi. Katanya saya berteriak-teriak kencang sekali.

Setelah bisa duduk dengan tenang, saya menceritakan apa yang terjadi kepada penghuni rusunawa. Mereka tampak syok dan ketakutan. Paginya, kami memutuskan menemui ibu pengurus dan satpam untuk menceritakan semua.

Namun, jawaban yang kami dapat sangat tidak memuaskan. Satpam yang jaga cuma berusaha menenangkan kami tanpa memberi solusi. Sementara, ibu pengurus justru memarahi kami. Dia menuduh kami mengarang cerita. Waktu saya menyinggung soal perempuan berbaju hitam yang melompat dari lantai lima, dia malah semakin marah. Tapi, saya sempat menangkap rona sedih dan kecewa dari matanya.

Buntu, kami nggak mau lanjut debat dengan ibu pengurus rusunawa dan satpam. Kami memutuskan kembali ke kamar masing-masing.

Gadis, kamu itu siapa?

Akhir semester dua, kontrak saya di rusunawa itu habis. Dua teman kampus mengajak saya untuk ikut kontrakan mereka. Tentu dengan senang hati saya menerima kebaikan mereka. Saya sangat lega bisa pergi dari rusunawa aneh itu.

Selama tiga tahun saya tinggal bersama kedua teman kampus ini. Hingga suatu saat, kontrakan kami sudah disewakan ke mahasiswa baru yang berani membayar lebih tinggi. Dua teman saya mengajak saya tinggal di sebuah rumah susun yang katanya murah.

Dan benar saja, mereka mengajak saya menyewa di rusunawa yang dulu saya tinggalkan. Saya tidak punya pilihan. Kuliah kami sudah akan selesai kalau berhasil menyelesaikan skripsi. Jadi, sebetulnya, kamu tidak perlu berlama-lama tinggal di sana.

Akhirnya, dengan terpaksa, setelah bertahun-tahun lega meninggalkan rusunawa itu, saya harus kembali ke sana….

Saya memberanikan diri untuk menceritakan semua kejadian janggal ke dua teman kampus saya ini. Mereka yang awalnya kaget, mencoba memberanikan diri. Pokoknya harus sabar, saling menjaga, dan secepat mungkin menyelesaikan skripsi.

Suatu pagi, turun hujan sangat deras. Angin bertiup kencang, saya sendirian di kamar. Dua teman saya yang keluar untuk berbelanja tidak bisa segera pulang karena terjebak hujan.

Saya sudah menduga akan terjadi sesuatu yang janggal. Ingat, hujan deras artinya kemunculan anak misterius.

Benar saja, pintu kamar saya diketuk pelan. Saya memberanikan diri karena sata itu masih pagi. Saya pikir semuanya bakal aman saja.

Setelah membuka pintu, seorang anak kecil berdiri di depan saya. Dia tidak berani menengadah. Sambil terus menunduk, dia mengulungkan gulungan baju berwarna hitam.

“Ini baju hitamnya. Ini punya Gadis. Ini tolong simpan.”

Setelah berkata, dia langsung berbalik dan berlari ke lantai lima. Saya mengikutinya sambil berusaha memanggil. Sial, saya tidak tahu nama anak itu. Namun, nama Gadis masih segar di ingatan saya.

Sesampainya di lantai lima, anak kecil itu sudah berdiri di balkon. Di sebelahnya, berdiri seorang perempuan mengenakan baju hitam. Keduanya menoleh ke arah saya sebelum sama-sama melompat dari lantai lima.

Saya mencoba untuk berteriak, namun tidak ada suara yang keluar dari mulut saya. Air mata mulai menetes ketika sayup-sayup terdengar suara gamelan dan bau anyir darah mulai tercium. Sedetik kemudian dunia jadi gelap.

Saya ditemukan pingsan di lantai satu rusunawa. Tangan kiri saya berdarah. Dua kuku saya hilang….

BACA JUGA Doa Bapa Kami, Doa Malam Keluarga Jin: Ketika Tembok Belakang Rumah Memotong Makam Menjadi 2 dan cerita horor lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version