MOJOK.CO – Sedetik kemudian, saya merasa Gunung Gede Pangrango berubah menjadi sebuah tempat yang terasa asing dan mengancam. Saya terdiam, tidak mampu berbicara.
Tahun 2019, saya dan beberapa teman tiba-tiba mempunyai rencana untuk mendaki Gunung Gede Pangrango. Ide mendaki ini tercetus saat saya, suami, dan teman-teman sedang asyik nongkrong di kafe di sekitaran Jakarta.
Hujan yang turun dengan cukup deras membuat obrolan kami justru makin seru. Dan, di tengah-tengah obrolan itulah rencana mendaki Gunung Gede Pangrango muncul.
Saat itu saya nongkrong dengan teman-teman masa kecil. Mereka adalah Rio, Teuku, Bayu, dan Miska. Kami berlima sudah berteman sejak kelas 2 SD. Walaupun tidak satu sekolah dan hanya sekadar teman di lingkungan rumah, tapi kami adalah sahabat karib yang sangat solid.
Rio, yang memang seorang pecinta alam, adalah orang yang paling bersemangat ketika rencana naik Gunung Gede Pangrango muncul. Sementara itu, saya sendiri sebetulnya belum terlalu yakin untuk mendaki. Maklum, kali terakhir naik gunung itu ketika saya masih berusia 16 tahun bersama paman. Dulu, saya memang anak gunung banget, walaupun ketika SMA malah memilih masuk eskul Karate daripada pecinta alam.
Menentukan jalur Pendakian Gunung Gede Pangrango
Lantaran obrolan mendaki Gunung Gede Pangrango semakin serius, kami sekalian saja mendiskusikan soal jalur pendakian. Dan, malam itu, ada sedikit perdebatan.
Miska memilih Jalur yang paling dekat. Dia tidak ingin membuang banyak waktu di perjalanan. Rio dan Bayu lebih memilih jalur Selabintana yang cukup ekstrem dan terjal. Saya dan Teuku memilih tidak berkomentar. Bagi kami berdua, jalur mana saja tidak masalah. Suami saya, Dave, memutuskan tidak ikut mendaki Gunung Gede Pangrango. Dave merasa fisiknya kurang siap. Lagian dia kurang tertarik mendaki gunung.
Perdebatan menentukan jalur pendakian berlangsung agak panas. Masing-masing punya alasan yang terdengar menarik. Oleh sebab itu, ketimbang makin runyam, saya mengusulkan untuk “putar botol” saja. Jadi, apabila ujung botol mengarah ke salah satu orang, maka dia yang akan memutuskan jalur pendakian. Semua setuju dengan usulan saya.
Bayu dengan sigap membereskan meja dan menaruh botol plastik di atasnya. Saya yang kebagian tugas memutar botol itu. Setelah berputar beberapa kali, ujung botol itu mengarah ke Rio. Dia senang sekali.
Sementara itu, Miska yang terlihat tidak terima dengan keputusan ini hanya bisa berdecak sebal. Dia mengatakan bahwa jalur pendakian Gunung Gede Pangrango yang dipilih Rio itu adalah jalur yang sulit.
Rio menjelaskan bahwa dia sudah bosan melewati jalur yang biasa-biasa saja. Sementara itu, jalur Selabintana adalah satu-satunya jalur yang belum pernah dia lewati. Suami saya, Dave memastikan ke Rio apakah jalur ini berbahaya atau tidak. Dave mengkhawatirkan saya. Rio menjelaskan bahwa nantinya kami akan ditemani oleh pemandu, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Setelah hujan reda, kami semua pulang ke rumah masing-masing. Di rumah, saya sibuk menyiapkan keperluan pendakian, walaupun masih dua hari lagi kami naik Gunung Gede Pangrango. Namun, entah bagaimana, tiba-tiba saya cukup bersemangat membongkar alat-alat pendakian yang sudah sedikit usang.
Dave membantu saya mengecek kondisi alat-alat pendakian. Saya bilang ke suami, mungkin beberapa alat tidak saya bawa mengingat Jalur Selabintana itu lumayan terjal. Jadi, saya berencana membawa beban seringan mungkin. Setelah selesai berkemas, saya langsung teringat hadiah jam dari paman saya yang belum saya buka. Dengan terburu-buru saya pun mengambil kotak tersebut dan mendapati jam tactical yang menjadi incaran saya.
Firasat buruk
Hari Sabtu tiba. Sekitar pukul 1 pagi, saya menyempatkan berolahraga ringan supaya badan lebih ringan. Setelah itu, saya menyiapkan perbekalan.
Disela-sela aktivitas saya, tiba-tiba Dave bilang kalau dia merasakan firasat yang tidak enak. Saya hanya menanggapi biasa saja dan menjelaskan kepada dia supaya untuk tidak khawatir. Saya juga membawa powerbank untuk keadaan genting. Semua peralatan saya bawa. Termasuk sebilah pisau dan juga beberapa tali dan tenda, meskipun Rio bilang tidak perlu membawa tenda. Sekitar pukul 2 pagi, teman-teman saya datang dan kami pun berangkat ke Sukabumi.
Di perjalanan, kami merasakan semangat yang sama. Kami bahkan sempat sing-along di dalam mobil. Perjalanan dari Tangerang menuju Sukabumi sendiri memakan waktu kurang lebih 4 jam.
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi ketika kami sampai di Pondok Halimun, basecamp pertama kalau kamu ingin menjelajahi Gunung Gede Pangrango. Di titik kumpul tersebut, pemandu kami sudah menunggu.
Sebelum memulai pendakian, kami melakukan registrasi dan cek kesehatan. Selanjutnya adalah briefing dan pemanasan. Pemandu kami mengingatkan untuk saling menjaga. Kami wajib selalu berada di jalur Selabintana. Sedikit saja terkecoh, bisa-bisa kami malah mengarah ke jalur terlarang, yaitu jalur Pasir Datar. Katanya, jalur berbahaya ini katanya sudah memakan banyak korban. Banyaknya percabangan jalan menjadi “ancaman” bagi pendaki. Tersesat di dalam hutan bisa berakibat fatal. Saya langsung merinding setelah mendengar penjelasan pemandu kami.
Pendakian dimulai
Pendakian Gunung Gede Pangrango dimulai dengan semangat besar. Saya langsung asyik mengamati situasi dan pemandangan di sekeliling kami.
Tak terasa setelah berjalan beberapa saat, kami sudah menemukan plang jalan yang bertuliskan Jalur Pendakian Gunung Gede Pangrango dan di sebelahnya mengarah ke arah jalur rekreasi Air Terjun, lalu jalur Selabintana.
Melihat banyaknya ranting berserakan di tanah menjadi bukti kalau jalur Selabintana memang jarang dilewati. Jalurnya semakin terjal seiring perjalanan. Medan tanah yang gembur membuat kami cukup kesulitan. Badan saya jadi terasa berat sekali.
Pemandu kami sibuk memotong ranting dan dedaunan untuk mempermudah kami melewati jalur tersebut. Di tengah perjalanan, topi kupluk saya tersangkut duri ranting pohon. Kejadian sepele yang entah kenapa langsung bikin saya kesal.
Lantaran jalurnya memang berat, kami memutuskan untuk istirahat sebentar. Baru sebentar meletakkan pantat, kami dibuat kaget ketika tiba-tiba Miska berteriak histeris. Rupanya ada hewan yang menggeliat di kakinya. Dengan sigap saya mengambil sebatang ranting kering dan menyingkirkan hewan pacet tersebut dari kaki Miska. Teman-teman bertepuk tangan melihat keberanian saya. Kalau soal pacet, saya sih biasa saja, asalkan jangan tikus atau hewan buas.
Terlalu banyak membuang waktu
Pendakian ke Gunung Gede Pangrango yang kami lakukan memang diwarnai banyak momen istirahat. Maklum, medannya memang berat. Oleh sebab itu, tepat pukul 1 siang, saya memberi tanda ke grup untuk makan siang.
Jujur saja, saya merasa sangat lelah dan kelaparan. Baru kali ini saya mengeluh ketika naik gunung. Permukaan tanahnya terlalu gembur, ranting kering menghalangi langkah, belum lagi ketika kami harus melewati jalan yang terjal dan mengandalkan batang pohon di sekeliling.
Perjalanan kami memang jadi lambat karena saya, Miska, dan Teuku adalah pendaki amatiran. Berbeda dengan Rio dan Bayu yang masih terlihat bugar tanpa Lelah. Rio bilang harusnya nih pukul 1 siang kami sudah sampai di ketinggian sekitar 1800 mdpl. Tapi, kami malah masih bersantai-santai di tengah hutan yang rimbun. Yap, kami masih di perjalanan menuju ke Cigeber. Selesai makan siang, kami melanjutkan perjalanan.
Meninggalkan tanda
Sejak awal pendakian Gunung Gede Pangrango, saya selalu memberi tanda di setiap jalur. Paman, seorang pendaki profesional, yang mengajari saya. Meninggalkan tanda di pepohonan akan membantu kita supaya tidak tersesat. Miska yang penasaran lantas bertanya.
“Nes, lo ngapain deh? Gua liatin sibuk sedari tadi.”
“Gua cuma ninggalin tanda, biar nanti gampang kalau misalkan lewat jalan ini lagi atau sewaktu-waktu ada hal yang tidak diinginkan.”
“Maksud lo kayak tersesat gitu?”
Miska ini menurut saya adalah perempuan yang sangat blak-blakan. Kadang dia tidak mengenal situasi dan kondisi di sekitarnya. Bisa dibilang, mulutnya itu nggak diagamain banget, lah.
Setahu saya, selama mendaki, kita dianjurkan untuk tidak bicara hal-hal negatif. Terkadang, di gunung itu semua hal bisa terjadi dan beberapa di antaranya di luar logika.
Oleh sebab itu, Bayu yang mendengar perkataan Miska langsung menutup mulut teman saya itu. Bayu memberi isyarat untuk tidak ngomong hal-hal aneh lagi selama pendakian Gunung Gede Pangrango.
Waktu tempuh yang terlalu lama
Sekitar pukul 3 sore, akhirnya kami sampai di Cigeber. Maafkanlah kami yang masih amatir ini. Jalurnya terlalu ekstrem bagi kami yang malah jadi beban. Saya jadi agak menyesal ikut saran Rio. Membayangkan perjalanan selanjutnya, pasti akan sangat panjang dan melelahkan.
Terutama ketika mempertimbangkan soal waktu tempuh. Rombongan kami berjalan terlalu lambat. Seharusnya, kami sudah sampai di Cigeber itu sekitar pukul 2 siang. Pemandu kami memperingatkan bahwa lama perjalanan dari Cigeber ke Cileutik, yang merupakan pos selanjutnya bisa memakan waktu sekitar 2 sampai 6 jam. Kami langsung lemas setelah mendengar penjelasan pemandu. Rasanya saya sudah tidak sanggup melanjutkan perjalanan mendaki Gunung Gede Pangrango.
“Sumpah, gue nggak sanggup. Masa dari Pos 1 ke Cigeber nyampenya jam 3 sore. Keburu gelap nggak, sih?”
Mendengar Miska yang terus mengeluh membuat Rio dan Bayu mengusulkan kepada rombongan untuk membangun tenda. Namun, pemandu kami menyarankan untuk tetap melanjutkan perjalanan sampai ke pos 2 Cileutik yang artinya kami harus melewati perjalanan di hutan yang gelap gulita. Semuanya demi mengejar waktu.
Kami memang tidak mempunyai pilihan lain selain lanjut jalan. Benar saja, hari sudah gelap ketika kami masih dalam perjalanan. Karena sudah menduga akan seperti ini, kami semua memasang headlamp agar dapat melihat sekeliling dengan jelas. Walaupun sinar headlamp itu cukup terbatas.
Dalam kegelapan malam hutan rimba….
Selain gelap, malam itu dingin sekali. Suasana hening ditambah jalanan cukup licin. Rio yang berada di posisi kedua harus selalu membantu saya dan teman lainnya untuk menanjak. Terakhir Bayu yang sepertinya sedang kesulitan menanjak karena disibukkan dengan kamera GoPro yang dia pakai untuk merekam perjalanan kami mendaki Gunung Gede Pangrango. Dengan sekuat tenaga, kami semua membantu Bayu sampai akhirnya dia sedikit tergelincir.
“Ahhh! Yah kamera gue!”
Ketika berusaha menanjak, GoPro milik bayu lepas dan tergelincir ke bawah. Pemandu kami yang akan menanjak terakhir inisiatif mengambilkan GoPro milik Bayu. Dia cukup cekatan mengejar GoPro yang menggelinding ke bawah, menangkapnya, lalu menanjak. Kami jadi bisa melanjutkan perjalanan dengan tenang.
Namun, sedetik kemudian, saya merasa Gunung Gede Pangrango berubah menjadi sebuah tempat yang terasa asing dan mengancam. Saya terdiam, tidak mampu berbicara.
“Sesuatu” itu bergerak dalam kegelapan….
BERSAMBUNG
BACA JUGA Catatan Pendakian Gunung Argopuro dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Agnes Putri Widiasari
Editor: Yamadipati Seno