Kuntilanak yang Bisa Berzikir di Toilet Bioskop Bandung Itu Kayaknya Punya Grup WhatsApp

Kuntilanak yang Bisa Berzikir di Toilet Bioskop Bandung Itu Kayaknya Punya Grup WhatsApp

Kuntilanak yang Bisa Berzikir di Toilet Bioskop Bandung Itu Kayaknya Punya Grup WhatsApp

MOJOK.COAneh betul, dua kuntilanak di dua bioskop berbeda bisa punya teknik menakut-nakuti yang sama. Jangan-jangan mereka konsolidasi dulu di grup WhatsApp.

Salah satu tempat favorit saya adalah bioskop. Dan saya pernah menyesal ketika mengiyakan ajakan teman buat nonton film di penayangan terakhir. Sebuah pengalaman terjadi. Pengalaman yang tak pernah saya kira sebelumnya ketika kuntilanak di toilet itu bisa menirukan kalimat zikir yang saya ucapkan.

Jadi begini ceritanya….

Setelah lulus SMA, sebelum kuliah masuk, saya banyak menghabiskan waktu untuk nonton film di bioskop. Udah bukan hobi lagi, tetapi saya kayak pengangguran. Saking banyaknya waktu yang saya punya.

Untuk menghabiskan waktu yang terlampau banyak, sampai-sampai sudah berasa jadi pengangguran, saya pengin nonton film. Kali ini nggak sendirian, saya nonton bersama teman yang bernama Dea.

Dea, katanya, pengin nonton film horor yang diputar di penayangan terakhir. Ah, ya sudah, saya turuti saja. Toh bukan masalah bagi saya, mau siang atau malam, mau film horor atau bukan.

Singkat cerita, sekitar pukul 9.30 malam, kami sudah mau masuk teater. Namun Dea bilang ingin ke toilet terlebih dulu. “Ran, hayu anterin ke toilet dulu. Kebelet, nih. Daripada nanti kebelet pas pertengahan film.”

“Yaaahhh, bentar lagi mulai tau! Huh, yaudah, deh, ayo.”

Mau tidak mau, saya harus mengantar Dea. Kesalahan pertama malam itu pun terjadi. Kesalahan yang mengantar saya adu tatap dengan kuntilanak penunggu toilet di bioskop Bandung ini.

Saya menunggu di depan cermin ketika Dea sedang berada di dalam toilet. Ternyata toilet bioskop tidak seramai kalau siang. Ya iyalah, kayak gitu aja saya heran. Pemikiran itu yang membangkitkan rasa tidak nyaman. Sudah sendiri di depan cermin, suasananya sangat hening pula. Untung ada Dea di toilet, jadi ada suara gemericik air yang menjadi pengalih pikiran-pikiran buruk.

Namun, saat itu, saya sudah sadar kalau kayaknya toilet ini ada “apa-apanya”. Makin sering melihat ke pojok cermin, rasanya makin aneh. Saya sudah membayangkan ada sosok yang menatap balik dari dalam cermin. Hiii….

Untung saja Dea tidak lama-lama di dalam toilet. Yang bikin saya kaget, Dea tergesa-gesa sekali, tidak seperti biasanya.

“Kenapa, De?”

“Nggak kenapa-kenapa, Ran,” Dea menjawab dengan sedikit memejamkan mata dan segera ingin kembali ke dalam teater.

Mungkin dia juga merasa tidak nyaman atau takut ketinggalan film yang saya yakin sudah mulai diputar. Kemudian kami pun masuk teater dengan perasaan yang (lumayan) tidak enak.

Saya bukan anak penakut. Hmm…mungkin lebih tepatnya terlalu cuek sama mistis. Namun malam itu, jantung saya degdegan banget nggak seperti biasanya. Iya, biasanya saya tidak sepenakut ini. Mau nonton horor sendirian juga sikat saja. Mau nonton tengah malem juga ayo. Entahlah, kali ini perasan saya lain.

Di pertengahan film, saya jadi ingin buang air kecil. Seolah melupakan kejadian di toilet sebelumnya, saya meminta Dea untuk menemani.

“Dea, kebelet nih, temenin dong,” bisik saya ke telinga Dea.

“Males ah, takut juga. Lagian, sih, bukannya tadi aja sekalian!”

“Iya tadi sama sekarang kan beda, udah ayo temenin ajaaa.”

Akhirnya, Dea terpaksa mengantar saya ke toilet, dengan rasa takut tentunya. Namun saya tidak peduli. Yang penting saya harus segera menyelesaikan “bisnis”.

Setelah urusan saya di toilet selesai, saya pun ingin segera keluar. Namun rasa takut itu muncul lagi. Entah kenapa saya merasa lebih tidak nyaman dari sebelumnya.

Kali ini saya merasa ada seseorang yang menunggu saya di depan pintu toilet. Namun entah siapa. Yang pasti saya yakin itu bukan Dea.

Mencoba berpikir positif, saya mengira kalau sosok itu adalah penonton lain yang juga ingin buang air. Namun hal itu malah membuat saya semakin takut, karena masih banyak toilet kosong yang bisa digunakan.

Entahlah, saya benar-benar takut dan tidak tahu harus berbuat apa. Namun saya juga tidak mungkin berlama-lama di dalam toilet. Akhirnya saya pun memberanikan diri untuk keluar sambil berzikir.

“Astaghfirullahaladzim, astaghfirullahaladzim, astaghfirullahaladzim…”

Dan benar saja, ada sesosok kuntilanak menyeramkan di pojok ruangan toilet. Pandangannya tepat ke mata saya. Sosok itu seperti sedang menunggu saya keluar.

Dan yang lebih mengerikannya lagi, sosok itu menirukan kalimat zikir yang saya baca sambil menggeleng-gelengkan kepala. Persis seperti orang berzikir. Rambutnya yang hitam legam, awut-awutan, bergoyang kiri dan kanan. Seperti meledek, kalimat zikirinya makin keras.

“Astaghfirullahaladzim, astaghfirullahaladzim, astaghfirullahaladzim…”

Saya bukan main takutnya. Ingin berteriak dan segera pergi dari toilet ini. Namun semuanya terasa berat. Saya hanya bisa diam. Kuntilanak itu masih melakukan gerakan-gerakan yang aneh di pojokan. Saya hanya bisa berharap dia tidak mendekat.

Di dalam hati, saya terus berdoa. Karena hanya itu yang bisa saya lakukan. Sampai tiba-tiba saya terjatuh seperti pingsan tetapi anehnya kesadaran masih ada. Tidak lama, kuntilanak itu terdiam. Mungkin heran melihat saya yang mau pingsan tapi nggak jadi. Sedetik kemudian dia menghilang.

Saya sempat kaget karena takut kuntilanak itu akan tiba-tiba muncul di belakang saya. Kali ini, perasaan berat di kaki saya mulai hilang. Saya berlari keluar toilet kurang ajar itu untuk mencari Dea. Tapi, lorong di depan toilet ternyata kosong. Saya pikir Dea sudah kembali ke teater karena tidak mau ketinggalan film.

Di dalam teater, saya langsung duduk sambil terengah-engah. Degup jantung masih sangat kencang. “Kamu kenapa, Ran? Dari toilet kok kayak habis maraton,” kata Dea.

“Kamu, kok ninggalin, sih. Tadi itu…”

Belum selesai saya ngomong, Dea memotong, “Yang ninggalin siapa? Kamu kan keluar teater sendiri. Katanya mau pipis. Orang kamu nggak minta ditemenin.”

Tengkuk saya tiba-tiba jadi dingin. Duh, jadi siapa yang saya ajak ke toilet tadi. Saya tidak mau melanjutkan debat karena masih di dalam teater. Takut bikin gaduh. Sepanjang film itu saya cuma bisa diam saja. Yang lain pada jejeritan karena ketakutan. Saya, sih, biasa saja. Malah lebih takut sama kuntilanak yang bisa zikir di toilet tadi.

Duh, semoga nggak ngikut ke rumah…

Beberapa hari kemudian, saya diajak ke ke bioskop lagi, kali ini beda tempatnya. Kapok saya sama bioskop yang kemarin. Nah, dua teman bercerita, intinya, sih, sama, ada kuntilanak di toilet bioskop.

Jadi, kuntilanak ini biasa menunggu di depan pintu toilet, lalu meledek dengan mengikuti apa saja yang diucapkan “si korban”. Bukan hanya ucapan, bahkan gerakan badan juga. Serem banget.

Anehnya, toilet yang dua teman saya ceritakan ini berbeda bioskop. Kenapa kuntilanak yang muncul bisa sama. Jangan-jangan membelah diri. Atau, jangan-jangan kuntilanak punya grup WhatsApp. Di dalamnya baru pada rapat buat nyobain teknik menakut-nakuti paling baru, yaitu niruin semua gerakan “si korban”.

Jangan-jangan mereka juga suka gibah di grup WhatsApp kuntilanak. Duh, makin serem saya membayangkannya.

“Ran, anterin ke toilet, ya,” pinta salah satu teman saya.

“OGAH!”

BACA JUGA Pocong di Belakang, Kuntilanak di Depan: Terjepit Dua Hantu Ketika Menembus Hutan Sulawesi atau pengalaman ketemu hantu kreatif lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version