Ini bukan kisah saya. Waktu kerja kelompok zaman kuliah, seorang teman bercerita tentang pengalaman horornya di Perpustakaan Besar Kampus B, Universitas Airlangga. Sengaja, saya sebutkan nama karena penting menyebutkan lokasinya.
Alkisah, sebut saja Budi, bukan nama sebenarnya, tengah mengerjakan tugas kuliah di saat langit mulai semburat merah. Perpustakaan kala itu, katanya, sepi. Pengunjung mulai beranjak pergi.
Saking sunyinya, debum buku terjatuh pun terasa nyaring. Namun dia masih bergeming di meja seraya menyalin dari beberapa buku.
Sebagai gambaran saja, Budi berada di lantai tiga dengan ruangan yang lapang. Namanya perpustakaan pasti ada rak-rak berisi buku, kalau nggak kucel ya penuh debu.
Budi tak punya firasat buruk di tengah kesendiriannya, mungkin karena dia terlalu lama jomblo. Sudah terlalu lama sendiri. Ada orang syukur, tak ada yang menemani pun tak peduli.
Mungkin karena hasrat mencari teman, seorang perempuan manis lantas duduk di depannya. Dia bertanya kepada Budi.
“Mas … layanan peminjaman masih buka, nggak?”
“Sudah tutup, Mbak. Cuma sampai jam lima sore,” jawab Budi, menghentikan ketikannya. Cantik, siapa tahu ada kesempatan mbribik. Lumayan, pikir Budi.
“Waduh, padahal saya butuh banget,” kata si mbaknya.
“Pustakawan yang di lantai ini sudah pulang, coba tanya yang di lantai bawah,” saran Budi.
“Oke … Masnya nggak pulang? Sudah malam, lho,”
“Nanggung, Mbak, tinggal sedikit,”
Si mbak cuma mengangguk sambil tersenyum. Kok ndilalah, kertas coretan Budi jatuh ke bawah meja padahal nggak ada angin yang bertiup dan nggak ada yang menyentuh.
Budi menunduk, berniat mengambil. Tiba-tiba bulu kuduknya meremang. Dia melihat ada keanehan. Kursi di depan yang mestinya diduduki mbak cantik itu tampak kosong.
Budi mendongakkan kepala, perempuan di depannya masih melihatnya sambil tersenyum. Kembali lagi dia longok di bawah meja, kursi itu tetap tak ada yang menghuni.
Ada yang tak beres, pikirnya. Sontak Budi berdiri. Dia tutup laptopnya, mengemasi kertas dan memasukkannya tas. Bergegas ranselnya dicangklong.
“Mau ke mana, Mas?” tiba-tiba si Mbak bertanya.
“Mau pulang, Mbak. Sudah malam,” jawab Budi tak berani melihat orang yang mengajaknya bicara.
“Sudah malam apa sudah tahu?” timpalnya. Senyum yang manis tapi menurut Budi terlihat seperti seringai. Budi langsung mengibrit. Dia berlari menuruni tangga sambil terengah-engah.
Esoknya, dia ceritakan peristiwa creepy itu kepada teman-temannya, termasuk saya. Sejak itu, Budi tak mau sendirian di perpustakaan lantai tiga kalau jam pelayanan sudah tutup. Kapok, katanya.
Itulah kisah tentang Perpustakaan Besar Kampus B Unair. Awalnya, saya kira cerita ini hanya dialami oleh sejumlah mahasiswa Unair, tapi ternyata di kampus lain pun ada. Tercatat yang pernah saya dengar ada di Institut Teknologi Sepuluh November, Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang.
Belakangan, suami saya bilang cerita ini juga ada di perpustakaan kampusnya, Universitas Gaj Ahmada di Yogyakarta. Konon, semua melibatkan tiga elemen utama: perpustakaan menjelang tutup, ada barang yang terjatuh ke bawah meja, dan kalimat “Sudah malam apa sudah tahu?”
Saya heran, bagaimana mungkin semua perpustakaan kampus-kampus itu mempunyai cerita yang sama. Apakah itu sudah menjadi SOP perhantuan di perpustakaan? Hantu perpustakaan mana yang menjadi trendsetternya?
Sungguh, saya takut menulis kisah ini. Jangan-jangan, setelah dimuat di Mojok, modus menakut-nakuti seperti ini menjadi sporadis di perpustakaan kampus seluruh Indonesia. Siapa tahu para hantu itu seperti netizen, satu membuli yang lain ikut-ikutan.
Saya khawatir minat baca orang Indonesia makin terpuruk karena enggan singgah ke perpustakaan. Lantas mereka mudah percaya berita yang tak benar.
Bagi saya, penyebar hoax yang dipercaya banyak orang jauh lebih menyeramkan daripada hantu yang bertanya “Sudah malam apa sudah tahu?”.