MOJOK.CO – Barang peninggalan konon masih menyimpan aura tersendiri dari pemiliknya yang telah meninggal. Horor mesin jahit ini, misalnya.
Terserah mau percaya atau nggak, tapi ini bener pernah saya alami sendiri sembilan tahun yang lalu. Menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, pengalaman horor mesin jahit peninggalan Mak Siti, ibu kawan saya yang sering beroperasi sendiri tiap menjelang subuh.
Semasa hidup, Mak Siti berprofesi sebagai penjahit desa yang cukup terkenal. Namun sayang, bakat menjahitnya nggak menurun ke Sopian, anak laki-laki semata wayangnya. Sebenernya Mak Siti udah sering bilang ke Sopian buat belajar menjahit. Tapi Sopian selalu menolak. Baginya, nggak cocok aja gitu anak cowok tapi yang dipegang mesin jahit.
Bahkan ketika Mak Siti jatuh sakit karena diabetes dan berhenti total dari aktivitas menjahit, Sopian masih keras kepala sama pendiriannya; nggak mau belajar menjahit seperti apa yang ibunya minta.
“Ya mbok dituruti tho Yan, anggep itu permintaan terakhir,” ucap saya suatu kali ke Sopian. “Niatin buat nyenengin belio aja apa salahnya, tho?”
“Wegah aku, Li. Ha mososk cah lanang jahit. Nggak mbois blas cuaaahhh.” Jawabnya sambil masang muka mbesengut.
Sepeninggal Mak Siti, mesin jahit itu otomatis nganggur. Nah, setelah lewat dua puluh hari meninggalnya Mak Siti, barulah kengerian itu terjadi. Mesin jahit yang terletak di pojok ruang tengah itu sering beroperasi sendiri tiap menjelang subuh. Waktu normal Mak Siti memulai menggarap jahitan…
“Aku nggak lihat sih, tapi aku denger aja dari kamar. Kayak ada suara mesin jahit gitu. Kan kamu tahu di rumah nggak ada orang lain selain aku sendirian.” Begitu Sopian bercerita.
“Halah, halusinasimu aja itu, Yan.”
“Kalau nggak percaya mending nanti malem tidur rumahku aja wis,” tantang Sopian.
Saya pun menerima ajakan tantangan Sopian. Malam itu juga saya menginap di rumahnya yang letaknya deket sungai yang ditumbuhi rimbunan pohon bambu. Dibilang ngeri ya ngeri sih. Derit bambu diterpa angin tahu sendiri lah horornya udah kayak apa. Itulah yang membuat saya jarang-jarang main ke rumah Sopian malem-malem. Paling-paling juga siang atau sore hari buat main bola di pelataran rumahnya yang cukup luas. Malem itu, dengan sangat terpaksa saya menginap juga di sana
Sepintas saya pandangi mesin jahit yang teronggok di sudut ruang tengah itu. Tiba-tiba saja bulu kuduk saya meremang. Kayak ada aura-aura aneh yang memancar dari mesin jahit tersebut.
“Baru dilihat saja udah bikin merinding, to?” goda Sopian seolah tahu apa yang saya rasakan. “Yeee, dari dulu rumahmu emang hawanya aneh kali, Ndes.” Sangkal saya yang sebenernya cuma buat nenangin diri sendiri.
Malam berlalu begitu saja. Tanpa saya sadari ternyata saya ketiduran di ruang tengah, persis di depan televisi, sementara Sopian udah nyenyak di kamar. Samar-samar saya lirik jam dinding yang ternyata udah pukul setengah tiga dini hari. Saya pun beranjak buat nyusul ke kamar Sopian di ruang belakang.
Baru beberapa langkah saja tiba-tiba saya mendengar ada suara derit mesin jahit. Nyata dan sangat jelas sekali. Seketika mak deg hati saya, gemetaran dari ujung kepala sampai ujung kaki. Karena kepalang tanggung udah berada di ruang tengah, akhirnya saya putuskan ngecek sendiri saja, alih-alih bangunin Sopian lebih dulu.
Pelan-pelan saya mengendap mendekat ke sudut mesin jahit itu diletakkan. Makin saya mendekat makin jelas saja suara mesin jahit berderit-derit. Nggak hanya itu, sesekali saya dengar ada suara perempuan terbatuk-batuk kecil. Makin mak tratap saja hati saya. Tubuh saya rasanya jadi panas dingin.
“Loh, Mak?” saking kagetnya reflek saya berucap demikian saat mendapati bayangan seorang perempuan sedang mengoperasikan mesin jahitnya. Saya menelan ludah setelah menyadari kalau saya keceplosan. “Duh, piye iki?” batin saya dengan getar tubuh menjadi-jadi.
“Yan, Sopian, ambilin kain di meja itu gih, Cung, cah bagus.” Lirih sosok perempuan itu bersuara. Suara yang bener-bener mirip dengan suara almarhumah Mak Siti.
“Aku Ali, Mak, bukan Sopian,” entah gimana saya kok ya reflek menjawab begitu.
Mendengar jawaban saya, sosok perempuan itu berhenti menjahit. Kemudian dia memutar kepalanya ke belakang, ke arah saya. Pemandangan yang hampir bikin saya kencing di celana. Saya nggak ngelihat jelas wajahnya. Saya hanya ngelihat komat-kamit bibirnya ketika bilang, “Panggilin Sopian.”
Dengan tubuh gemetaran dan keringat bercucuran saya auto lari tunggang langgang ke kamar Sopian. “Yan, bangun Yan, dicari emakmu itu lohhh,” teriak saya kalap sambil menggoyang-goyang tubuh Sopian.
Sopian pun bangun. Wajahnya pucat pasi. Tanpa banyak bicara Sopian langsung bergegas keluar kamar. Dinyalakannya lampu ruang tengah. Dan anehnya, nggak ada siapa-siapa lagi di sana. Mesin jahit di sudut ruangan juga diam saja. Hanya saja, kain penutupnya jatuh di lantai.
Pagi harinya, Sopian membereskan pernak-pernik di dekat mesin jahit, menata ulang, dan membersihkan debu-debu yang menempel di sana-sini. “Mau kamu jual aja ta mesin itu?” tanya saya setengah memberi saran. “Daripada bikin horor aja tiap dini hari, kan?”
“Nggak lah, Ndes, ngawur aja. Mau ku buat latihan jahit sama Budhe.”
Mendengar jawaban Sopian, saya auto ngakak rak wis-wis. Tawa yang seketika tercekat begitu saja ketika saya ngelihat dari cermin dekat mesin jahit itu ada sosok perempuan yang berdiri di sebelah Sopian.
“Yan, aku pulang dulu yo.” Tanpa menunggu jawaban dari Sopian, saya langsung bergegas meninggalkam rumah dan segala horor mesin jahit di sana. Nggak mau ikut-ikut urusan emak-anak itu.
BACA JUGA Hantu Kepala Buntung Pemetik Cabai Setan atau artikel lainnya di MALAM JUMAT.