Gunung Slamet: Mengantarmu Pulang Ke Samarantu (Bagian 3 – Tamat)

Tulisan ini saya persembahkan untuk dia kawan baik saya, Teguh dan Mila.

Gunung Slamet: Mengantarmu Pulang Ke Samarantu MOJOK.CO

Ilustrasi Gunung Slamet. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COTujuan kami adalah Gunung Slamet, yang setiap pagi, keangkeran puncaknya bisa kami nikmati dari depan rumah.

Baca dulu bagian 1 dan 2 di sini:

Gunung Slamet: Mengantarmu Pulang Ke Samarantu

Gunung Slamet: Mengantarmu Pulang Ke Samarantu (Bagian 2)

Mila menempati sebuah rumah kos di salah satu sudut perumahan bersama beberapa teman sedaerahnya. Kamar Mila terpisah dari rumah induk, posisinya di tengah, di antara kamar Sisi dan Anya. Penghuni kos yang lain berada di rumah induk. Ibu kos sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Hanya sesekali saja Pak Drajat, anak dari ibu kos datang menjenguk.

Kepanikan di kos Mila

Malam itu, kompleks perumahan yang selama ini tenang dan sepi tiba-tiba saja digegerkan oleh teriakan para penghuni kos. Entah apa sebabnya, tiba-tiba saja pintu kamar Mila terdengar seperti digedor-gedor dari dalam.

Suaranya keras sekali hingga mengundang perhatian tetangga. Kejadian ini membuat panik seisi rumah. Apalagi mereka tahu kalau Mila sedang tidak ada di dalam kamar. Tak ada satu pun dari mereka yang berani menghampiri kamar Mila. Seisi rumah kos berhamburan keluar sambil menjerit.

Selang beberapa saat, Pak Drajat datang. Sisi yang berinisiatif menelepon dan meminta beliau untuk datang karena khawatir terjadi sesuatu. Ditemani beberapa tetangga, Pak Drajat menghampiri kamar Mila. Anehnya, setelah berada di depan pintu kamar Mila, gedoran-gedoran itu terhenti. Semua yang ada di situ berdebar sambil berharap cemas menanti apa yang selanjutnya akan terjadi.

“Mila kemana?” Pak Drajat bertanya kepada para penghuni kos.

“Pergi dari pagi, Pak. Belum pulang,” Anya menjawab dengan suara agak keras karena dia berdiri agak jauh dari kamar Mila.

“Ada yang bawa kunci kamar Mila?” Pak Drajat bertanya lagi.

“Ada di kamar saya, Pak. Sebentar, saya ambilkan,” sahut Sisi sambil mengajak beberapa teman lain untuk menemaninya ke kamar.

Ketika mengangsurkan kunci kamar Mila ke Pak Drajat, wajah Sisi teramat pucat. Dia ketakutan. Para penghuni kos juga merasakan ketakutan yang sama. Namun tidak demikian dengan Pak Drajat. Sepertinya beliau tahu persis dan mengerti bagaimana harus menanganinya. Ini terlihat dari ketenangan wajah beliau.

“Ada yang tau kemana Mila pergi?” Pak Drajat bertanya sambil menghembuskan asap rokok dari hidungnya.

“Nggak tau, Pak. Dia nggak pamit.” Sisi dan Anya menjawab hampir bersamaan. Mereka berdua memang paling akrab dengan Mila, mungkin karena kamar yang saling bersebelahan dan perbedaan usia yang tidak terlalu jauh.

Pak Drajat membuka kunci pintu kamar Mila. Beberapa tetangga mengiringi di belakangnya. Begitu juga Sisi dan Anya. Saat pintu terbuka, aroma wangi bunga tercium menyeruak. Sontak orang-orang yang ada di belakang Pak Drajat terkesiap dan melangkah mundur. Pak Drajat sendiri masih terlihat tenang menghadapi situasi yang bagi orang biasa membuat bulu kuduk berdiri.

Misteri kertas di balik bantal

Pak Drajat bergumam seperti sedang berdoa. Tetapi, sesaat dia agak terkejut melihat sebuah bingkai foto tergeletak di bawah tempat tidur Mila.

“Foto Kinanti kenapa ada di kamar Mila?” Sambil bertanya Pak Drajat memandang ke arah Sisi dan Anya.

“Beberapa hari yang lalu Mila mengambil dari ruang tengah. Katanya mau digambar, Pak,” jelas Anya kepada Pak Drajat.

Sejak kecil, Mila memang hobi menggambar. Dari hobinya ini, dia sering mendapat pesanan dari temannya untuk menggambar foto wajah. Hasilnya dia pakai untuk menambah uang saku. Hidup di perantauan memang harus jeli memanfaatkan kesempatan dan keahlian.

“Sisi dan Anya coba kalian masuk sini. Kita cari bersama, barangkali Mila sudah menyelesaikan gambarnya,” pinta Pak Drajat.

Mereka bertiga lalu mencoba mencari gambar Kinanti di dalam kamar berukuran 3×4 itu. Hasilnya nihil. Bisa jadi Mila belum sempat menggambarnya karena seluruh peralatan gambar masih tersimpan rapi di laci meja.

Namun ketika mencoba mencari di bawah bantal, Anya menemukan secarik kertas bertuliskan Antar aku ke Samarantu.Anya dan Sisi tak mengenali karakter huruf dan maksud tulisan itu. Mereka yakin itu bukan tulisan Mila. Dan Samarantu? Gunung Slamet? Di mana itu? Berbagai tanya menghinggapi benak Sisi dan Anya. Ketika ditanyakan kepada penghuni kos lainnya mereka juga tidak ada yang mengenalinya.

Pak Drajat terperanjat sesaat setelah menerima secarik kertas dari Anya. Namun beliau berusaha untuk tetap terlihat tenang agar tidak membuat keadaan jadi semakin runyam. Nampak sekali perubahan pada raut wajahnya. Pak Drajat mengusap wajah dengan kedua telapak tangan lalu mengajak semua keluar dari kamar Mila.

Beberapa tetangga menghampiri Pak Drajat sambil menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Pak Drajat meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi malam itu sambil menenangkan para tetangga dan berjanji akan menjelaskan esok harinya.

“Kalau kalian takut, malam ini menginap di rumah saya saja. Nanti setelah Mila pulang, saya ceritakan semuanya kenapa ini bisa terjadi.”

“Tidak usah, Pak. Biar kami semua di sini saja. Mbak Sisi dan Mbak Anya bisa tidur di kamar Nisa.Tapi malam ini, Bapak jangan pulang. Kami masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Nisa yang berkamar di dalam rumah induk berusaha meyakinkan Pak Drajat kalau mereka baik-baik saja.

Kinanti

Mereka berdelapan berkumpul di rumah induk yang letaknya berseberangan dengan kamar Mila. Di tengah antara kedua bangunan itu terdapat kebun yang terawat dan asri.

Pak Drajat duduk di sofa ruang tengah. Dia menelepon istrinya, menceritakan keadaan di rumah kos, dan memberitahukan bahwa malam ini dia tidak pulang. Bingkai foto Kinanti didekapnya erat di dada, seolah tidak mau kehilangan.

Sisi membawakan secangkir teh untuk Pak Drajat, sementara anak-anak yang lain duduk bersimpuh di karpet mengelilingi Pak Drajat, berharap beliau akan menceritakan misteri dari kejadian yang baru saja mereka alami bersama.

“Kinanti ini keponakan kesayangan Eyang. Dia adik sepupu saya. Ayah dan ibunya bercerai saat dia masih SMA.”

Pak Drajat membuka ceritanya sambil menyalakan rokok. Eyang adalah panggilan dari para penghuni kos kepada ibu kos. Eyang selalu menganggap penghuni kos sebagai cucunya, hubungan mereka sangat dekat. Itulah mengapa saat beliau meninggal, para penghuni kos merasa sangat kehilangan.

Semua penghuni kos duduk mendengarkan cerita tentang sosok Kinanti dari Pak Drajat. Sampai ketika bercerita tentang kematian Kinanti, Pak Drajat tiba-tiba terhenyak sambil bertanya.

“Teguh, pacar Mila, bukannya dia mahasiswa pecinta alam?”

“Iya Pak, bener. Ada apa, Pak?” jawab Sisi sambil mengernyitkan dahi.

“Nanti saya lanjutkan lagi ceritanya. Sekarang coba cari Teguh, apakah dia ada di rumah atau sedang bersama Mila?”

Sisi membuka pintu depan, kebetulan di depan rumah ada beberapa anak muda yang masih berjaga selepas kegaduhan yang terjadi tadi.

“Mas, di situ ada Mas Teguh nggak?”

“Nggak ada Si, ada juga Beni,” teriak salah satu dari mereka.

Beni adalah kakak dari Teguh yang memilki hobi sama dengan adiknya, naik gunung. Sisi lalu memanggil Beni dan mempersilakannya masuk.

“Mas Beni tahu nggak Mas Teguh ke mana?”

“Loh, bukannya dia lagi ke Gunung Slamet bareng Wawan dan Mila. Emang Mila nggak pamit?”

Beni menjelaskan sekaligus bertanya.

Amplop surat di kamar Eyang

Pak Drajat yang dari tadi duduk di ruang tengah rupanya mendengar apa yang diucapkan Beni. Tergopoh-gopoh beliau menghampiri Beni. Sambil mempersilakan dia duduk, Pak Drajat menanyakan kepergian Teguh dan Mila.

“Mereka pergi bertiga tadi pagi Pak, katanya Mila penasaran karena selama ini cuma denger tentang Gunung Slamet dari cerita saja. Wawan sempat mengajak saya tapi saya nggak bisa karena ada kerjaan. Mungkin malam ini sudah jalan sampai Samarantu.”

Begitu mendengar penjelasan dari Beni, seketika wajah Pak Drajat menegang. Seisi rumah kos juga ikut tegang mendengar perkataan terakhir dari Beni. Samarantu… itu yang tertulis di kertas yang ditemukan di kamar Mila. Antar Aku ke Samarantu”, tulisan itu masih sangat jelas di ingatan Anya dan Sisi.

Pak Drajat terlihat sedang berpikir keras. Lalu dia mengeluarkan kertas dari kantong sambil bertanya ke Beni.

“Apa ini tulisan Teguh?” Pak Drajat menyorongkan kertas itu ke arah Beni.

“Bukan, Pak. Tulisan Teguh tidak sebagus ini,” jawab Beni.

Tiba-tiba saja Pak Drajat bangkit dari duduknya dan mengeluarkan kunci dari saku celananya. Dia berjalan ke arah kamar yang selama ini terkunci dan hanya dibuka ketika Pak Drajat berkunjung. Kamar Eyang.

Sisi dan Anya setengah berlari menyusul Pak Drajat sambil membawa kertas yang tadi di tangan Beni. Mereka seperti tahu apa yang akan dilakukan Pak Drajat. Membuka dokumen milik Eyang dan berharap menemukan sesuatu.

Dan setelah membuka beberapa tumpukan dokumen, apa yang dicari akhirnya ketemu. Sebuah amplop surat yang dialamatkan untuk Eyang. Karakter hurufnya persis dengan apa yang tertulis di secarik kertas tadi. Halus dan rapi. Di bagian belakang surat tertulis sebuah alamat dan nama. Kinanti.

Saat akan mengembalikan dokumen ke dalam lemari, mata Pak Drajat tertumbuk pada sebuah kotak cincin yang tersimpan di dalam laci lemari Eyang. Setelah dibuka, ternyata ada sepasang cincin yang terukir nama Kinanti dan Herman. Dia memasukkannya ke dalam saku celana. Sementara Pak Drajat sudah mulai bisa mengurai misteri yang terjadi, Anya dan penghuni kos lain masih belum bisa memecahkan teka-teki ini.

Setelah mengunci pintu kamar, ketiganya kembali menemui Beni di ruang tamu. Beni sendiri sedang dicecar dengan banyak pertanyaan oleh penghuni kos lain seputar Samarantu. Memang tidak banyak orang tahu apa atau di mana letak Samarantu karena hanya para pendaki Gunung Slamet dan sedikit orang saja yang mengenal daerah itu.

“Mas Beni, malam ini bisa temani saya?” Tanya Pak Drajat sesaat setelah berada di ruang tamu.

“Ke mana, Pak? Tengah malam begini?” Beni balik bertanya.

Ketegangan semakin terasa karena belum ada yang bisa menebak akan ada kejadian apa selanjutnya. Semua bergulat dengan pikiran mereka masing-masing.

“Kita harus segera menyusul ke Gunung Slamet. Ini menyangkut keselamatan mereka bertiga.”

Kali ini giliran Beni yang terbengong mendengar jawaban dari Pak Drajat. Dia tidak menyangka urutan kejadian ini bakal ikut mengancam keselamatan adiknya di Gunung Slamet.

“Baik, Pak. Tapi daripada naik mobil, lebih baik naik sepeda motor saya saja. Soalnya jalan menuju basecamp Gunung Slamet susah untuk dilewati sedan. Sebentar, saya persiapkan perlengkapan dulu. Sekalian keperluan buat Pak Drajat di Gunung Slamet nanti.”

Pak Drajat mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.

“Sebenarnya ada apa, Pak?”

Sisi bertanya setengah memprotes karena Pak Drajat belum juga membuka cerita di balik misteri ini.

“Panjang ceritanya kalau harus saya jelaskan sekarang. Tapi nanti sepulang dari Gunung Slamet, saya akan ceritakan semua. Sekarang lebih baik kalian berdoa untuk keselamatan teman-teman kalian.”

Sebelum berangkat ke Gunung Slamet, Pak Drajat kembali lagi ke kamar Mila. Dia meletakkan sebuah kotak, seperti kotak cincin, di atas meja rias Mila. Tak ada satu yang tahu isi kotak tersebut dan tujuan Pak Drajat meletakkannya di situ.

Siapa yang memasang foto Kinanti? 

Beni sudah datang kembali membawa sepeda motor dan peralatan lainnya. Untuk urusan mendaki Gunung Slamet, dia sudah S3. Sudah ahlinya. Hampir semua gunung di Indonesia sudah dia datangi. Beberapa kali juga Beni terlibat dalam kegiatan SAR di gunung. Hampir semua warga kompleks mengenal dia, karena selain mudah bergaul, Beni juga aktif terlibat dalam kegiatan di lingkungannya.

Pak Drajat sendiri sudah sangat dikenal di kompleks perumahan karena termasuk penghuni paling lama. Sebelum menikah, beliau juga tinggal di rumah yang sekarang jadi tempat kos Mila dan teman-temannya. Dia bekerja di salah satu perusahaan BUMN dan memiliki dua orang anak.

Malam itu juga, Beni dan Pak Drajat berangkat untuk menyusul Mila di Gunung Slamet. Mengendarai sepeda motor milik Beni, mereka menembus dinginnya malam. Untuk mempersingkat waktu dan memperpendek jarak tempuh, mereka memilih jalur lewat Jalan Perhutani.

Sebelumnya, Pak Drajat menitipkan keselamatan Anya, Sisi, dan penghuni kos lainnya kepada ketua RT dan teman-teman Beni yang malam itu masih berkumpul di jalan depan rumah.

Malam semakin larut, sementara sejuta tanya masih mengendap dalam pikiran setiap penghuni kos. Tidak ada obrolan di antara mereka, masing-masing sibuk dengan pikirannya.

Ada sedikit ketakutan mengingat peristiwa yang baru saja mereka alami. Ketika Sisi memandang ke foto-foto yang berjajar di dinding dia terkejut karena ada satu foto baru yang terpasang.

Penghuni kos lain memperlihatkan keterkejutan yang sama. Foto ini belum pernah ada sebelumnya. Itu foto Kinanti!

Dan yang ini… bukan foto yang ditemukan di kamar Mila tadi!

Pak Drajat dan Beni sampai di Gunung Slamet

Kala itu, Gunung Slamet masih jarang dikunjungi pendaki kecuali oleh mereka yang tergabung dalam Mapala atau perkumpulan pecinta alam lainnya. Basecamp Bambangan saat itu ya rumah Pak Bau itu sendiri. Belum ada loket simaksi seperti hari ini. Namun, setiap pendaki wajib mengisi buku tamu dan mencantumkan jumlah anggota, sekaligus rencana pendakian.

Beni buru-buru memarkirkan sepeda motornya di halaman Basecamp Bambangan. Di belakangnya, Pak Drajat menyusul mengikuti langkah Beni. Kali ini Beni sedikit panik. Ini bentuk lain dari operasi SAR, tapi dia tidak pernah terbayang jika kali ini adiknya sendiri yang jadi survivor.

Saat itu pukul setengah dua belas, semoga Pak Bau belum tidur, atau paling tidak bisa ketemu anaknya, batin Beni.

Tidak membutuhkan waktu lama setelah diketuk lalu pintu terbuka, Pak Bau memang belum tidur. Sudah menjadi kewajibannya sebagai Kepala Dusun dan “juru kunci” Gunung Slamet untuk melayani setiap tamu yang datang tanpa mengenal waktu.

Selain berjaga jika terjadi sesuatu dengan para pendaki secara spiritual, dia juga bertanggung jawab terkait aktivitas Gunung Slamet itu sendiri.

“Loh, Ben. Ada apa?”

Pak Bau menduga ada sesuatu yang tidak beres, tidak biasanya Beni datang tengah malam. Dia sudah mengenal Beni sejak lama karena beberapa kali Beni terlibat dalam ekspedisi di Gunung Slamet, operasi SAR, dan beberapa kegiatan kepecintaalaman yang lain.

Beni juga ikut terlibat sebagai salah satu anggota SRU (Search and Rescue Unit) saat operasi SAR pencarian dua pendaki yang hilang di Gunung Slamet beberapa tahun sebelumnya. Belum pernah Beni datang selarut ini ketika tujuannya hanya untuk mendaki.

Setelah mengenalkan Pak Drajat kepada Pak Bau, Beni menceritakan maksud kedatangannya. Tidak mau ketinggalan, Pak Drajat juga melengkapi keterangan cerita Beni. Pak Bau seperti berusaha keras mengingat sesuatu. Melihat Pak Bau seperti itu, Pak Drajat lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah bingkai foto dan secarik kertas.

“Astagaaa!”

Kedua mata Pak Bau terbelalak begitu melihat foto dan tulisan di kertas itu. Seketika itu juga, dia teringat momen saat Mila berpamitan sore tadi.

“Jadi itu Kinanti! Saya ingat wajahnya. Tapi di buku ini tertulis namanya Mila,” lanjut Pak Bau sambil membuka buku tamu di atas meja.

Kali ini giliran Beni yang bingung. Dia belum bisa menemukan benang merah dari kejadian ini. Pak Bau masuk ke dalam kamar, kemudian membuka satu demi satu album foto lama.

“Saya juga punya foto Kinanti, Ben. Kamu bisa bantu cari?” Pak Bau menyodorkan album foto lainnya.

“Biar saya bantu. Sepertinya Beni belum pernah melihat wajah Kinanti,” Pak Drajat mengambil salah satu album foto dan membuka lembar demi lembar halamannya.

Kebiasaan banyak pendaki waktu itu, sebelum pamitan kepada Pak Bau setelah atau sebelum pendakian, adalah berfoto bersama. Ternyata Pak Bau mendokumentasikan dengan rapi semua foto itu, lengkap dengan tanggal di belakangnya. Album foto diberi label dan disusun berdasarkan tahun.

“Ini, Pak!” Seru Pak Drajat sambil menunjuk sebuah foto.

Astagfirullah!

“Kinanti dan Herman!” Suara Pak Bau bergetar sesaat setelah melihat foto yang ditunjukkan Pak Drajat.

Matanya menerawang seperti mengingat sebuah kejadian yang telah lama berlalu tapi tidak pernah beliau lupakan. Suasana di basecamp semakin mencekam. Beni melihat foto itu. Seorang perempuan cantik bersama laki-laki di sebelahnya. Di balik foto itu tertera tanggal dan pembuatan foto. 1980. Sudah 14 tahun yang lalu, batin Beni. Lalu, siapakah Herman?

Setelah itu, Pak Bau menceritakan apa yang dialaminya tadi sore, saat Teguh, Wawan dan Mila pamitan naik Gunung Slamet. Mila menjadi yang terakhir berpamitan dengan Pak Bau. Pak Bau bahkan masih ingat apa yang dikatakan Mila.

“Bapak sehat? Masih ingat saya? Saya pamit, Pak. Doakan saya.” Kalimat Mila terdengar sangat aneh. Namun, dia mengucapkan kalimat itu sambil tersenyum.

Pak Bau sempat mencoba mengingat perempuan yang baru saja berpamitan. Wajahnya seperti tidak asing, walaupun terlihat pucat dan saat digenggam telapak tangannya lemah dan dingin. Tapi karena banyaknya urusan yang harus diselesaikan, kejadian Mila berpamitan tadi jadi terlupakan begitu saja. Dia teringat kembali setelah kedatangan Beni dan Pak Drajat.

“Saya tau sekarang Ben, Kinanti mencoba meminjam tubuh Mila untuk kembali ke Samarantu. Kita harus segera menyusul mereka,” kata Pak Bau lalu terbangun dari duduk.

Tidak lama setelah itu, Pak Bau membangunkan istrinya untuk mempersiapkan tempat jika terjadi keadaan darurat. Dia lalu bergegas ke rumah atas, kediaman adiknya, untuk mengajaknya naik ke Samarantu. Beni sendiri memutuskan supaya Pak Drajat menunggu saja di basecamp Gunung Slamet karena selain kondisi fisik beliau yang tidak memungkinkan, perjalanan kali ini juga bukan pendakian biasa.

Tragedi kehidupan Kinanti

Hanya butuh 15 menit bagi Pak Bau untuk menyiapkan semua, termasuk mengajak beberapa penduduk lokal untuk ikut membantu mengevakuasi tiga orang survivor yang sekarang ada di Gunung Slamet. Setelah sejenak memanjatkan doa, Beni, Pak Bau dibantu lima orang penduduk desa bergerak. Tujuannya jelas. Samarantu.

Bagi mereka, naik Gunung Slamet sudah menjadi keseharian. Secara alamiah, kondisi fisik mereka sudah tertempa dan stamina bukan lagi halangan. Mereka mendaki hanya berbekal ubi rebus, gula merah, dan air putih. Jika pendaki biasa butuh waktu berjam-jam untuk sampai ke puncak Gunung Slamet, penduduk setempat hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja.

Sambil berjalan di depan, Pak Bau bercerita tentang siapa sebenarnya Kinanti. Beni yang mengiringi di belakangnya menyimak dengan seksama cerita yang baru pernah dia dengar, kali ini dari Pak Bau, saksi langsung dari tragedi yang menimpa Kinanti pada 1980.

Kinanti sudah beberapa kali mendaki ke Gunung Slamet. Dia tergabung dalam sebuah kelompok pecinta alam di Purwokerto. Usianya saat itu masih sangat muda. Saat itu, jumlah pendaki perempuan masih bisa dihitung dengan jari. Hampir setiap hari libur, Kinanti selalu datang ke Bambangan, entah untuk mendaki atau sekadar silaturahmi ke tempat Pak Bau. Karena saking seringnya, Pak Bau dan istrinya sudah seperti keluarga bagi Kinanti. Tidak jarang juga Kinanti membawakan oleh-oleh untuk mereka di Gunung Slamet.

Kinanti adalah anak semata wayang. Selesai SMA, dia diboyong oleh ayahnya dari Bandung untuk dititipkan kepada budenya di Purwokerto. Karena budenya tidak memiliki anak perempuan, maka jadilah Kinanti seperti ratu dalam keluarganya. Parasnya yang cantik dipadu dengan kemampuannya bergaul dengan siapa saja membuatnya mudah diterima.

Kinanti memiliki seorang teman pria yang akhirnya jadi tunangannya. Namanya Herman. Sesama pegiat alam bebas, mereka dipertemukan ketika Diksar. Saat itu, keduanya di-hire oleh sebuah klub pecinta alam untuk menjadi instruktur. Selepas berpacaran, tak berapa lama, mereka akhirnya memutuskan untuk bertunangan. Tragisnya, hari pertunangan menjadi hari terakhir bagi keduanya.

Siang hari selepas acara pertunangan, Kinanti berpamitan untuk pergi ke Bambangan bersama Herman. Mereka berniat merayakan pertunangan dengan mendaki Gunung Slamet. Padahal, cuaca saat itu tidak begitu mendukung karena sedang musim hujan. Namun, siang itu, langit memang terlihat cerah.

Gunung Slamet yang setiap pagi bisa terlihat dari rumah Kinanti, saat itu hanya tertutup oleh kabut tipis.

Sekira pukul dua siang, mereka berdua berangkat menggunakan sepeda motor. Bagi keduanya, Gunung Slamet sudah seperti taman bermain. Basecamp Bambangan juga layaknya rumah kedua bagi mereka.

Sampai di Pratin, ketika akan menuju Bambangan, tiba-tiba motor mereka mogok. Beberapa kali Herman berusaha menyalakan lagi, tapi hasilnya nihil. Akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan kaki. Motor mereka titipkan di rumah penduduk. Kebetulan, pemilik rumah itu memiliki warung kecil, Kinanti mampir untuk membeli sesuatu sekaligus sebagai ucapan terima kasih karena sudah bersedia dititipi motor.

Tepat sebelum Maghrib, keduanya sampai di Basecamp Bambangan, rumah Pak Bau. Seperti kebiasaan, sesampainya di Bambangan, mereka langsung menuju ruang belakang untuk bertemu dengan keluarga Pak Bau.

Dengan penuh sukacita, keduanya mengabarkan pertunangan mereka dan keinginannya merayakan dengan mendaki Gunung Slamet berdua. Pak Bau sempat mengingatkan tentang kondisi cuaca yang tidak menentu. Tapi mereka bersikukuh untuk mendaki malam itu karena merasa sudah membawa perlengkapan yang memadai. Pak Bau tidak mampu lagi melarang karena dia tahu persis siapa Kinanti.

Setelah berfoto, Herman dan Kinanti berpamitan kepada.

“Saya pamit, Pak. Doakan saya.”

Kinanti berpamitan seraya tersenyum sambil menyalami Pak Bau.

“Saya juga pamit, Pak. Sekalian kami nitip cincin. Takutnya hilang,” Herman berkata sambil menyerahkan cincin pertunangan mereka berdua.

“Ya, kalian hati-hati. Cuaca sedang jelek.”

Pak Bau lalu memanggil istrinya untuk membawakan bekal ubi rebus dan gula merah kepada Herman dan Kinanti. Ada perasaan mengganjal di hatinya saat melepas kepergian Herman dan Kinanti ke puncak Gunung Slamet. Pak Bau lalu masuk ke kamar, memandangi kotak berisi cincin tunangan itu beberapa saat sebelum menyimpannya di laci lemari.

Malam itu, pukul dua dini hari, cuaca di Bambangan sedikit gerimis. Pak Bau memandang puncak Gunung Slamet dari halaman. Kondisinya cerah, puncak terlihat jelas. Semoga mereka berdua diberi keselamatan. Pak Bau tahu betul, walau di bawah cerah, kondisi yang sama belum tentu berlaku di atas sana. Cuaca di Gunung Slamet memang kadang tidak bisa diprediksi. Setelah menghabiskan sisa kopi di cangkirnya, Pak Bau beranjak tidur.

Mendung di langit Bambangan

Matahari tidak menampakkan sinarnya. Dusun Bambangan tertutup kabut pekat pagi itu. Beberapa penduduk berangkat mencari kayu bakar. Jika di tepi hutan mulai sulit menemukan dahan dan ranting, tidak jarang, mereka masuk sampai jauh ke dalam hutan.

Selepas senja, seorang warga dengan tergesa-gesa datang menemui Pak Bau. Dari kejauhan, Pak bau mengira yang datang adalah pendaki yang baru turun dari Gunung Slamet karena dia menggendong sebuah carrier. Setelah dekat barulah beliau melihat, ternyata dia adalah penduduk desa yang baru pulang mencari kayu bakar, tapi carrier yang dibawanya tidak asing. Itu carrier Herman! Lalu di mana Herman dan Kinanti?

Setengah tidak percaya, ketika Pak Bau mendengar cerita bahwa carrier Herman ditemukan di Samarantu. Lalu Herman di mana?

Apakah mereka berdua ada di puncak lalu terjebak badai? Lalu kenapa carriernya ada di Samarantu padahal jarak dengan puncak Gunung Slamet masih jauh. Seribu tanya menggelayuti benak, bagaimanapun mereka berdua sudah seperti keluarga bagi Pak Bau.

Tanpa menunggu lama, logistik disiapkan. Sepuluh penduduk lokal yang sudah sering terlibat dalam operasi SAR dilibatkan dalam pencarian Kinanti dan Herman. Namun, hingga empat hari pencarian, jejak mereka tidak ditemukan.

Sampai di hari ketujuh, salah seorang warga yang tergabung dalam tim SAR menemukan topi yang biasa dipakai Kinanti di bibir jurang di sekitar Kendit. Seminggu setelah penemuan topi itu, jejak keduanya tidak pernah ditemukan hingga mereka berdua secara resmi dinyatakan hilang. Analisis dari tim SAR adalah keduanya terjebak badai di puncak Gunung Slamet dan Herman mencoba turun untuk meminta bantuan tapi dia hilang di Samarantu. Seribu kemungkinan bisa terjadi, mereka hanya bisa menebak.

Keluarga sudah mengikhlaskan kepergian Kinanti dan Herman. Sejak hari kedua pencarian, keluarga setia menunggu di basecamp hingga mereka berdua dinyatakan hilang. Sebelum berpamitan pulang, sambil berkaca-kaca, Pak Bau menyerahkan kotak cincin yang dititipkan oleh Herman sebelum mendaki kepada Bude Kinanti.

Karena asyik mendengar cerita dari Pak Bau, tanpa terasa, perjalanan Beni, Pak Bau, dan penduduk yang lain sudah masuk jauh ke tengah hutan. Mereka terus bergerak tanpa berhenti, sesekali meniup peluit sambil meneriakkan nama ketiganya bergantian.

Hingga saat di sekitar hutan cemara, mereka melihat kilat senter dan lamat-lamat suara teriakan yang tertiup angin datang dari atas. Belum jelas siapa yang berteriak karena hembusan angin datang dari arah bawah.

“Guuuh! Miiil! Waaan!” Beni berteriak sekuatnya sambil menyorotkan senter ke atas. Sementara yang lain meniupkan peluit bersamaan. Malam itu tiba-tiba saja Gunung Slamet riuh rendah oleh suara peluit dan teriakan.

Pertemuan di Samarantu

Mataku berbinar mendengar suara orang memanggil dari bawah. Itu suara Mas Beni! Mungkin ini yang dimaksud oleh Kinanti bahwa akan ada yang menyusul mereka ke atas.

Aku sorotkan senter ke arah suara itu berharap Mas Beni melihat kilatan cahayanya. Sesekali aku teriakkan nama Mas Beni. Dari jauh aku mulai melihat kilatan cahaya yang bergerak dari bawah menuju ke atas.

Semakin lama, semakin banyak cahaya senter yang menyorot. Akhirnya kami bertemu dengan Mas Beni, Pak Bau, dan beberapa warga. Ada kelegaan dari wajah mereka ketika kami saling bersalaman.

“Wan, kamu nggak papa? Teguh sama Mila di mana?” Mas Beni memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri belum bisa menjawabnya.

Setelah aku jelaskan sebentar, kami semua bergegas berangkat ke Samarantu menyusul Teguh dan Mila. Tiupan peluit kembali meramaikan suasana Gunung Slamet malam itu, suaranya bersautan dengan Mas Beni yang meneriakkan nama Teguh dan Mila. Akhirnya Teguh mendengar dan membalas dengan sebuah teriakan,

“Woooi!”

Kami semua bergegas mendatangi arah suara itu. Setelah melalui beberapa tanjakan, sampailah kami di sebuah tempat yang dinaungi dua pohon besar yang berdiri kokoh laksana sebuah gerbang. Samarantu.

Sesampainya di sana, Pak Bau dan Beni langsung menghambur ke arah Mila dan Teguh. Sambil terduduk di tanah, Teguh memeluk tubuh Mila yang nampak tidak sadarkan diri. Mas Beni mencoba memeriksa kondisinya. Lemah, tapi tubuhnya hangat terbalut jaket tebal. Ada sedikit kelegaan karena bukan serangan hipotermia.

Aku menceritakan apa yang baru saja kami alami kepada Pak Bau. Teguh masih menangis. Dia terlihat emosional sekali. Sementara itu, Mas Beni dan beberapa orang lainnya mencoba memberi pertolongan kepada Mila yang sudah siuman.

Tak lama setelah Mila siuman, Mas Beni yang tadi berjongkok di dekatnya tiba-tiba terjengkang dan terduduk. Wajahnya seperti ketakutan, Kinanti menampakkan wajahnya lagi. Pak Bau yang berada di dekatnya langsung mendekat ke arah Mila. Dia kenal sekali dengan wajah ini.

“Kinanti,” Pak Bau berkata lirih.

“Paak,” suara Kinanti. Serak dan lirih.

Sambil terisak, Kinanti menggapai tubuh Pak Bau dan memeluknya. Seperti bertemu dengan bapaknya setelah lama berpisah.Tak ada kata-kata lagi. Beberapa dari kami bahkan sempat menitikkan air mata melihat kejadian itu.

“Pulang ya, Nak. Tenanglah di sini. Kami semua menjagamu,” suara Pak Bau bergetar menahan keharuan yang belum pernah dia alami.

Tak ada suara lagi dari Kinanti. Dia hanya tersenyum kecil dan mengangguk, lalu kembali pingsan. Kali ini Teguh yang berangsur mendekati Mila. Dia memeluknya erat sekali. Ya, kali ini yang dipeluknya memang benar-benar Mila. Kinanti sudah pergi diiringi doa terbaik dari kami semua dan kembali ke tempat dia seharusnya berada.

Aku memungut daypack Mila yang sempat tercecer saat dia pingsan. Aku lihat isinya. Ada sketsa wajah yang tergambar di selembar kertas. Di bagian bawah gambar itu tertera nama: Kinanti, 1980.

Tamat

Catatan akhir

Teguh akhirnya menikahi Mila pada 1999. Mereka pindah ke Solo dan memilki dua orang anak. Kami masih bertetangga hingga hari ini. Pada 2019, Teguh meninggal karena serangan jantung. Tulisan ini saya persembahkan untuk dia kawan baik saya, Teguh dan Mila.

Solo, 28 Desember 2021

In Memoriam

Tangguh Prayogi

BACA JUGA Pengalaman Horor Menyusuri Jalur Pendakian Gunung Andong Saat Tengah Malam dan kisah menyeramkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Setiawan

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version