Gunung Slamet: Mengantarmu Pulang Ke Samarantu (Bagian 2)

Namanya Kinanti. Sosok yang sudah aku kenal. Dia membawa kami ke dalamnya misteri Gunung Slamet.

Gunung Slamet: Mengantarmu Pulang Ke Samarantu (Bagian 2) MOJOK.CO

Ilustrasi Gunung Slamet. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COTujuan kami adalah Gunung Slamet, yang setiap pagi, keangkeran puncaknya bisa kami nikmati dari depan rumah.

Baca Bagian 1 “Gunung Slamet: Mengantarmu Pulang ke Samarantu” di sini.

Namanya Kinanti

Teguh berusaha keras menguasai keadaan walapun ketakutan melanda kami berdua. Sambil meminta Mila untuk beristirahat, dia berjalan menghampiriku yang berdiri termangu.

“Kinanti, Wan. Dia ngikut kita pakai Mila, mungkin sejak dari Pratin tadi. Aku juga sempat kaget tapi nggak papa, nggak usah takut.”

Teguh berkata setengah berbisik mencoba untuk menenangkan aku. Dia menyimpulkan itu berdasar keanehan yang terjadi sepanjang perjalanan di Gunung Slamet ini.

“Iya Guh, aku nggak papa. Kita coba ikuti maunya dia apa. Semoga saja ada orang lain di belakang kita ya, Guh.” Teguh mengangguk kemudian kembali menghampiri Mila.

Kinanti!

Aku baru ingat nama itu. Wajahnya memang tidak asing walaupun aku belum pernah bertemu langsung. Aku hanya mengenalnya dari foto yang terpasang di dinding kos Mila. Apa hubungan dia dengan semua ini?

Untuk mengusir rasa lelah sekaligus takut, aku mengambil bekal yang kami bawa dari BC. Ubi pemberian pak Bau sudah dingin, tapi lumayan untuk menambah energi yang terkuras.

Bukan saja karena dihajar tanjakan, tapi juga drama-drama menyeramkan yang tidak pernah berhenti. Untuk memasak mi instan rasanya belum memungkinkan. Kami benar-benar berhenti di tengah jalur pendakian di dekat jurang Gunung Slamet.

Selesai makan tiga potong kecil ubi rebus, aku menghampiri Teguh dan Mila yang jaraknya hanya beberapa langkah. Niatku menawarkan ubi.

Tak urung langkahku terhenti ketika Mila tiba-tiba saja tertawa pelan tapi suaranya benar-benar menguji nyali kami. Untuk mengumpat pun kami tidak berani. Aura Gunung Slamet dengan sejuta kisah di baliknya benar-benar membuat kami takluk, tertunduk.

Aku membulatkan tekad untuk menghampiri Mila setelah merapal doa seadanya. Aku berpikir kasihan Teguh kalau harus menghadapi keadaan ini sendiri. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa, aku menawarkan ubi rebus kepada Mila.

“Makan ubi dulu Mil, buat mengganjal perut dan nambah energi.”

Aku beranikan diri untuk melirik Mila yang duduk menyamping. Napas aku tahan untuk menghilangkan gemetar.

Mila diam saja. Tapi, aku melihat dia tersenyum kecil. Tak kusadari, bola matanya sudah ada di sudut kanan. Dia tersenyum sambil melirik ke arahku. Mata kami bertemu. Saat itu juga, ada rasa dingin menjalari tulang belakangku.

“Kinanti….”

Mila menyebut nama itu dengan suara yang halus. “Bukan Mila. Kinanti.” Senyum yang mengintimidasi itu masih menggantung ketika dia menyebut nama “Kinanti”.

“Takut?”

Teguh yang berada di belakang Mila alias Kinanti ini menatapku. Dia coba memberikan isyarat agar aku tidak takut sepertinya.

“Aku cuma mengajak Mila ke Gunung Slamet. Kenapa kamu jadi ikut?” Tiba-tiba Mila berkata begitu.

Kali ini aku mencoba memberanikan diri. Lagipula, aku tidak bisa lari dari situasi ini. Kepalang basah, aku mencoba untuk melihat ke arah wajah Mila. Karena mata ini sudah beradaptasi dengan suasana malam, maka headlamp sengaja aku matikan.

Aku perhatikan, ini memang bukan wajah Mila. Ini Kinanti, seperti yang pernah aku lihat fotonya. Dia tersenyum, tapi kali ini ada genangan air mata di sudut matanya. Tadi seram, sekarang wajahnya melunak. Lagi-lagi kami dihimpit perasaan campur aduk. Ngeri, takut, dan kasihan.

“Apa yang bisa kami lakukan buat kamu, Kinanti? Aku dan Wawan mungkin bisa membantu,” kali ini Teguh yang bertanya.

“Antar aku ke Samarantu, ya. Tolong.” Kinanti menjawab lirih.

Lagi-lagi kalimat itu yang keluar dari mulut Kinanti. Aku dan Teguh berpandangan. Akhirnya kami berdua memutuskan melanjutkan perjalanan. Perhentian berikutnya adalah Samarantu, memenuhi permintaan Kinanti.

Menabur bunga ke jurang Gunung Slamet

Konon, menurut mitos yang berkembang di Gunung Slamet, Samarantu adalah tempat kerajaan gaib. Butuh sekitar lima jam perjalanan dari basecamp Bambangan menuju Samarantu yang sekarang dijadikan Pos 4. Biasanya, di sini, pendaki meluangkan waktu untuk istirahat sambil memasak. Banyak pendaki mengisahkan pengalaman supranatural yang mereka alami di lokasi ini.

Dari pengalaman-pengalaman supranatural pula, aku dan Teguh lebih mudah untuk beradaptasi dengan keadaan yang rumit ini. Dan malam ini mungkin jatah kami bertiga yang mendapat giliran untuk merasakan pengalaman lain, kali ini di Samarantu. Tempat paling legendaris di gunung Slamet, sekaligus paling ditakuti, tapi tidak mungkin dihindari.

Sudah pukul 12 malam saat aku melihat ke arloji. Terjalnya medan memaksa kami untuk lebih hati-hati. Napas memang semakin sesak, tapi entah kenapa, ketegangan mulai sirna. Yang lebih tidak masuk akal, beban carrier yang tadi sangat berat, sekarang terasa normal. Mungkin efek Kinanti, batinku.  Kekhawatiran jika Mila bakal kelelahan karena mendaki Gunung Slamet di malam hari tidak terjadi. Justru aku dan Teguh yang keteteran mengatur napas.

Tidak terasa sudah satu jam kami berjalan sejak terakhir berhenti tadi. Tak terhitung berapa kali menemui trek yang mempertemukan lutut dengan dagu, saking terjalnya. Samarantu sudah menunggu. Di depan, Teguh beberapa kali berteriak dan membunyikan peluit, berharap mendapat balasan teriakan dari pendaki lain.

Kata Pak Bau, di atas ada pendaki dari Jakarta yang sudah naik dari kemarin. Tapi teriakan Teguh tidak pernah mendapat balasan, mungkin anak-anak Jakarta melakukan pendakian Gunung Slamet lintas jalur. Naik dari Bambangan dan turun lewat jalur yang lain. Benar-benar hanya ada kami bertiga di belantara gelap seluas itu.

“Berhenti!”

Tiba-tiba Kinanti berteriak menyuruh kami untuk berhenti, padahal di sebelah kiri kami adalah jurang dalam. Konon, banyak pendaki terperosok di sini. Beberapa dari mereka hilang dan tidak bisa diselamatkan.

Aku dan Teguh menghentikan langkah. Menunggu momen apa yang akan terjadi. Teguh meraih lengan Kinanti, khawatir dia terperosok. Bagaimanapun, Kinanti adalah Mila, kekasihnya.

Kinanti tidak menolak saat Teguh merangkulnya, bisa jadi karena separuh kesadarannya adalah Mila. Artinya, makhluk satu ini sebenarnya tidak berniat jahat, walaupun kami sendiri tidak tahu niat sebenarnya.

Sejenak kemudian, Kinanti melepaskan daypack dari punggung dan membuka zippernya. Dia mengambil sebuah tas plastik dan pandangannya mengarah ke jurang di depannya. Untuk kesekian kalinya, aku dan Teguh berpandangan. Rangkulan tangan Teguh di pundak Mila semakin ketat. Dia terlihat sangat cemas.

Mila membuka ikatan sebuah tas plastik warna hitam. Tangannya merogoh ke dalam lalu menaburkan sesuatu ke dalam jurang.

Bunga!

Cahaya headlamp-ku jelas memperlihatkan apa yang baru saja ditabur Mila. Semakin jelas lagi karena aromanya mulai tercium. Harum bunga mawar. Mila menabur bunga untuk siapa? Suasana kembali tegang, bagaimanapun menabur bunga di Gunung Slamet dan di tengah malam adalah sesuatu yang menyeramkan.

“Mari jalan lagi. Samarantu sudah menunggu,” kata Mila. Wajahnya tampak lega.

Aku dan Teguh tidak berani menanyakan maksud Kinanti menabur bunga ke jurang Gunung Slamet. Kami memang takut. Namun, kami terus berusaha untuk tidak panik. Bakal sangat repot kalau kamu gampang panik di atas gunung.

Tertidur di tengah rimba

Kami sudah berada di ketinggian 2500 mdpl, ketika kondisi benar-benar gelap karena vegetasi Gunung Slamet yang mulai rapat. Sempat terpikir untuk berhenti paling tidak seperminuman kopi ketika menemui sebidang tanah datar. Tapi aku berpikir kalau berhenti pasti bakal ada drama lagi dari Kinanti.

Tapi, seperti bisa menebak jalan pikiranku, Kinanti tiba-tiba menghentikan langkahnya.

“Kalian capek? Mari Iistirahat saja dulu. Sebentar lagi akan ada yang menyusul.”

Kinanti bilang begitu sambil tersenyum. Seperti sangat bahagia karena sudah menantikan “sesuatu”. Pandangannya tertuju ke rerimbunan pepohon.

Aku langsung membatin, “Drama lagi!”

Teguh melangkah mendekatiku. Sepertinya dia juga punya pertanyaan serupa. Siapa yang akan menyusul? Teman Kinanti? Suram!

Musim kemarau membuat dinginnya malam semakin menusuk. Aku turunkan carrier untuk membongkar logistik, nggak terlalu banyak yang kami bawa karena tidak berencana untuk ngecamp. Tidak butuh waktu lama, aku membuat mi instan dan kopi untuk kami bertiga.

Dinginnya udara malam membuat kami bertiga makan dengan lahap. Panasnya kuah mi instan tidak lagi kami rasakan. Sesekali mataku melirik ke Kinanti yang duduk tidak jauh. Biasa saja, tidak ada yang harus dikhawatirkan dari caranya makan. Tidak seperti cerita hantu di film-film yang makan sate saja sampe dua ratus tusuk.

Selesai makan, aku dan Teguh kembali menyalakan rokok untuk yang kedua kalinya. Carrier kami jadikan tempat bersandar sambil duduk di atas selembar matras. Teguh duduk di tengah di antara aku dan Kinanti, tidak ada obrolan di antara kami.

Hening. Hanya terdengar suara tembakau kering yang tengah dilahap api.

Perut yang kenyang terisi, stamina yang terkuras, ditambah dinginnya malam tak urung membuat kami terkantuk-kantuk. Aku lihat Kinanti sudah tertidur bersandarkan sebatang akar. Teguh mengangkat kepala Kinanti dan menyandarkan pada carriernya supaya lebih nyaman. Agak sedikit lega, walaupun kepala masih diselimuti tanya. Siapa yang akan menyusul seperti yang dimaksud Kinanti? Rasa kantuk benar-benar tidak bisa kami tahan lagi. Kami bertiga terlelap di tengah dinginnya rimba Gunung Slamet.

Kinanti hilang!

Aku terbangun ketika Teguh mengguncang-guncang tubuhku menyuruhku untuk segera bangun. Mataku masih kuyu ketika melihat ke arloji, hampir satu jam kami terlelap. Dan Kinanti sudah tidak berada di tempatnya semula!

“Wan, Mila hilang!” Teguh berteriak sambil tangannya menepuk-nepuk pundakku.

Pelan-pelan aku mengumpulkan kesadaranku yang berserakan setelah lelap tertidur. Tapi kepalaku tiba-tiba terasa pusing. Gejala hipotermia! Aku bangkit dari duduk, lalu sebisa mungkin menggerakkan semua anggota tubuh. Teguh masih teriak-teriak bergantian memanggil nama Mila dan Kinanti. Dia tahu aku sedang berusaha melepaskan diri dari hipotermia ketika dia bilang mau jalan dulu ke Samarantu mencari Mila.

“Wan, kamu nggak papa kan, nyusul ya, aku naik dulu,” kata Teguh setengah berlari sambil membenahi posisi carriernya.

Aku memberikan kode dengan mengacungkan jempol. Hanya beberapa detik saja tubuh Teguh sudah hilang ditelan gelapnya rimba Gunung Slamet. Teguh percaya aku bisa mengatasi masalahku sendiri.

Setelah tubuhku lebih hangat dan kepala sudah tidak terasa pusing aku bergegas menyusul. Sambil berjalan, aku terus berdoa semoga ada pertolongan datang. Bayangan tragedi yang menimpa Alex, Iqbal, dan Gagah yang meninggal di Gunung Slamet berkelabatan dalam benakku. Pada titik inilah aku tersadar bahwa sebagai manusia, kita benar-benar tidak berdaya menghadapi agungnya alam.

Di tengah perjalananku menyusul Teguh tiba-tiba terlintas dalam pikiran, benarkah Kinanti ke Samarantu? Aku disergap keraguan antara harus menyusul Teguh atau turun untuk meminta bantuan penduduk. Celakanya, opsi ini tidak kami bicarakan karena saking paniknya dan aku terkena gejala hipotermia. Aku menghentikan langkah, menarik napas dan berpikir sejenak.

Aku melihat ke arloji, sudah pukul dua malam. Gila! Akhirnya aku putuskan untuk menyusul Teguh. Aku tak mau membuat Teguh khawatir karena gejala hipotermia tadi. Jelas keadaan akan semakin kacau. Setelah menyalakan sebatang rokok untuk mengusir dingin, aku berjalan lagi. Sesekali akau meneriakkan namanya, tapi tidak ada jawaban. Dia sudah terlalu jauh, atau….

Nggak mungkin!

Aku berusaha menepis kemungkinan-kemungkinan buruk.  Apalagi aku tahu, bagi Teguh, Gunung Slamet sudah seperti halaman rumah sendiri. Mustahil kalau dia sampai tersesat. Aku menyimpulkan Teguh menyusul Kinanti sambil berlari. Makanya jarak kami terpaut jauh dan dia tidak bisa mendengar teriakanku.

Aku mempercepat langkah supaya bisa segera bergabung dengan Teguh dan menemukan Kinanti. Jalur pendakian masih didominasi vegetasi lebat serta tanjakan yang semakin terjal. Sekitar 30 menit berjalan, aku mendengar suara teriakan. Suara Teguh.

“Waaannn! Waaannn!”

“Woooi! Guuuh! Tunguuu!”

Ada sedikit perasaan lega ketika bisa mendengar suara Teguh, walaupun aku sendiri tidak tahu persis berapa jauh jarak aku dengan dia.

Aku ambil senter di saku carrier lalu mencoba untuk menyorotkan cahayanya ke atas. Aku berusaha memberikan tanda kepada Teguh supaya mengetahui posisiku.

Sedang aku mencari tahu posisi Teguh, dari arah yang lain aku juga mendengar suara orang berteriak. Kali ini bukan suara Teguh karena datangnya dari arah bawah tempat aku berdiri. Lalu suara siapa?

Bersambung….

BACA JUGA Gunung Lawu Memang Beda, dan Kami Dipaksa Menyerah dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Setiawan

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version