Ekspedisi Alas Purwo: Menuju Jantung Hutan Tertua di Pulau Jawa (Bagian 3)

Saya mengatur napas, memantapkan kaki saya untuk menyusuri Alas Purwo, dan sedikit berdoa. Setelah agak jauh dari Gua Istana, sebuah suara bisikan terdengar di telinga kiri saya: “Hati-hati, kamu….”

Menuju Jantung Alas Purwo, Zona Inti Hutan Tertua di Pulau Jawa MOJOK.CO

Ilustrasi Menuju Jantung Alas Purwo, Zona Inti Hutan Tertua di Pulau Jawa. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO – Menurut perkiraan penjaga Taman Nasional Alas Purwo, paman dan Dinda lari menuju zona inti. Menuju jantung hutan tertua di Pulau Jawa.

Baca dulu bagian 1 di sini: Magrib di Alas Purwo: Ketika 2 Orang yang Saya Kasihi Ditelan Kegelapan Hutan Bambu (Bagian 2)

Saya dan Irwan tak lagi kuat berlari. Kami sama-sama berhenti untuk menarik napas. Ketika kami berhenti, Uncle Jack masih kuat untuk berlari. Paman masih punya stamina untuk mengejar Dinda.

Ketika melihat Dinda dan Uncle Jack berlari menjauh, ada rasa sedih yang saya rasakan. Sebuah tekanan perasaan yang dari kemarin tidak pernah saya rasakan. Bukan lagi rasa takut, tetapi kesedihan ketika menyaksikan dua orang yang saya kasihi semakin dalam masuk ke kawasan yang masih asing bagi manusia di Alas Purwo.

Menghilang ditelan Alas Purwo

Saya masih ingat betul, paman dan Dinda berlari ke arah kiri. Saat itu, saya mencoba untuk meneriaki mereka, tapi entah mengapa suara saya tidak bisa keluar. Seperti ada yang menahan dan melarang saya untuk jangan berteriak. 

Setelah beberapa menit mengatur napas, saya dan Irwan kembali berusaha menyusul paman dan Dinda. Irwan berlari cukup kencang, membuat saya tidak bisa mengimbanginya. Lagi-lagi napas saya tidak mau diajak kompromi. Jantung saya berdegup sangat kencang. Saya kembali berhenti karena pening mulai terasa di kepala.  Kali ini saya melihat Irwan yang menghilang ditelan hutan bambu. Saya tidak sanggup lagi untuk berlari.

Sekitar 10 menit, Irwan kembali dengan hasil nihil. Raut wajahnya terlihat sedih dan kecewa. Dia berjalan ke arah saya dengan wajah tertunduk. Saya langsung menghujani Irwan tentang posisi Uncle Jack dan Dinda. Namun, Irwan tidak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepala. 

Pusing. Lelah. Rasanya sangat stres memikirkan rentetan kejadian ini. Saya sedih, tapi tidak ingin menangis. Saya paham, menangis bukanlah solusi. Saya dan Irwan masih duduk terdiam di tengah hutan bambu. Kami bingung harus apa. Tiba-tiba suara Ajay memecah keheningan kami.

“NES! Ya Allah! Lo nggak kenapa-napa kan?” Tanya Ajay sembari membantu saya bangun. Ketika mendengar suara Ajay, saya mulai menangis. Yah, awalnya sih pengin bisa menahan air mata. Namun, melihat orang yang saya kenal, tangis saya jebol juga.

Hutan yang terasa asing

“Jay, gimana dong, gue nggak tau Uncle Jack sama Dinda!” Selain sedih karena musibah menimpa dua orang yang saya sayangi, saya juga marah karena merasa tak berdaya.

Irwan menjelaskan secara detail menghilangnya paman dan Dinda. Ketika mencoba mengejar mereka, tiba-tiba tanpa disadari, Irwan sudah tidak berada di zona hutan bambu lagi. Karena ragu dan takut, dia berhenti sejenak. 

Irwan menjelaskan bahwa saat dia sadar, jalan setapak yang dilalui Uncle Jack dan Dinda itu malah mirip hutan belantara dengan pohon-pohon besar, bukan lagi hutan bambu. Mungkin usianya sudah ratusan tahun. Irwan juga sempat melihat banyak pohon beringin besar selain beberapa pohon bambu memenuhi tempat itu.

“Maaf, saya sempat ragu untuk mengejar mereka berdua karena saya juga baru sadar ada yang aneh dengan hutan itu. Ada kabut tipis dan pohon-pohonnya juga menjulang tinggi dan besar-besar. Ketika saat saya akhirnya ingin mengejar lagi, tahu-tahu mereka sudah tidak ada,” kata Irwan menjelaskan kepada Damian dan petugas Taman Nasional Alas Purwo.

Saya melihat ekspresi petugas taman nasional yang agak kebingungan mendengar penjelasan Irwan. Menurutnya, identifikasi wilayah yang dijelaskan oleh Irwan, daerah dengan vegetasi rapat seperti itu, hanya ada di daerah zona inti. Untuk sampai ke zona inti, pastinya harus melewati Gua istana terlebih dahulu dan jaraknya juga lumayan jauh. 

Zona inti di Alas Purwo bisa dibilang adalah jantungnya hutan ini. Wilayah itu hampir tidak terjamah oleh manusia. Saya mungkin sudah stres dan shock sehingga saya tanpa sadar meninggikan nada dan meminta semua tim ekspedisi untuk menelusuri jalan yang dilalui oleh Irwan. Rasanya ingin marah sampai-sampai tak sadar saya mengumpat.

Menelusuri jalur hilangnya paman dan Dinda

Setelah cukup berunding dan melaporkan kepada petugas lainnya, kami berjalan menelusuri lagi jalur yang dilalui oleh Irwan saat mengejar paman dan Dinda. Saya juga sempat ngobrol dengan petugas taman nasional mengenai kejadian-kejadian aneh seperti Dinda yang tiba-tiba berlari dan juga hilangnya manusia di dalam hutan bambu. 

Menurut petugas taman nasional, hal-hal di luar logika memang pernah terjadi. Mau bagaimana, konon, Alas Purwo adalah hutan tertua di Pulau Jawa. Hutan ini juga menyimpan cukup banyak misteri dan aura mistis menyelimuti setiap kawasan, apalagi ketika malam hari.

“Pak, tapi paman dan teman saya bisa ketemu, kan? Saya nggak peduli sama hal-hal mistis. Intinya pasti bisa ketemu dan selamat, kan?”

Petugas itu menepuk pundak saya dan tersenyum menenangkan. “Insyallah, ketemu. Kita sekarang banyak-banyak berdoa sama Allah,” jawab petugas taman nasional itu. Setelah menenangkan saya, si petugas berjalan ke depan untuk menunjukkan jalan.

Rasa marah saya sudah agak reda. Tapi tidak dengan kesedihan ini. Kenapa ya, hal-hal seperti ini sering menimpa saya. Sejak trauma masa kecil itu, hidup saya jadi “agak terlalu berwarna”.

Ajay tahu saya murung dan sedih. Oleh sebab itu, dia langsung memilih berjalan di samping saya.

“Udah, jangan terlalu dipikirin. Percaya aja pasti mereka ketemu. Toh, Uncle Jack pasti jagain Dinda. Inget, paman lo itu jam terbangnya tinggi kalau soal begini. Pasti selamat,” kata Ajay sembari memberikan potongan cokelat untuk pengganjal perut. Biar saya lebih tenang.

Gua Istana dan bau dupa

Saya berjalan sambil mengunyah potongan cokelat, memandangi hutan bambu yang semakin lama semakin berkurang vegetasinya. Tidak lama, saya bisa melihat tanda arah jalan menuju Gua Istana. Sesampainya di sana, bau bakaran dupa langsung menyapa hidung kami. Selain itu, auranya terasa menekan. Membuat saya tidak nyaman. Saking tidak nyaman, perut saya bergolak, mual, dan akhirnya muntah.

Lemas. Semua isi perut saya tumpah keluar. Pusing.

Melihat saya yang semakin lemas, petugas Taman Nasional Alas Purwo menyarankan saya untuk kembali ke pos. Namun, Damian lebih menyarankan untuk membangun tenda di sekitar Gua Istana saja karena jarak pos yang terlalu jauh.

Saya bisa melihat petugas taman nasional itu agak ragu. Namun, mempertimbangkan kami semua sudah kelelahan, akhirnya petugas itu menyetujui saran Damian. Kami mendirikan tenda di sekitar Gua Istana. Begitu tenda berdiri, saya merebahkan diri dan memutuskan untuk tidur saja.

Perempuan misterius di dalam mimpi

Mimpi yang aneh mewarnai tidur saya….

Saya mengawali mimpi dengan berada di tengah hutan berkabut. Pohon-pohon menjulang tinggi menutupi langit. Saya kebingungan dan mencari-cari Ajay, Dinda, Uncle Jack, Damian, Ethan, dan semua tim. 

Saya berlari tanpa arah, mencoba untuk mencari jalan keluar dari hutan berkabut itu. Tapi, saya merasa hanya berputar-putar saja. Lalu, tak lama, saya melihat sosok perempuan muncul dari balik pepohonan yang berkabut itu. 

Perempuan itu sangat cantik. Benar-benar cantik. Sampai saya sendiri merasa terhipnotis. Dia bersanggul dan mengenakan kebaya model lama.

Saya bisa melihat dia mengenakan gelang berwarna keemasan dengan motif ular di lengan kirinya. Mimpi saya terputus ketika kami beradu mata.

Saya merasa di dunia antara. Rasanya antara nyata dan tidak. Saat terbangun, saya melihat sudah pukul enam pagi. Saya berusaha mengingat kalimat yang diucapkan wanita itu. Namun sulit sekali. Samar-samar. Kalimat itu seperti menghilang secara perlahan.

Penampakan di Gua Istana

Saya memilih agak lama untuk duduk dan menenangkan diri setelah bangun tidur. Di sana, Ajay sudah bangun sambil sibuk mengamati foto-foto yang dia jepret tadi malam di Gua Istana. Melihat saya terbangun dan sudah agak fokus, Ajay menyodorkan layar kamera untuk menunjukkan foto-foto tersebut. 

Sambil menyodorkan kamera, Ajay bilang kalau lorong Gua Istana cukup panjang dan beberapa sedikit sempit untuk dilewati. Dia juga menceritakan ada sensai ngeri ketika memasuki gua itu di malam hari.

“Rasanya gue lagi kayak ada di film horor. Lihat nih gue foto-foto di tangga pintu masuknya. Cocok banget yak jadi lokasi film horror.” Ujar Ajay yang terlihat asyik memamerkan foto-foto hasil jepretannya. Ketika saya asik melihat-lihat juga, ada sesuatu yang cukup membuat saya kaget.

“Jay ini apa?” Tanya saya sambil menunjukkan salah satu foto.

“Hah ada apaan?”

Iya, saya melihat ada sesuatu di pinggiran pintu masuk Gua Istana. Terhalang bulatan cahaya seperti orbs, sosok itu memang tidak jelas, tapi saya secara samar bisa melihat wajah seseorang.

“Wah gila sih, Jay. Lo dapet penampakan nih,” kata saya. Ajay jadi jadi lebih mengamati sosok yang saya maksud itu.

Melihat keganjilan di kamera, saya jadi teringat mimpi semalam. Saya lantas menceritakan mimpi saya ke Ajay. Setelah mendengar cerita saya, Ajay berpendapat mungkin penunggu hutan sedang mencoba untuk berkomunikasi dengan saya. Mungkin saja dia mencoba untuk memberitahu keberadaan Dinda dan Uncle Jack.

Saya memikirkan betul kalimat Ajay…. 

Menuju jantung Alas Purwo

Setelah sarapan, rombongan kami mulai membereskan tenda. Kami akan masuk ke zona inti Alas Purwo untuk mencari keberadaan Dinda dan Uncle Jack. 

Sebelum berangkat, kami membagi rombongan menjadi dua tim. Tim pertama akan masuk ke zona inti Alas Purwo. Sementara itu, tim kedua kembali ke pos untuk memantau dari jauh. Tidak boleh semua berangkat sebagai bentuk “jaga-jaga”.

Ethan sempat melarang saya dan Ajay untuk ikut. Dia khawatir dengan kesehatan saya dan fisik Ajay. Namun, kami berdua agak ngotot untuk ikut. Saya memang masih lelah, tapi saya tidak bisa meninggalkan Dinda dan Uncle Jack. Ethan tidak bisa membantah dan mengizinkan kami ikut. Syaratnya, kami harus selalu dekat dengan dirinya. Setelah itu, Ethan memberi kami masing-masing sebilah pisau kecil. Jaga-jaga hewan buas, katanya.

Setelah selesai membongkar tenda dan memastikan semua alat berfungsi, kami melangkahkan kaki menuju zona inti, jantungnya Alas Purwo. Baru beberapa langkah, rasa tidak nyaman itu malah muncul lagi. Rasa sesak di dada memang terasa, tapi harus saya tahan.

Suara dari ketiadaan

Saya mengatur napas, memantapkan kaki saya untuk menyusuri Alas Purwo, dan sedikit berdoa. Setelah agak jauh dari Gua Istana, sebuah suara bisikan terdengar di telinga kiri saya:

“Hati-hati, kamu….”

Saya memejamkan mata ketika suara bisikan itu terdengar. Campuran antara kaget dan rasa takut. Saya menoleh ke segala arah. Namun, saya tidak bisa menemukan satu manusia yang sedang berbisik ke telinga kiri saya. Satu hal janggal saya rasakan: ketika suara itu terdengar, suara-suara di sekitar saya menjadi tidak terdengar, seperti teredam.

Suara Ajay mengembalikan saya ke dunia nyata. Dia menatap saya penuh rasa khawatir. Saya hanya bisa mengangguk.

Tepat pada saat itu, kalimat Mbah Kuncen bergaung di kepala saya:

“Apa saja yang akan dilihat dan yang akan terjadi, jangan lupa tujuan dan niatmu datang ke tempat ini. Berpegang teguh pada keyakinan yang ada di hati. “Mereka” akan mencoba merasuk ke dalam hati dan pikiranmu. Maka, jagalah hati dan pikiranmu dari hal-hal negatif”

Kami semakin jauh dari Gua Istana, tapi semakin dekat ke jantung Alas Purwo. Gelisah, takut, cemas, dan yang aneh, rasa rindu, bercampur menjadi satu….

BACA JUGA Gunung Slamet: Mengantarmu Pulang Ke Samarantu dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Agnes Putri Widiasari

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version