Doa Bapa Kami, Doa Malam Keluarga Jin: Ketika Tembok Belakang Rumah Memotong Makam Menjadi 2

Doa Bapa Kami, Doa Malam Keluarga Jin: Ketika Tembok Belakang Rumah Memotong Makam Menjadi 2 MOJOK.CO

Doa Bapa Kami, Doa Malam Keluarga Jin: Ketika Tembok Belakang Rumah Memotong Makam Menjadi 2 MOJOK.CO

MOJOK.CODoa malam bersama keluarga jin. Ketika doa Bapa Kami pemuka agama itu malah ditirukan oleh arwah Belanda yang kami anggap jin penunggu rumah.

Rasanya begitu damai ketika mendengar “tetangga” mendaraskan doa Bapa Kami untuk doa malam secara rutin. Yah, awalnya saya mengira begitu. Sampai sebuah percakapan pendek membuat pikiran saya tak karuan.

“Keluarga Pak Wahyu ini hebat sekali. Setiap malam selalu rutin doa malam. Saya yang nggak tertib doa Bapa Kami jadi malu sama tetangga baru.”

“Lho, saya kira keluarga Pak David yang tiap malam doa malam di teras belakang.”

Saya yang bernama Wahyu (bukan nama sebenarnya), dan Pak David ini tetangga saya. Belum ada dua minggu saya masuk ke kontrakan, persis di sebelah kontrakan Pak David. Teras belakang rumah kami berbagi satu tembok. Jadi, jika salah satu melakukan aktivitas di teras belakang, yang satu bisa mendengarnya dengan cukup jelas.

Dan setelah dua kalimat di atas, saya dan Pak David terdiam beberapa saat. Pak David memberi kode kepada saya untuk lebih mendekat. Dia bilang, “Pak, jangan bercanda. Saya kira Pak Wahyu dan keluarga yang rutin doa malam. Saya dengar dengan jelas, lho, Pak. Doa Bapa Kami.”

“Justru saya bingung dan agak cemas sekarang, Pak. Saya kira Pak David dan istri yang rutin doa malam. Saya sama istri sudah mau ikut bergabung. Hitung-hitung jadi agak lebih sering doa Bapa Kami. Maklum, kami bukan keluarga Katolik yang taat-taat banget, Pak.”

Keluarga saya dan Pak David sama-sama belum dikaruniai anak saat itu. Sekarang, tiga tahun kemudian, puji Tuhan saya dikarunia satu anak laki-laki. Sementara itu, Pak David pulang ke pulau seberang dan nomor hapenya sudah tidak bisa dikontak setelah “kebenaran” itu terkuak.

Rumah kontrakan saya dan Pak David terletak di sebuah kampung yang agak homogen di provinsi ini. Lebih banyak minoritas di sini. Meski begitu, kampung kami belum juga mendapatkan izin mendirikan rumah ibadah. Yah, kami cuma bisa maklum dan memilih beribadah di gereja yang sudah terkenal di sini, tidak jauh dari kampung.

Setelah percakapan singkat itu, Pak David memanggil istrinya. Mereka berdua mengajak saya untuk melihat teras belakang di rumah yang saya tempati.

“Sejak Pak Wahyu masuk sini, setiap malam, lho, saya dengar suara doa bersama. Saya kira Bapak sama istri doa malam rutin,” kata Pak David yang entah kenapa melirihkan suaranya. Seakan-akan takut tetangga lain mendengar percapakan kami.

Saya cuma diam saja. Istri saya yang menguping sambil membikinkan teh menjatuhkan tutup gelas. Saya yakin dia membatin hal yang sama seperti saya. “Kalau bukan saya dan Pak David, lalu siapa yang doa malam doa Bapa Kami secara rutin?” itu suara batin saya.

Setelah agak malam dan tidak ada kesimpulan yang bisa diambil, Pak David dan istri pamit pulang. Sepanjang obrolan, kami tak pernah menyinggung soal hal-hal mistis. Namun, saya yakin, pikiran yang sama pasti sekelebat terlintas di pikiran Pak David. Terbaca dari raut muka yang agak kusut dan kebiasaannya melirik ke teras belakang. Seakan-akan cemas sekaligus takut.

Doa Bapa Kami, doa malam keluarga jin

Menjelang pukul 12 malam, saya mengirim pesan pendek ke Pak David.

“Sudah tidur, Pak?”

Sedetik kemudian, pesan pendek saya langsung centang dua dan berwarna biru. Ternyata Pak David memang terjaga dan tengah bingung mau mengontak saya atau tidak. “Pas banget Pak Wahyu wasap. Saya sama istri lagi menunggu doa malam yang tadi kita bahas.”

Saya hanya membaca pesan pendek itu karena memang tak perlu membalasnya. Istri saya yang juga ikut terjaga menyenggol lengan saya sambil berbisik. “Doa malam udah mulai, Mas.” Saya mengangguk dan memasang telinga… dan dua minggu setelah menghuni rumah itu, untuk kali pertama, saya ketakutan.

“Bapa kami yang ada di surga….”

Jeda satu detik.

“Dimuliakanlah nama-Mu….

Kembali jeda.

“Datanglah kerajaan-Mu. Di atas bumi seperti di dalam surga.”

“Berikanlah kami rezeki pada hari ini dan ampunilah…”

Jeda lagi. Agak lama.

“… dosa kami. Seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami.”

Jeda. Kali ini lebih pendek.

“Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan. Tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat.”

Entah kenapa, saya refleks menjawab, “Amin” untuk menutup doa Bapa Kami itu. Doa Bapa Kami biasa dipakai untuk membuka rangkain doa yang lebih panjang. Namun, malam itu, saya dan istri hanya mendengar doa Bapa Kami. Setelah itu sunyi.

Sekitar 30 menit kemudian, notifikasi WhatsApp muncul. Pak David. “Iya, kan, Pak. Awalnya saya mengira Pak Wahyu yang tiap malam berdoa di teras belakang.”

“Iya, Pak. Saya juga kaget. Tapi memang pendek gitu ya, Pak, doa malam yang Bapak dengar?”

“Lho, nggak to, Pak. Panjang, kok. Mirip kayak lagi dia Rosario. Ada doa-doa yang pakai bahasa asing juga.”

“Tapi saya cuma dengar doa Bapa Kami aja, Pak.”

“Nggak mungkin. Ini barusan selesai doa malam di belakang itu. Makanya saya baru wasap Bapak.”

Jadi, saya dan istri cuma mendengar Bapak Kami. Sementara itu, Pak David mendengar doa malam yang lebih panjang. Kenapa bisa begitu?

“Pak, kayaknya besok saya mau ketemu yang punya rumah. Pak David mau ikut nggak?”

“Boleh, Pak. Besok kabari saja ya. Saya mau kunci kamar lalu tidur saja. Jadi nggak karuan gini.”

Siang harinya, saya dan Pak David berkunjung ke rumah Pak Tanto, pemilik kontrakan. Kepada Pak Tanto, kami menjelaskan kejadian janggal di teras belakang rumah. Begitu mendengar penjelasan ringkas kami, raut muka Pak Tanto menjadi aneh. Dia menghelas napas beberapa kali. Kepada kami, Pak Tanto menjelaskan asal muasal kejanggalan “doa malam” di teras belakang.

Jin keluarga Belanda

Rumah kontrakan Pak Tanto ada empat. Dua rumah saling menempel, sementara dua yang lainnya berjarak sekitar 50 meter di ujung kampung. Dua rumah yang saling menempel itu yang saya dan Pak David sewa. Sebelumnya, lahan tempat kami rumah kami berdiri adalah bagian dari halaman sebuah halaman rumah yang lebih luas.

Sekitar tahun 1940, ada sebuah rumah peristirahatan berdiri di wilayah yang menjadi kampung tempat saya dan Pak David tinggal. Rumah peristirahatan itu memang kecil, tetapi halamannya cukup luas. Konon, keluarga Belanda, empunya rumah peristirahatan sampai membangun dua istal kecil.

Pada awal 1942, ketika Jepang resmi menguasai Indonesia, rumah peristirahatan ini tak luput dari sasaran perampasan. Konon, keluarga Belanda yang tak sempat mengungsi menjadi sasaran kebrutalan prajurit Jepang. Jasad keluarga Belanda berjumlah tiga orang itu dimakamkan di salah satu sudut halaman, dalam satu liang.

Setelah Jepang menyerah pada 1945, orang pribumi yang kenal dekat dengan keluarga Belanda ini membongkar makam itu. Ketiga jasad lalu dimakamkan secara layak di masing-masing liang. Berjejer. Selamanya. Dalam keheningan sudut kampung.

Seiring waktu, seiring perkembangan zaman, seiring pertumbuhan kampung ini, pagar halaman rumah keluarga Belanda itu menghilang. Di sana-sini muncul rumah. Pertengahan 1970, rumah peristirahatan kecil itu roboh karena badai. Oleh warga, rumah itu sekalian diratakan dengan tanah supaya tidak membahayakan.

Tiga kubur di sudut halaman masih ada, tetapi sudah semakin tidak terawat. Pada saat itu, tidak jelas soal kepemilikan tanah. Oleh buyut Pak Tanto, beberapa patok tanah ditanam di sana. Entah bagaimana, beberapa ratus meter resmi menjadi tanah buyut Pak Tanto, termasuk tiga kubur itu.

Lama sekali lahan kosong itu tidak dijamah. Hingga pada awal 2018, Pak Tanto berencana membangun rumah kontrakan. Untuk mendirikan dua rumah, kuburan itu harus dipindahkan. Saat itu, ritual memindahkan makam pun dilakukan.

Namun sayang, belakangan diketahui ada sesaji yang tidak lengkap. Almarhum Mbah Kaum melakukan kesalahan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Sayangnya, tiga makam itu sudah kadung dipindahkan… dan tepat di atas tiga makam itu berdiri tembok beton yang memisahkan rumah kontrakan saya dan Pak David.

Jadi, bisa dibilang, tembok teras belakang rumah kontrakan kami “memotong” makam keluarga Belanda itu mejadi dua yang dipindahkan dengan ritual kurang lengkap. Konon, doa Bapa Kami adalah doa yang didaraskan keluarga Belanda itu sebelum dibantai prajurit Jepang.

Pak Tanto menarik napas panjang dan meminta maaf karena tidak memberi tahu kenyataan ini. Pak Tanto juga heran kenapa baru sekarang peristiwa “doa malam” itu terjadi. Penghuni sebelumnya tidak pernah mengadu terjadi kejanggalan. Namun, Pak Tanto kayaknya lupa. Penghuni sebelumnya cuma bertahan kurang dari 6 bulan sebelum saya masuk.

“Mungkin karena Pak David dan Pak Wahyu agamanya sama kayak almarhum keluarga Belanda. Jadi mereka ngasih tanda dengan doa malam itu.”

Saya dan Pak David tidak bisa berkomentar. Lebih tepatnya bingung mau komentar apa. Pak Tanto tidak tahu apa tujuan doa Bapa Kami untuk doa malam itu. Bagi Pak Tanto dan kepercayaannya, bisa jadi itu sebangsa jin yang menyaru seperti keluarga Belanda. Tujuannya ya cuma mau mengganggu saja. Di ujung pertemuan itu, Pak Tanto berjanji membawa kenalannya, seorang pengurus gereja, untuk melihat langsung kejanggalan doa malam yang terjadi.

Saya dan Pak David berjalan pulang dalam diam. Akhirnya kami hanya bisa pasrah dan saling menguatkan. Paling tidak, sumber kejanggalan yang disebut jin oleh Pak Tanto tidak pernah mengganggu secara fisik.

Doa malam terakhir

Malam harinya, sekitar pukul 11, Pak Tanto datang bersama kenalannya, seorang pengurus gereja. Namanya Pak Win, terlihat sudah sepuh. Mungkin sudah berusia hampir 70 tahun. Raut mukanya terlihat lelah. Bisa jadi karena sekarang sudah lewat jam istirahat untuk orang setua Pak Win ini.

Kami duduk melingkar di rumah kontrakan saya. Hanya teh hangat yang kami sentuh. Camilan yang disediakan istri saya sama sekali tidak dijamah. Kami sama-sama menunggu….

Pukul 12 malam lewat 12 menit. Lantunan doa Bapa Kami mulai terdengar. Sontak, kantuk kami hilang. Pak Win berdiri paling pertama padahal satu jam yang lalu saya lihat beliau terlihat susah payah ketika hendak meletakkan pantatnya di kursi.

Pak Tanto memandang saya. Saya memandang Pak Win yang entah kenapa napasnya terdengar begitu berat. Saya khawatir beliau kolaps. Pak David menggelengkan kepala ketika saya mengarahkan pandangan ke dirinya. Seakan-akan dia tahu saya hendak menyuruhnya menemani Pak Win, yang sudah berjalan mendekati teras belakang.

Saya menarik kaos bagian pundak Pak David dan sedikit menyeretnya untuk menemani saya menyusul Pak Win. Pak Tanto akhirnya ikut melangkah setelah melihat kami “agak berani”. Dan saat itu, saya agak menyesali adegan sok berani barusan.

Di teras belakang, dipisahkan oleh sekat pintu kaca, Pak Win melihat langsung ke arah mata sebuah penampakan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya ingin mengamini keterangan Pak Tanto soal jin. Namun, saya pun ragu akan kebenarannya.

Berdiri di dekat tembok teras belakang, sosok sepuh, orang Belanda dengan kumis tebal yang sudah berwarna putih. Entah kenapa, tatapan matanya terasa teduh, sekaligus mengintimidasi. Di sebelah “jin eyang Belanda” itu berdiri yang nampaknya istri dan anak perempuannya. Istri dan anaknya mengenakan dres sederhana berwarna senada, biru terang. Keduanya menundukkan kepala.

Untuk kali pertama selama saya hidup, saya melihat yang orang banyak sebut sebagai jin. Saya enggan sepakat dengan penyebutan jin. Agama saya tidak terlalu akrab dengan istilah jin, tetapi arwah atau sekadar istilah penampakan. Biasanya, mereka membawa sebuah pesan tertentu.

Kehadiran Pak Win menghentikan doa malam “keluarga jin” itu. Saya tidak bisa memastikan apakah “jin eyang Belanda” itu marah atau tidak. Namun, saya yakin sekali dia sedikit beringsut ke kiri lalu berjalan ke arah kami. Aroma tembakau dan bau apak tercium. Cukup pekat.

Saya curiga Pak Win, seorang pengurus gereja, gentar juga dengan pengalaman ini. Secara tidak sadar dia mundur satu langkah ketika “jin eyang Belanda” itu mendekat.

Seperti kebiasaan manusia yang tengah takut atau menyerah kepada kehidupan, dia lalu “ingat” Tuhan. Pak Win berusaha “memukul mundur” jin itu dengan mendaraskan doa Bapa Kami. Sebuah kesalahan besar.

Pak Win membuka dengan membuat tanda salib. Tangan kanannya sudah memegang rosario berwarna putih gading.

“Bapa kami yang ada di surga…,” Pak Win memulai dengan tempo cepat. Dia ketakutan.

Dan sebuah kejadian tak terduga terjadi….

Istri dan anak perempuan si “jin eyang Belanda” itu mengangkat kepalanya dan menimpali doa Pak Win.

“… dimuliakanlah… nama-Mu… datanglah kerajaan-Mu….”

Mereka mengikuti doa Pak Win dengan tempo lambat. Pak Win tercekat, tak mampu melanjutkan “doa malam” yang janggal itu.

Beberapa saat kemudian, “jin eyang Belanda” itu yang melanjutkan dengan tempo yang lebih stabil.

“Di atas bumi seperti di dalam surga. Berikanlah kami rezeki pada hari ini dan ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami. Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan, tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat.”

Tak ada yang menjawab, “Amin”. Semua terdiam. Kami, dan juga “rombongan jin” itu. Kami seperti menjadi umat, atau lebih tepatnya penonton “doa malam”. Sesaat doa malam selesai, ketiganya menghilang secara perlahan. Seperti kabut yang tersedot oleh ketiadaan.

Pak Win menangis. Sebuah tangis yang janggal. Lirih dia bilang, “Nyuwun pangapuro….” Saya hanya bisa menangkap dua kata itu yang bermakna permintaan maaf. Kalimat Pak Win lain tak bisa saya tangkap karena diucapkan terlalu lirih.

Beberapa saat setelah lantunan doa Bapa Kami di doa malam, kami semua terdiam. Saya dan istri kembali ke dapur untuk membuat minuman hangat lagi. Satu-satunya tema yang kami bicarakan adalah kenapa doa malam itu harus terjadi dan bagaimana setelah ini.

Pak Tanto mengusulkan digelar doa bersama untuk kedua kalinya dengan mengundang orang kampung. Pak Win siap menyediakan kebutuhan ritual keagamaan dan adat setempat untuk ketenangan arwah “keluarga jin Belanda” itu. Akhirnya, kami hanya bisa menyimpulkan bahwa “mereka” cuma butuh didoakan dan mendapat tempat istirahat yang lebih layak. Bagaimana mau tenang jika “rumah terakhir” diterjang dan dipotong oleh tembok rumah.

Maka itulah yang terjadi lima hari kemudian. Doa bersama kami gelar dan kali ini ubo rampe untuk ritual pemindahan kubur lebih lengkap. Malam harinya, beberapa tetangga kami tetap tinggal untuk menemami kami. Jaga-jaga, siapa tahu “doa malam” itu terjadi lagi. Namun, kali ini, pukul 12 lewat 12, hanya sunyi yang menyambut kami.

Satu minggu kemudian, Pak David pamit. Dia memutuskan untuk pulang ke tempat asalnya. Tidak betah, katanya. Pak Tanto dan Pak Win berusaha menahan, tetapi keputusan Pak David sudah bulat.

Sore hari menjelang kepergian Pak David, saya dan istri berkunjung ke rumahnya. Sekadar untuk pamitan. Kami berpelukan dan saling mendoakan. Agak berat juga ditinggal tetangga yang baik seperti Pak David.

Sebelum Pak David masuk ke mobil rental yang akan mengantarnya ke bandara, dia meminta saya mendekat. Dia berbisik….

“Anggota keluarga jin Belanda itu ada empat, bukan tiga. Pak Tanto belum sepenuhnya jujur. Hati-hati dengan yang satu. Jangan putus berdoa.”

Saya terdiam. Badan saya sebelah kiri tiba-tiba kebas. Jantung berpacu agak cepat. Keringat dingin terasa di tengkuk saya. Belum sempat saya bertanya, mobil Pak David sudah melaju.

Tepat saat mobil Pak David berbelok di ujung kampung, aroma tembakau dan bau apak kembali tercium. Sontak saya berbalik badan dan bilang ke istri:

“Besok kita cari rumah kontrakan baru. Kita pindah.”

BACA JUGA Rumah Hantu di Jogja itu Kami Kenal dengan Nama Rumah Kentang dan pengalaman berdoa bersama jin lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version