MOJOK.CO – Seharusnya saya sudah sadar sejak awal kalau ada yang salah sama kontrakan M. Yang nggak saya sangka adalah pengalaman ditemani tidur sama pocong!
Masih ingat teman saya, si M, yang disembunyikan kuntilanak? Kalau kemarin dia yang “dikerjain” makhluk halus, kali ini saya yang kena ditemani tidur pocong di kontrakan M.
Sejak diculik kuntilanak, kemampuan mata batin M malah makin kuat. Bikin dia semakin tahan sama gangguan makhluk halus. Kelebihan yang bikin dia tetap bisa hidup tenang di sebuah kontrakan yang kelewaatan horornya.
M ngontrak bareng sama salah seorang teman, sebut saja Kriwil. Kontrakan yang cukup dekat sama kampus itu jadi semacam basecamp kalau kami bolos kuliah. Kontrakan yang juga sarang pocong itu cukup luas. Ada delapan kamar. Namun, yang tiga kamar yang terisi.
Kontrakan M terbagi menjadi dua bagian. Bagian depan ada lima kamar, sedangkan di belakang ada tiga. Sayangnya, meskipun ada banyak kamar, kamar mandinya cuma satu. Menyebalkan.
Makanya maklum kalau harga sewa kontrakan jadi super murah. Kadang, Kriwil dan M sampai tak enak hati ketika membayar uang sewa. Tanpa nego, mereka justru ingin menyewa langsung tiga tahun. Tapi, pemilik kontrakan menolaknya.
“Dicoba dulu setahun, Mas.”
Tumben-tumbenan ada orang yang menolak uang. Dari sini harusnya saya tahu ada yang salah. Kalau kontrakan sialan itu ternyata angker banget. Salah satunya jadi sarang pocong di dekat tandon air.
Yah, benar kata orang: “Jangan gampang senang sama makan siang gratis.” Kontrakannya murah, tapi…ada sesuatu yang bikin saya mau ngamuk.
Sejak kali pertama main ke kontrakan pocong itu, saya sudah diingatkan sama M. “Kalau masuk kamar mandi, pintunya jangan ditutup. Dibuka setengah.”
“Lha, kalau saya beol, gimana?”
M hanya terkekeh. Saya tak mengerti maksudnya.
Suatu malam, M dan Kriwil mengundang saya untuk makan-makan. Karena acara itu berlangsung hingga dini hari, saya memutuskan menginap. Sepeda motor saya masukkan ke ruang tengah. Saat menatanya, tiba-tiba….
“Sherrrrreellkkk!”
Deg.
Saya kaget. Tiba-tiba punggung menjadi panas. Ketika menoleh ke belakang, tak ada apa-apa. M mematikan lampu utama, membiarkan lampu dekat kamar mandi menyala. Yang mengesalkan, entah kenapa, M memasang lampu lima Watt berwarna merah. Kamu bisa membayangkan, kan? Suasana jadi makin muram. Sudah sepi, remang-remang lagi. Ekosistem yang cocok buat nongkrong pocong.
Sebelum masuk kamar, saya menuju kamar mandi. Membasuh muka sekaligus wudu.
“Sherrrrreellkkk.”
Lagi-lagi suara itu lagi. Lagi-lagi saya menoleh ke belakang, mendongakkan kepala, memeriksa bagian samping. Tak ada apa-apa. Saya masuk kamar.
Kami sengaja tidur bertiga. Di kota ini cuaca cukup dingin. Selain menggunakan selimut, “empet-empetan” adalah cara lain untuk menghangatkan badan.
Sialnya, malam itu saya susah tidur. Bukan karena terngiang suara itu. Melainkan kaca berukuran jumbo di kamar, yang entah kenapa tidak diberi gorden. Kaca itu tembus pandang ke arah kamar mandi. Bangsat, bukan?
Saya mencoba tidur tengkurap. Tunggu. Saya mendengar sesuatu.
“Sherrrrreellkkk, sherrrrreellkkk, sherrrrreellkkk.”
M hanya berkata lirih. “Itu pasarnya baru buka.”
Pasar? Mana ada pasar malam buka sampe jam 2 dini hari? Mana ada pasar di dalam kontrakan. Begooo!
Saya semakin takut. Menutup kuping dengan bantal. Tapi, mau bagaimanapun, suara itu terus terdengar dan bahkan kian membesar.
“Ctaaak, ctiiik, ctaaak, ctiiiik.”
Bangsat. Ini kaya suara gunting kuku. Imajinasi saya, kini, saya seperti terperangkap dalam serial film SAW. Entah seri 3 atau 6. Saya hanya bisa berdoa. Samar-samar saya mendengar suara lagi.
“Mhazzzz, mhazzzz, mhaaaazz.”
Ini bukan teriakan. Semacam suara pelan dan sayangnya terdengar jelas di kuping saya. Rasanya sumber suara itu ada di samping saya. Semakin saya “girap-girap”.
Kriwil saya tanyai soal suara itu. “Iyoo. Di sini kamu harus membiasakan diri dengan suara-suara kayak gini.”
Jancok!
Ini malah tenang-tenang aja. Mau keluar, ya gimana, tapi mau di sini, kok, mengerikan. Parahnya, efek psikosomatis karena ketakutan itu membuat saya ingin kencing. Tak ada jalan lain. Saya harus keluar.
Membangunkan M tak mungkin. Dia sudah mendengkur. Minta ditemani Kriwil? Ah juga tak mungkin. Pelan-pelan saya membuka pintu. Engselnya yang berkarat membuat suara pintu bikin risih telinga.
“Kriiittttzz, keiiiitzzzz.”
Dalam hitungan ketiga, saya menyalakan lampu utama. “Klap.” Aman. Saya agak berlari kecil menuju kamar mandi. Menutup setengah. Saat kencing belum tuntas, terdengar suara lagi. Sepertinya dari dekat tandon.
“Culi, culi, culi.”
Bangsaaaatttt. Saya tahu ini suara apa. Ini semacam permintaan tolong dari pocong yang talinya belum dilepas. Kamu pernah dengar mitosnya? Nah, ini kejadian beneran. Asem!
Secepat kilat, tangan saya langsung menutup sleting. Saya lari dan ingin berteriak. Sayangnya, ada semacam tekanan di tenggorokan sehingga tak ada suara yang keluar.
Buru-buru, saya masuk kamar. Mengambil selimut. Duh, ada yang kelupaan. Mengambil guling, mendekapnya erat, dan menutup mata.
Di situ saya baru berpikir. Kok ada guling, ya? Di kamar, kan, cuma tersedia bantal. Itu pun cuma dua.
Tiba-tiba badan saya panas-dingin. Napas jadi berat. Saya ingin menangis. Perlahan saya membuka mata namun dibuat menjadi seperti juling. Agar timbul bayangan, agar tak melihat jelas. Aman.
Saya mencoba merapal doa. Lalu, membuka mata.
“Culi, culi, culi.”
Tepat di depan wajah saya, suara dari pocong itu terdengar jelas. Bibir atas seperti dirubung kelabang, dan matanya yang kiri hampir copot. Di atas kepalanya, tali putih masih terikat.
Saya teriak. Kehabisan napas. Pingsan.
Esoknya, saya ngomel sama M dan Kriwil. Mengapa malam itu tak mendengar suara saya. Mereka mengaku benar-benar tak mendengar.
Yang ada, justru M bertanya. “Nanti malam menginap sini lagi, gak?”
Saya hanya menjawab singkat. “Taekkk!”
BACA JUGA Leak yang Meneror Kontrakan Ternyata Orang yang Saya Kenal atau pengalaman diajak tidur setan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.