Asrama Horor di Sudut Magelang: Tentang Bisikan Dingin yang Tidak Terjawab

Asrama Horor di Sudut Magelang MOJOK.CO

Ilustrasi Asrama Horor di Sudut Magelang. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COHingga saat ini, para penghuni asrama tidak menemukan jawaban atas fenomena ini. Seakan-akan jawabannya tidak ada di Magelang, tempat kami tinggal.

Saya mulai masuk kuliah pada 2022 di sebuah kampus di daerah Magelang, Jawa Tengah. Untuk yang berstatus tahun pertama, kampus mewajibkan kami untuk tinggal di sebuah asrama. 

Asrama yang menjadi tempat tinggal saya mempunyai 3 lantai. Isinya adalah kamar mandi bersama, ruang cuci, beberapa kamar, lorong, dan ruang tengah. Ada sebuah balkon ruang tengah yang menghadap langsung ke perkebunan pohon pinus dan jalan utama menuju asrama di Magelang ini.

Satu kamar asrama ini berisi 3 sampai 4 mahasiswa. Kami masih menggunakan tempat tidur tingkat 2. Selain itu, di dalam kamar asrama ada 2 lemari, dan 4 meja. Nah, setiap kamar di asrama ini punya 1 balkon. 

Saya sendiri mendapatkan kamar di lantai 3, paling pojok timur. Kamar saya sangat dekat dengan tangga menuju rooftop. Lalu, ada juga kamar mandi di paling pojok. Penghuni asrama di Magelang ini menyebutnya “kamar terakhir”.

Kamar yang saya tempati ini paling sejuk dibandingkan kamar lainnya. Oleh sebab itu, banyak tetangga kamar yang sering nongkrong dan betah di kamar saya.

Penghuni “kamar terakhir” ini beragam. Ada saya yang berasal dari Jogja. Lalu ada Citra dan Dona anak Magelang. Terakhir, Entin, berasal dari Kalimantan. Kepribadian kami berempat juga sangat berbeda. 

Oleh sebab itu, selama beberapa bulan awal, interaksi di antara kami cukup minim. Hanya Citra dan Dona yang cepat akrab karena berasal dari daerah yang sama. Interaksi kami lebih cair setelah mengenal kepribadian, meski memakan waktu agak lama. Saya sendiri malah lebih akrab dengan Intan, yang tinggal di kamar seberang. 

Kesulitan beradaptasi

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, butuh waktu lama untuk beradaptasi. Khususnya dengan para penghuni “kamar terakhir. Butuh waktu sekitar 3 bulan untuk saya bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tersebut. 

Saya lebih suka berkelana ke kamar tetangga atau kadang menginap di salah satu kamar yang ada di lantai 2. Untungnya, teman sekamar saya dapat memaklumi sifat dan kebiasaan saya selama tinggal bersama. 

Salah satu akibat dari kesulitan beradaptasi adalah saya jadi sulit tidur. Untung saja, teman-teman sekamar bisa memakluminya. Saya sangat sering tidur di atas pukul 1 malam. Padahal, beberapa jam kemudian, saya harus salat subuh berjemaah di masjid kampus.

Baca halaman selanjutnya: Hingga kini, misteri itu tidak terjawab.

Kejadian aneh di sudut Magelang

Selama tinggal di “kamar terakhir”, saya sering melihat antara Entin atau Dona berjalan menuju balkon. Mereka baru kembali ke kamar setelah pukul 1 pagi.

Saya beberapa kali bertanya kepada mereka. Apakah sedang mencari sesuatu atau terbangun dari tidur lalu ngadem di balkon. Maklum, kalau malam, udara Magelang memang sejuk dan menyenangkan. Bahkan cenderung dingin. Namun, semua pertanyaan saya tidak ternah dijawab.

Saya pikir mungkin karena pertanyaan saya hanya dianggap basa-basi saja makanya mereka malas menjawab. Atau juga karena mereka berdua memang sering tidur sambil berjalan.

Kejadian ini terjadi selama beberapa bulan, khususnya dalam masa-masa saya beradaptasi di Magelang. Karena sudah sangat penasaran, pada suatu ketika, saya bertanya secara langsung kepada mereka.

Entin menjawab seperti ini: “Aku nggak pernah bangun tengah malem, tu.

Dona menjawab: “Aku juga nggak pernah kebangun, terus jalan ke balkon. Lagian ngapain ke balkon.”

Jawaban mereka makin bikin saya bingung dan penasaran. Citra, yang dekat sama Dona sama bingungnya, malah memberi ide. Katanya: “Mending besok kamu ikutin mereka langsung. Sebelumnya, cek lagi, deh. Mereka ada di kasur apa nggak.” Lagi-lagi, jawaban yang bikin bingung.

Yang terjadi malam itu di asrama

Beberapa kemudian, peristiwa itu terjadi lagi. Saat itu, sekitar pukul setengah 2 malam, saya sedang video call dengan teman SMA. Posisi saya duduk menghadap tembok, 

Melalui panggilan video, teman saya bertanya, “Temanmu ada yang belum tidur, ya?”

Pertanyaan itu membuat saya reflek menengok ke arah belakang. Dan benar saja, kali ini saya melihat Dona sedang berjalan menuju balkon.  

Ide Citra muncul di pikiran saya, sehingga mata saya langsung tertuju ke kasur Dona. Sebuah pemandangan yang janggal ada di hadapan saya: Dona sedang tidur pulas. Perasaan janggal langsung menyelimuti saya. Hawa Magelang terasa lebih dingin.

Saya lantas menunjukkan kepada teman saya kalau semua anggota kamar sudah nyenyak tidur. “Kamu lihat, kan, kalau semua yang tinggal di kamar ini udah tidur.”

Raut muka teman saya jadi aneh. Menambah kegelisahan yang saya rasakan. Pasalnya, kami berdua sama-sama melihat Dona berjalan keluar kamar ke arah balkon. Lantas, mana yang nyata, Dona yang tidur atau yang berada di balkon. Saat diri ini mulai merasa takut, panggilan video call kami terputus. Saya berusaha menghubungi teman saya lagi tapi panggilan selalu gagal. WhatsApp juga hanya centang satu.

Bisikan dingin, sedingin hawa Magelang

Setelah video call terputus, suasana menjadi begitu sunyi. Saya meringkuk di sudut tempat tidur. Waktu berjalan sangat lambat. 

Saya berusaha memejamkan mata supaya lekas tertidur, tapi gagal. Jarum pendek jam dinding menunjuk pukul setengah 3. Ketika berusaha tidur, ada sebuah bisikan dalam Bahasa Jawa masuk di telinga saya.

Nek wes ngerti, rasah melu-melu.”

Bisikan itu terasa begitu dingin, sedingin hawa Magelang yang mulai dingin menjelang dini hari. Saya tidak tahu harus bagaimana. Dengan sisa keberanian, saya berlari ke tempat tidur Citra dan berbaring di sebelahnya. Citra hanya menengok sebentar ke arah saya lalu tidur lagi. Di samping Citra, saya akhirnya jatuh tertidur.

Duh, Intan, kamu kenapa

Paginya, saya bercerita secara cepat kepada Citra. Dia hanya terdiam lalu mengajak saya untuk melupakannya. Citra mungkin benar karena setelah peristiwa malam itu, tidak ada lagi kejadian selama beberapa minggu. 

Saya dan Citra mencoba melupakan rasa takut. Usaha kami agak terbantu karena tugas-tugas dari dosen lumayan banyak. Lumayan menyita waktu dan pikiran.

Suatu hari, Intan demam tinggi. Saya menjenguk di kamarnya sekalian membawakan makan malam. Setelah makan dan minum obat, Intan tertidur. 

Sekitar pukul 10, saya mulai mengerjakan tugas. Asrama sudah mulai sepi. Citra juga sudah tertidur. Di tengah saya mengerjakan tugas, terdengar suara ketukan pintu dan pintu terbuka.

Riani, teman sekamar Intan bertanya dengan suara pelan, “Putri, tadi Intan masuk ke kamar ini, nggak? Ini tadi aku sama dia barengan ke kamar mandi. Pas balik kamar, kok, dia belum sampai.”

Tanpa buang waktu, kami berdua mencari di sekitar kamar asrama, kamar mandi, dan tangga, tetapi tidak ada hasil. Riani pikir mungkin Intan pergi ke rooftop asrama. Namun, pikiran saya malah tertuju ke balkon lantai 3. 

Kami berpencar ke tempat yang kami duga masing-masing dan saya menemukan Intan duduk di pinggir atap balkon dengan kaki yang digoyang-goyang. Saya berteriak memanggil Riani hingga membuat hampir seluruh penghuni lantai 3 keluar kamar. 

Setelah membuat keributan di lantai 3, saya langsung berlari menuruni tangga untuk berjaga di bawah apabila hal yang tak diinginkan terjadi. Beberapa anak memanggil pengurus asrama.

Tidak ada jawaban di Magelang

Jadi, kami berhasil membawa Intan kembali ke kamar. Saat berada di kamar, tatapan Intan terlihat kosong dan kakinya sangat dingin. Ada yang bilang kalau Intan kesurupan.

Pengurus asrama lantas memanggil seseorang yang katanya tahu hal-hal seperti ini. Namun, usaha orang itu nihil juga.

Selama proses “pengeluaran”, Intan hanya diam mematung. Tidak ada hasil. Saya pikir dia akan berteriak dan memberontak. Namun, keadaan justru semakin menakutkan karena Intan hanya diam mematung. Saat itulah, bisikan dingin kembali masuk ke telinga saya.

Rasah melu-melu.”

Mendengar bisikan itu, badan saya seperti tergerak untuk kembali ke kamar. Dorongannya begitu kuat. Entah kebetulan atau tidak, beberapa anak juga beranjak dan kembali ke kamar masing-masing. Hingga akhirnya hanya menyisakan pengurus asrama, si orang itu, dan Intan.

Hari berganti dan Intan sudah sehat kembali. Namun, kejadian yang sama masih sesekali terjadi, menimpa yang tinggal di asrama di Magelang ini.

Kami cukup sering melakukan doa bersama dan membaca yasin untuk mengurangi gangguan. Cara ini cukup efektif untuk sementara. 

Gangguan masih terjadi, seperti benda yang bergerak sendiri atau ada yang mengaku “melihat” sesuatu. Para penghuni asrama di Magelang ini hanya bisa pasrah dan menjalani keseharian walau rasa takut menyelimuti. Dan hingga saat ini, kami semua seakan-akan tidak bisa menemukan jawabannya di Magelang. Entahlah.

Penulis: Putri Hanafiah

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Homestay Horor di Pusat Kota Jogja: Tentang Dia yang Mengintip dari Celah Pintu dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version