Wayang Orang Sriwedari: Seni Pertunjukan Paling Komplit yang Tak Pernah Absen Selama 100 Tahun

Kesenian Wayang Orang Sriwedari menyajikan cerita pewayangan dengan cara yang berbeda. Sebagian orang menganggapnya sebagai paket komplit seni pertunjukan karena di dalamnya ada seni tari, musik, pedalangan dan drama.

***

Tri Joko (67) warga Semarang, antusias menyaksikan empat tokoh punakawan yang tampil di panggung.  Semar, Gareng, Petruk dan Bagong malam itu berhasil membuat para penonton tertawa. Melalui tingkahnya yang jenaka, empat tokoh ini selalu dihadirkan dalam babak “Gara-gara”.  Bagian ini jadi favorit Tri Joko hingga ia enggan beranjak dari kursinya.

“Gara-gara” menjadi babak yang tak pernah absen dalam setiap pertunjukan wayang, termasuk di Gedung Wayang Orang Sriwedari. Banyak pula yang sengaja datang menikmati wayang dengan durasi dua hingga enam jam, dan hanya menantikan babak “Gara-gara”.

Punakawan saat beraksi dalam pertunjukkan Wayang Orang Sriwedari. (Novita Rahmawati/Mojok.co)

Tri Joko hampir selalu menyempatkan nonton Wayang Orang Sriwedari jika ia singgah di Solo. Kegiatan ini rutin ia lakukan selama 30 tahun terakhir. Kali ini bahkan dirinya mengajak istri, anak dan satu cucunya. “Iya sering lihat wayang orang, sambil momong cucu,” ungkapnya.

Meski di Semarang ada pertunjukan yang sama dari Wayang Orang Ngesti Pandawa. Namun, sayangnya pertunjukannya tidak serutin Wayang Orang Sriwedari. “Makanya saya kalau ke Solo selalu menyempatkan untuk melihat,” katanya.

Tri Joko tampak menikmati hiburan kala Semar, Gareng, Petruk dan Bagong tengah berbincang mengenai kondisi Covid-19. Mereka membuat lelucon dan plesetan mengenai istilah-istilah Covid-19 yang memancing gelak tawa dari penonton.

Pementasan Wayang Orang Sriwedari bisa jadi tak pernah absen atau libur. Sebelum pandemi menyerang, Wayang Orang Sriwedari tampil enam kali dalam sepekan mulai Senin hingga Sabtu. Pementasan sempat dipentaskan online waktu awal pandemi Covid-19. Namun, kini, pertunjukan Wayang Orang Sriwedari berlangsung tiga kali dalam sepekan yakni Kamis, Jumat dan Sabtu.

Belajar langsung dari samping panggung

Jumat malam (4/2), pertunjukan menampilkan judul “Baladewa Muksa”. Dalam salah satu adegan, Petruk sedang menggoda salah satu prajurit perempuan yang tengah mendampingi Dewi Setyowati. Candaan dari Petruk dan sikap prajurit perempuan yang malu-malu bikin penonton terhibur. Prajurit perempuan yang malu-malu ini diperankan oleh Tri Haryanti (35). Ia sudah bergabung di pertunjukan Wayang Orang Sriwedari selama 16 tahun sejak tahun 2006.

Saya berkesempatan berbincang dengannya sebelum pentas dimulai. Sembari berdandan di Ruang Keputren, ia menceritakan pengalamannya pertama kali terjun dalam seni pertunjukan wayang orang. Diakuinya, saat pertama kali bergabung menjadi pemain wayang orang, dirinya langsung diminta memainkan satu peran dan hanya memiliki kesempatan belajar dengan melihat kawan-kawannya pentas dari samping panggung.

Pementasan Wayang Orang Sriwedari. (Novita Rahmawati/Mojok.co)

“Awalnya dulu bingung, apalagi dulu kalau dapukan (pembagian peran) pemberitahuannya mendadak. Misalnya jadwal main jam 8 malam, satu jam sebelumnya baru dikasih tahu,” ucap Tri Haryanti.

Dari sini ia mulai belajar dengan melihat para senior yang tampil lebih dulu di atas panggung. Mulai dari belajar menari, nembang hingga cara bertutur kata. Bagi Tri Haryanti hal ini terlihat asing. Meski dulunya dia bersekolah di SMKN 8 Surakarta (SMK kesenian) dan mengambil jurusan seni tari, tapi ia tidak punya bekal kesenian lainnya selain tari.

“Saya dulu bisanya ya lihat dari samping panggung itu. Apalagi dulu tiap hari pentas, jadi belajarnya cepat,” katanya.

Memang benar, seorang pemain wayang orang tidak hanya diwajibkan untuk bisa bermain peran saja. Namun mereka juga harus piawai nembang hingga menari termasuk merias wajah sendiri. Saat berada di Ruang Keputren, semua pemain bertanggung jawab atas riasannya sendiri. Dalam hal ini Tri Haryanti cukup beruntung karena saat di sekolah dibekali pelajaran merias dan tata busana dalam pewayangan.

“Kalau di sini kami harus merias dan pakai busana sendiri. Untungnya dulu saat sekolah sering dapat job menari dan harus dandan sendiri. Jadi sekarang terbiasa,” terangnya.

Untuk berdandan menjadi seorang prajurit, Tri hanya perlu menyiapkan waktu kurang dari satu jam, baik untuk merias wajah hingga berbusana. Ia pun cekatan melukiskan kuas make up ke wajahnya hingga  mengenakan celana cinde, jarik, kemben, sampur (selendang) dan komponen-komponen lainnya. Termasuk saat harus memakai hiasan kepala.

“Kali ini saya hanya dapat peran sebagai prajurit, paling kalau dandan hanya setengah jam. Pakai baju juga nggak terlalu lama,” katanya.

Namun beda halnya ketika ia didapuk berperan menjadi tokoh utama. Persiapannya membutuhkan waktu lebih panjang. Misalnya untuk menjadi ratu atau salah satu tokoh utama, ia harus menyiapkan waktu lebih dari satu jam.

“Biasanya pakai kostumnya yang lebih lama karena peralatannya lebih banyak,” katanya.

Peran yang tak bisa ditolak

Cerita berbeda diungkap oleh pemain lain, Sri Lestari Purno Wirastri (55) atau kerap disapa Mbak Iyeng. Ia sudah bergabung dengan Wayang Orang Sriwedari sejak tahun 2000. Sebelumnya, ia sempat bergabung dengan Wayang Orang Bharata di Jakarta. Namun, setelah ada kebijakan otonomi daerah, ia dikembalikan ke kota asalnya di Solo. Kemudian Pemerintah Kota Solo membuat kebijakan mengangkat para pemain wayang orang menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Ia merasa menjadi salah satu pegawai yang beruntung.

“Dulu saya sempat jadi pemain wayang orang di Jakarta. Tapi setelah kebijakan otonomi daerah, saya dan pemain lainnya dikembalikan ke kota masing-masing, dan sampai sekarang di sini,” katanya.

Pengalaman belasan tahun menjadi pemain wayang orang punya suka duka tersendiri. Termasuk saat sutradara mendapuknya untuk berperan menjadi tokoh tertentu, tentu saja ia tidak bisa menolak.

“Saya ini kan dari perawakan karakternya luruh (halus dan lemah gemulai). Tapi tak jarang saya didapuk untuk memerankan karakter yang mbranyak (kasar). Ya harus mau,” katanya.

Mbak Iyeng ketika sedang merias diri sebelum tampil di atas panggung. (Novita Rahmawati/Mojok.co)

Bahkan dalam periode waktu tertentu ia sering didapuk untuk memerankan tokoh Janaka. Sebab saat itu tidak ada pemain lelaki yang memiliki karakter seperti Janaka. “Saya dulu sering dapat peran jadi Janaka, karena dulu nggak ada yang karakternya dianggap pas karena kurang pemain juga. Tapi sekarang kan berbeda, adik-adik pemain lelaki ini kan sudah banyak yang ganteng-ganteng,” katanya.

Perjalanan karier yang merentang lebih dari 20 tahun sempat membuatnya merasa bosan. Apalagi dulu dirinya hanya bermain untuk peran yang itu-itu saja. Namun, belakangan, sistem pembagian peran di Wayang Orang Sriwedari lebih fleksibel. Sehingga dirinya bisa berkesempatan memerankan banyak tokoh.

“Kalau dulu saya dapatnya Janaka terus, atau Sembadra. Tapi sekarang kan di-rolling, jadi mau tidak mau harus belajar. Termasuk belajar pada yang muda-muda dan jadi nggak bosan,” katanya.

Beda Wayang Orang Sriwedari dulu dan sekarang

Sosok lain yang satu angkatan dengan Mbak Iyeng adalah Harsini (50). Ia merupakan sutradara paling senior dari tiga sutradara yang ada di Wayang Orang Sriwedari. Harsini sudah bergabung dalam pertunjukan Wayang Orang Sriwedari sejak tahun 1990.

“Dulunya saya pemain, tapi belakangan saya menjadi sutradara,” ungkapnya.

Ia menceritakan pengalamannya saat awal bergabung dengan Wayang Orang Sriwedari. Menurutnya, ada perbedaan yang signifikan antara dulu dan sekarang dalam kehidupan di Gedung Wayang Orang Sriwedari. Salah satu yang yang kentara adalah perbedaan dari segi persiapan pentas.

“Mainnya saja lain, dulu main wayang orang itu mendadak. Sebelum main, sutradara baru mencatat siapa saja pemain yang datang. Baru kemudian dapukan. Kalau sekarang kan dapukan sudah disiapkan selama satu minggu dan ceritanya sudah dipilihkan untuk jadwal satu bulan. Padahal cerita wayang orang ada lebih dari seribu naskah,” katanya.

Harsini, sutradara Wayang Orang Sriwedari. (Novita Rahmawati/Mojok.co)

Bahkan Harsini menceritakan, era wayang orang yang dulu masih banyak pemain yang tidak bisa baca dan tulis. Sehingga setelah dapukan selesai dan pemain merias wajah, para pemain yang tidak bisa membaca naskah akan menemui sutradara untuk bertanya apa saja yang harus dilakukan di atas panggung.

“Jadi setelah rias mereka baru tanya ke sutradara, dapat peran apa, bagaimana jalan ceritanya. Kalau sekarang tiap pemain bisa membaca naskahnya saat latihan,” katanya.

Bahkan dulu untuk pemain harus menghafalkan sekian banyak cerita pewayangan. Saat itu pemain hanya dibekali briefing oleh sutradara mengenai cerita yang akan disajikan hari itu.

Harsini memahami betul seluk-beluk wayang orang Sriwedari ini. Pasalnya ia sudah berkecimpung dalam kesenian ini selama tiga dekade. Tak hanya menjadi pemain dan sutradara, Harsini telah mendukung kesenian ini dalam berbagai peran.

“Saya sudah pernah jadi pemain, sinden, penata kostum, sekarang jadi sutradara. Bahkan dulu saya juga pernah jaga tiket,” katanya.

Harsini bersyukur, ia masih menjadi bagian dari pertunjukan Wayang Orang Sriwedari hingga hari ini. Apalagi saat ini pertunjukan wayang orang di berbagai kota sudah tidak serutin di Sriwedari. Dulunya pertunjukan wayang orang ada di beberapa tempat, seperti Wayang Orang Bharata di Jakarta, Wayang Orang Ngesti Pandawa di Semarang, Wayang Orang di Kantor RRI Surakarta dan di Sriwedari ini. Namun, di ketiga lokasi awal, pertunjukannya sudah tidak rutin dilakukan.

Dukungan dari Pemerintah Kota Solo

Beruntungnya lagi Wayang Orang Sriwedari kini didukung oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Para pemain diangkat menjadi pegawai Pemkot Solo, bahkan sebagian berstatus PNS. Alasan inilah yang menjadikan Wayang Orang Sriwedari ini tetap pentas secara rutin, sebab mereka bertanggung jawab pada pemerintah. Penghasilannya pun rutin dari pemerintah, tidak bergantung pada sepi atau ramainya penonton.

“Kalau di Ngesti Pandawa Semarang itu kayaknya sebulan sekali. Kadang pemainnya membantu ke sini juga. Selain di Sriwedari, RRI juga punya pertunjukan wayang orang, sayangnya di sana tidak rutin dan hanya satu bulan sekali,” ucap Harsini.

Dukungan pemerintah ini yang membuat eksistensi Wayang Orang Sriwedari tetap terjaga. Hingga kini pertunjukan seni yang bermula dari era Raja Mangkunegara VI ini sudah bertahan lebih dari 110 tahun sejak pertama didirikannya pada tahun 1911.

Senada dengan Harsini, Koordinator Wayang Orang Sriwedari Heri S. Kusumo mengatakan peran Pemkot Solo untuk melestarikan Wayang Orang Sriwedari ini sangat besar. Bahkan ia merasa akan sangat sulit mempertahankannya jika tidak dibantu oleh Pemkot Solo.

“Bagaimanapun kami tetap pentas meski tidak ada penonton. Seminggu tiga kali di hari Kamis, Jumat dan Sabtu. Sementara status kami pegawai pemerintah, kami juga harus masuk di hari efektif lain. Biasanya kami gunakan untuk latihan, yakni di hari Senin, Selasa dan Rabu,” katanya.

Pementasan Wayang Orang Sriwedari. (Novita Rahmawati/Mojok.co)

Menurut Heri, seni pertunjukan wayang orang ini adalah seni pertunjukan yang paling komplit dan punya keunikan tersendiri. Salah satu keunikannya, dalam tiap pentas ada sutradara dan dalang. Di mana dalam pertunjukan lainnya, kedua hal ini bisa dilakukan oleh salah satu posisi saja. Namun dalam wayang orang, keduanya ada dan memiliki peran yang sama-sama penting.

Dalam wayang orang, sutradara merupakan orang yang membuat naskah dan mengatur jalannya cerita. Sementara dalang menjadi pengatur musik yang dimainkan, narator, hingga penghubung antara pemain di atas panggung dan pengrawit.

“Fungsi dalang ini sangat penting, sama halnya dengan sutradara,” kata Heri yang juga merupakan salah satu dalang di Pertunjukan Wayang orang Sriwedari.

Dari sinilah keduanya berperan untuk memandu jalannya pertunjukan selama dua hingga tiga jam. Mulai dari dimulainya karawitan hingga cerita selesai dan diiringi dengan tepuk tangan dari penonton.

Ia berharap Wayang Orang Sriwedari ini bisa terus eksis di tengah gempuran modernisasi. Pelakunya pun berusaha agar kesenian ini bisa diterima di semua kalangan, termasuk anak muda.

“Makanya kami punya tiga sutradara. Kalau Bu Harsini itu ciri khasnya cerita klasik, ada Mas Billy yang dia lebih cenderung kontemporer. Terakhir Mas Destian, yang merupakan penggabungan keduanya,” ucapnya.

Menurutnya kesenian ini tetap harus dilestarikan di tengah gempuran modernisasi dan beragamnya hiburan bagi masyarakat. Sebab wayang orang ini merupakan seni yang melibatkan berbagai macam unsur dan sangat lengkap. Mulai dari seni tari, drama, seni rupa, seni musik dan seni pedalangan.

“Termasuk ada unsur sastra juga yang melengkapi kesenian ini. Makanya kami juga berusaha untuk mengikuti zaman tanpa meninggalkan esensi dan tradisinya. Dengan melibatkan orang-orang baru dari sutradara dan pemain, saat ini wayang orang Sriwedari juga berusaha untuk melakukan peremajaan,” katanya.

Hasilnya saat ini penikmatnya pun tetap ada. Sebelum pandemi Covid-19, penontonnya hanya sekitar 100 orang dalam sehari. Pada awal pandemi, Wayang Orang Sriwedari sempat memberikan inovasi dengan menyajikan tontonan melalui streaming di Youtube. Setelah ada pelonggaran dari pemerintah, penonton pun kembali.

“Bahkan setelah kami buka lagi untuk penonton, yang datang paling tidak ada 200 hingga 250 orang. Mungkin mereka antusias dan haus akan hiburan,” pungkasnya.

Reporter: Novita Rahmawati
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Warung Pepes Bu Biru dan Pelajaran Bisnis dari Wadaslintang dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version