Warung Tauto H Kunawi di Pekalongan Menjelaskan, Mengapa Soto Berbumbu Tauco

Semangkuk tauto daging sapi di H Kunawi

Tauto, atau tauco-soto adalah kuliner khas Pekalongan yang lahir dari perpaduan soto dengan bumbu tauco, saus yang terbuat dari fermentasi kedelai. 

***

Di Pekalongan selain nasi megono yang terkenal itu, ada satu kuliner khas yang jarang ditemukan di tempat lain. Tauto atau soto dengan bumbu tauco. Ada satu warung tauto yang kondang sejak berdiri di tahun 1970  atau 51 tahun yang lalu, Warung Tauto H. Kunawi. Lokasinya di di sebuah gang, tepatnya Gang 5, Kelurahan Klego, Kota Pekalongan, Jawa Tengah. 

Sekitar pukul 09.00 pagi, ketika langit masih disaput mendung tipis, saya sudah berada di halaman Warung Tauto H. Kunawi. Meskipun cuaca pada 11 Desember 2021 itu sedikit mendung, nampak empat orang, yang sedang duduk menikmati hidangan soto daging sapi. 

Soto atau Tauto H Kunawi merupakan salah satu warung soto yang banyak “diujo” (dikunjungi) pembeli. Kendati lokasi warung di dalam gang, para pelanggan yang membawa mobil, memarkir mobil mereka di tepi mulut gang. Untuk menuju ke warung soto harus berjalan kaki sekitar 50 meter. Berbeda dengan pembeli yang menggunakan sepeda motor, termasuk saya, bisa mengendarai sepeda motornya langsung masuk ke gang tanpa kendala.

Tidak lama satu mangkuk soto yang saya pesan, lengkap dengan lontong yang disajikan di atas piring secara terpisah, tiba di hadapan saya. Ketika saya seruput dengan sendok, kuahnya yang kental beraroma tauco itu terasa nikmat, di tengah cuaca mendung. Kerupuk dan tempe goreng yang masih panas membuat cita rasa tauto lebih ramai di lidah. 

Soto Pekalongan yang juga dikenal dengan sebutan tauto itu memang beda dengan soto Semarang atau soto di daerah lainnya. Di luar wilayah Pekalongan, olahan soto kuahnya cenderung bening karena tanpa bumbu tauco. Dan yang pasti, lidah orang di luar Pekalongan, kecuali orang Batang yang masih serumpun, biasanya kurang cocok dengan tauto. 

kuliner Pekalongan
Bu Hj Jariyah didampingi anak laki-lakinya, Fahmi, saat meracik soto-tauto ke dalam mangkuk. (Foto Kasirin Umar/Mojok.co)

“Soto khas Pekalongan, kuahnya atau  kaldunya kental dan pekat karena diberi bumbu tauco,” kata Fahmi (40) generasi kedua dari Tauto H. Kunawi. Tahun lalu, warung H. Kunawi masih memakai nama Soto/Tauto H Kunawi, namun tahun ini karena spanduk diberi oleh sponsor, hanya tercantum Soto H Kunawi. 

“Ya betul, pak. Yang memberi spanduk adalah sponsor dari minuman teh gelas. Sudah tertulis soto tanpa kata tauto, kami tinggal memasangnya. Saya pikir meskipun kami tidak menambahkan kata tauto pelanggan kami sudah paham, bahwa soto olahan kami adalah tauto khas Pekalongan yang menggunakan daging sapi dengan bumbu tauco,” katanya.

Biasanya, imbuh Fahmi, kalau tulisannya cuma soto tanpa tambahan tauto,  yang dijual adalah soto ayam. Karena tidak ada tauto ayam, sebab kalau tauto pasti menggunakan daging sapi tidak menggunakan daging ayam.

Dari literatur yang ada, soto sendiri berasal dari makanan Cina yang dalam dialek Hokkian disebut cau do, jao to atau chau tu, berupa makanan berkuah dari jeroan dengan bumbu rempah-rempah. Di Indonesia, soto mulai populer di pesisir pantai utara Jawa pada abad ke-19 Masehi. 

Ary Budiyanto dan Intan Kusuma Wardhani dari Institut for Research and Community Service Petra Christian University dalam penelitiannya berjudul “Menyantap Soto Melacak Jao To: Merekonstruksi (Ulang) Jejak Hibriditas Budaya Kuliner Cina dan Jawa” menjelaskan dengan gamblang asal mula soto dari Cina.

Paper yang mereka buat menelusuri bagaimana ini evolusi jau to ini menjadi soto lewat varian racikan resepnya. Menjelaskan bagaimana ragam soto di Indonesia seperti soto Kudus, sroto Sokaraja, soto Madura, coto Makassar dan soto-soto lainnya merupakan pengaruh dari kuliner Tionghoa.

“Kalau dulu, di Pekalongan, tauto atau soto menggunakan daging kerbau. Seiring langkanya daging kerbau di pasar, pedagang soto alias tauto menggunakan daging sapi hingga sekarang, dan ternyata tekstur daging sapi lebih lembut,”  ujar Fahmi.

Warung Soto H Kunawi. (Foto Kasirin Umar/Mojok.co)

Fahmi  mengatakan lebih lanjut, Tauto H.Kunawi sudah eksis sejak awal tahun 1970. Usai ayahnya, H Kunawi meninggal sekitar 15 tahun yang lalu, warung soto lalu dikelola oleh isteri almarhum, yakni Hj. Jariyah (70) dibantu ke empat anaknya, termasuk Fahmi yang bontot itu.

“Warung kami buka, sejak pukul 08.30 pagi dan tutup pukul 16.00 sore. Kami tutup kalau ada keperluan  keluarga, dan pada bulan Ramadan selama satu bulan penuh kami tutup, pada Lebaran kedua warung kami buka kembali,” tutur Fahmi.

“Sehari habis daging sapi berapa kilo?” tanya Mojok.co.

“Sekitar 20 kg, sebelum pandemi korona bisa lebih, hingga mencapai 25 kg setiap hari. Kalau pada hari lebaran kedua hingga Lebaran plus 7, atau yang kita kenal sebagai Bakda’ Syawal, warung soto kami setiap hari selama satu minggu bisa menghabiskan 30 – 40 kg,”sebut Fahmi.

Ia juga menjelaskan, harga semangkok soto atau tauto yang ia patok saat ini dibanding bulan sebelumnya mengalami kenaikan, dari semula semangkuk Rp18.000 mangkuk, menjadi Rp20.000. “Kami terpaksa menaikkan harga soto karena daging sapi saat ini di Pekalongan cukup mahal yaitu Rp120.000/kg, padahal semula Rp100.000/kg,” ungkap ayah 2 anak ini.

BACA JUGA Soto Gratis dari Cak Eko di Akhir Bulan dan liputan menarik lainnya di Susul. 

Reporter        : Kasirin Umar
Editor             : Agung Purwandono

Exit mobile version