Warung Nasi Pecel Tumpang Mbah Mi 1961, Sambalnya Ada di Serat Centhini

Nasi pecel tumpang adalah makanan khas daerah Kertosono. Ada banyak warung nasi pecel tumpang di kota ini yang bisa kamu jumpai. Salah satu yang legendaris adalah warung Nasi Pecel Tumpang Mbah Mi. Warung ini sudah berdiri sejak tahun 1961.

***

Pagi itu, Jumat (3/2) cuaca sedang syahdu. Mendung menghiasi langit Kertosono, Nganjuk. Gerimis kecil menemani perjalanan saya menuju warung Mbah Mi. Berbekal GPS saya menuju warung Mbah Mi. Lokasinya memang nyempil dalam gang, lumayan jauh dari jalan utama. Tepatnya terletak di Dusun Jabon, Desa Pandantoyo, Kecamatan Kertosono, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Warung yang memanfaatkan emperan rumah bernuansa joglo ini memang sudah terkenal untuk kalangan pecinta sego atau nasi pecel tumpang di Kertosono. Pertama kali datang, saya sedikit ragu. Tak ada banner atau spanduk bertuliskan nasi pecel tumpang dengan nama Mbah Mi. Hanya terpampang tulisan “biasakan cuci tangan sebelum dan sesudah makan”.

Sampai di lokasi, saya langsung memilih duduk di dekat penjual berharap bisa bertanya banyak hal. Dengan ramah Ibu Ningsih (57) yang ternyata adalah menantu Mbah Mi langsung menawarkan kepada saya “campur opo gak? peyek’e diguyang gak?”.

Bu Ningsih sedang meracik seporsi sego pecel tumpang di warungnya. (Indah Rahmasari/Mojok.co)

Warung Mbah Mi hanya menjual nasi pecel tumpang dengan pilihan variasi campur (pecel dan tumpang), pecel saja dan tumpang saja. Ada juga pilihan lauk yang tersedia di meja. Ada tahu goreng, sate ayam dan sate telur puyuh. Harganya terjangkau untuk satu pincuk nasi hanya Rp5.000, tahu goreng Rp500, sate ayam Rp2.000, per tusuk dan sate telur puyuh hanya Rp2.500, per tusuk.

Sepincuk nasi campur dengan setusuk sate ayam, setusuk sate telur puyuh dan seumbruk peyek kemremes saya nikmati dengan lahap. Pagi itu lumayan ramai, beberapa pembeli datang rombongan. Ada rombongan berbaju safari dengan emblem di lengan penanda instansi tempat mereka bekerja. Ada juga rombongan keluarga kecil, dan banyak pula yang datang seorang diri atau berdua.

Selain rasanya yang enak, keakraban antar-pembeli juga terjalin di warung. Warung dengan penjual yang ramah ini hanya menyediakan beberapa set kursi di ruang tamu dan teras rumah. Hal ini membuat guyub antara pembeli dan penjual. Obrolan-obrolan ringan mengalir diiringi suara kemremes dari peyek. Minimal anggukan kepala dan kata monggo akan terucap ketika hendak menyantap makanan.

Sejarah Nasi Pecel Tumpang Mbah Mi

Saya membuka obrolan dengan pertanyaan “Mbah Mi engkang pundi? (Mbah Mi ada di mana?)” sontak beberapa pembeli yang merupakan pelanggan tetap menatap ke arah saya dan menjawab pertanyaan saya bahwa mbah Mi sudah meninggal sekitar 4 tahun lalu. Ibu Ningsih melihat ke arah saya sembari tersenyum di balik maskernya.

Selanjutnya saya meminta izin untuk wawancara. Sekitar 1 jam saya menunggu warung mulai sepi, namun bukan benar-benar sepi. Pembeli datang dan pergi.

“Mbah Dok (Mbah Mi) diparingi panjang umur mbak, mergo seneng bakulan (karena senang jualan),” ucap Bu Ningsih mengenang bangga mertuanya. Mbah Mi meninggal di usia 91 tahun dan di usia yang sangat senja masih aktif berjualan.

Suasana sarapan di warung sego pecel tumpang Mbah Mi. (Indah Rahmasari/Mojok.co)

Awalnya Mbah Mi menjual nasi pecel dengan berkeliling. Dagangannya disunggi dan diletakan pada tumbu bambu yang kemudian digendong. Rutenya dari pos gardu samping rumahnya, kemudian di depan SMP Negeri 3 Kertosono dan selanjutnya di depan pegadaian yang beralamat di Jl. Gatot Subroto, Kutorejo, Kec. Kertosono. Selepas dari depan pegadaian Mbah Mi akan jalan ke Pasar Wage (kini sudah pindah karena kebakaran) untuk kulakan bahan dagangan esoknya. Bu Ningsih lah yang bertugas mengantar Mbah Mi ke tempat-tempat mangkalnya.

Sekitar 14 tahun sebelum meninggal, Mbah Mi sudah tidak keliling. Ia membuka warung sederhana di emperan rumahnya dan pelanggannya masih saja ramai bahkan semakin ramai. Dalam sehari warung Mbah Mi buka 2 kali, pagi dan sore hari dengan dibantu anak dan menantunya.

Setelah Mbah Mi meninggal, warung diteruskan anak dan menantunya. Ada pembagian jadwal yang disepakati. “Iki nerusne biyen Mbak pas jek ngrewangi Mbah Dok (Ini meneruskan sejak dulu masih bantu Mbah Mi),” ucap Bu Ningsih.

Untuk jadwal pagi jam 07.00-10.00 Bu Ningsih dan suaminya, Pak Sabar (anak Mbah Mi nomor 2) dan jadwal sore jam 17.00 – 23.00 adalah giliran Ibu Sri yang merupakan anak ragil Mbah Mi (nomor 6).

Iki bumbune tekan Mbah Dok (Ini bumbunya dari Mbah Mi),” ucap bu Ningsih sembari menyiramkan sambal tumpang di tumpukan peyek. Bu Ningsih menambahkan, agar tumpangnya enak bahan tempenya juga musti enak. Sejak dulu Mbah Mi berlangganan tempe dari Desa Tembarak, Kertosono.

Dalam sehari (sekitar 3 jam berjualan) Bu Ningsih bisa menghabiskan 8-10 kg beras dan 14 godor besar tempe. Bu Ningsih mengaku tak ada resep khusus dalam sambal pecel dan tumpangnya. Bahkan ia tak segan untuk berbagi resep dengan pelanggan seperti yang dulu kerap dilakukan Mbah Mi. Namun, beberapa pelanggan yang pernah mencoba masak mengaku rasanya tak sama, tak bisa sedap seperti racikan Mbah MI, Bu Ningsih ataupun Bu Sri.

Yang berbeda dari nasi pecel tumpang Kertosono

Setiap daerah pastinya punya makanan khas tersendiri begitupun Kertosono, sebuah kecamatan yang terletak di persimpangan 3 Kabupaten sekaligus (Jombang, Kediri dan Nganjuk). Nasi pecel di Kertosono sedikit berbeda dengan nasi pecel di tempat lainnya. Nasi pecel disini berisi nasi yang ditumpang kulupan (sayuran yang direbus) dan trancam (sayuran mentah) kemudian disiram sambal pecel dan sambal tumpang.

Uniknya nasi pecel kertosono terletak pada sambal tumpangnya. Sambal berbahan tempe medem (tempe hampir busuk) dengan santan dan cita rasa nendang dari ketumbar serta aroma daun salam ini menghasilkan perpaduan rasa yang khas.

Sambal tumpang sudah ada sejak zaman dulu. Bahkan keberadaannya tertulis dalam Serat Centhini yang legendaris itu.

Seporsi sego pecel tumpang Mbah Mi (Indah Rahmasari/Mojok.co)

Nasi pecel tumpang kertosono didominasi rasa pedas, gurih, asin dan unik dari sambal tumpang. Ditambah peyek kemremes yang melimpah dan tak pelit. Beberapa kali mencoba nasi pecel di berbagai daerah hanya di Kertosono yang memberikan peyek melimpah, kriuk banget.

Penyajiannya juga unik, dengan menggunakan pincuk daun pisang. Aroma khas dari daun pisang menambah kenikmatan tersendiri. Konon penjual sego pecel tumpang tak pernah bawa sendok, tapi menggunakan suru (sendok dari daun pisang) namun seiring berjalannya waktu suru tergantikan sendok. Di warung Mbah Mi kamu masih bisa request suru sebagai alat makan.

Penjual nasi pecel tumpang di Kertosono memang melimpah. Bahkan di satu deret tempat saya tinggal ada 5 warung penjual nasi pecel tumpang. Tiap warung punya ciri khas tersendiri. Sego pecel tumpang Mbah Mi sedikit berbeda, ada penambahan sambal kelapa manis yang dicampurkan dengan sambal pecel dan tumpang.

Selain itu pilihan sayurannya juga khas. Toping sayuran di sini berisi pepaya muda, daun pepaya rebus yang tak pahit sama sekali, serta trancaman dari sayuran segar seperti daun kenikir, lamtoro muda dan kecambah kecil.

Menurut saya yang kerap makan nasi pecel tumpang selama 7 tahun terakhir, cita rasa Nasi Pecel Tumpang Mbah Mi ini unik, ada perpaduan antara pedas, asin dan manis. Selain itu sambal pecel dan tumpangnya melimpah bahkan seperti kuah yang nyemek. Sayuran yang menjadi toping di atasnya juga segar dan sangat cocok untuk lidah saya.

Reporter: Indah Rahmasari
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Sapporo Ramen, Kedai Ramen Pertama di Jogja dan Saran Menu dari Pelanggan dan  liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version