Seorang bapak tua turun dari sepeda onthelnya memasuki halaman paguyuban payung hias “Ngudi Rahayu”, ketika saya sedang asyik memotret. Tepatnya di Dusun Gumantar, Tanjung, Juwiring, Klaten, Jawa Tengah.
Bapak itu lalu memarkirkan sepedanya di dekat payung-payung hias yang terjemur di halaman. Ia kemudian menyapa saya dan mempersilahkan saya untuk melihat-lihat payung di dalam. Rupanya, ia baru saja istirahat sebentar untuk mencari makan di luar.
“Monggo Mbak, lihat-lihat saja ke dalam. Saya izin lanjut melukis payung ya,” kata perajin lukis payung tersebut yang tampak terbiasa dengan kedatangan orang baru.
Ia bercerita bahwa paguyuban Ngudi Rahayu kerap menjadi wisata edukasi bagi kalangan siswa maupun mahasiswa. Di sana, para pengunjung bisa membeli atau sekadar melihat proses pembuatan payung lukis yang mulai langka di masa kini. Pantas saja, Bapak itu tak merasa terganggu.
“Saya sehari bisa melukis 20 payung Mbak,” ucap bapak itu saat saya tanya pada Rabu siang (15/10/2025).
Kerja di Klaten dengan upah sekitar Rp3 juta per bulan
Bapak itu memperkenalkan diri sebagai Muh Yusuf. Laki-laki berusia 73 tahun itu sudah kerja di paguyuban payung hias Ngudi Rahayu selama 8 tahun. Yusuf bercerita, orang tuanya dulunya juga merupakan pelukis payung. Ia pun mengikuti jejak orang tuanya sejak lulus dari SMP dan tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya karena kondisi ekonomi.

“Saya dulu kerja di pabrik payung dekat sini. Kira-kira sejak tahun 1967. Tapi belum lama ini pabriknya tutup. Jadi saya kerja di Ngudi Rahayu punya bapak Ngadi,” tutur Yusuf.
Ia mengaku tak ada kendala yang berarti dalam melukis, kecuali faktor alam seperti hujan. Sebab kalau hujan, kata Yusuf, proses penjemuran payung bakal lama. Yang tadinya hanya dua hari, bisa jadi berhari-hari.
Laki-laki asal Klaten itu berujar bisa menyelesaikan lukisan 20 payung dalam sehari. Ia pun bisa mendapat upah Rp8 ribu per payung. Jika tak ada kendala dan pesanan payung hias mulai ramai, Yusuf bisa mendapat upah sekitar Rp3 juta lebih dalam sebulan.
Menghidupkan kembali budaya tak benda payung lukis
Muh Yusuf adalah satu dari 30 orang perajin payung lukis di Sentra Payung Tradisi Gumantar, Desa Tanjung, Juwiring, Klaten. Tepatnya di paguyuban Ngudi Rahayu milik Ngadiyakur (58). Ngadi–sapaan akrabnya mengungkap paguyuban miliknya sudah berdiri sejak tahun 1999.
Namun, industri kreatif payung lukis sendiri sudah ada sejak zaman kerajaan. Dalam sejarahnya, payung tidak hanya sebagai penadah air hujan, tapi simbol status sosial yang dipakai oleh pejabat tinggi seperti raja.
Bahkan dalam perkembangannya, payung lukis, khususnya Juwiring sudah dinobatkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia sejak tahun 2022. Namun, saat krisis moneter melanda Indonesia tahun 1998, produksi seni kriya payung lukis sempat terhenti.
Kemudian dihidupkan kembali oleh masyarakat desa yang dulunya memang memproduksi payung lukis, tapi sempat terputus lagi saat pandemi. Begitu juga yang dialami oleh Ngadiyakur. Bisnis payung hias milik orangtuanya itu sempat berhenti beberapa kali, hingga akhirnya ia berinisiatif mengajak warga kampung untuk menghidupkan kembali industri kreatif payung hias.
“Jadi saya ajak tetangga-tetangga di sini, mulai dari perajin pembuat rangka lalu proses pembuatan payungnya di sini. Mulai dari pemasangan kain, memberikan aksesori, sampai melukis payungnya,” tutur Ngadiyakur.
Bahu-membahu bangkitkan ekonomi warga
Dalam sehari, paguyungan Ngudi Rahayu di Klaten mampu menghasilkan 100 payung. Harganya berkisar dari Rp30 ribu sampai jutaan rupiah per payung, tergantung dari motif, ukuran, dan corak lukisan yang dibuat.
Paguyuban Ngudi Rahayu di Klaten umumnya memproduksi payung lukis yang digunakan untuk hiasan seperti di restoran, tempat wisata, hotel, dan perkantoran. Ada juga yang memesan untuk alat tari maupun suvenir.
“Kebanyakan juga dipesan untuk upacara adat, khususnya Juwiring digunakan sebagai hiasan di sisi kanan dan kiri pada acara mantenan sampai kebutuhan keraton. Pesanannya ada dari Solo, Jogja, Bali, Cirebon, Jakarta, Indramayu, Tasikmalaya, dan sekitaran Jawa itu rata-rata ada,” tutur Ngadi.
Untuk saat ini, Ngadi belum mau menerima tawaran dari luar negeri, walaupun banyak instansi dari Amerika misalnya pernah mengajak kerja sama. Mengingat jumlah sumber daya manusia mereka yang masih kurang.
Sejauh ini, ia pun merasa sudah cukup dengan pencapaiannya. Selain bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, ia bisa membantu ekonomi warga sekitar.
“Karena kami juga banyak melibatkan orang-orang sekitar, ya walaupun cuman 30 sampai 40 orang, intinya kami bisa bermanfaat untuk sesama. Saya kira itu saja sudah cukup,” kata Ngadi.
Industri kreatif di Klaten
Paguyuban Ngudi Rahayu bukan satu-satunya bisnis payung lukis di Dusun Gumantar, Tanjung, Juwiring, Klaten, Jawa Tengah. Menurut pantauan Mojok, masih ada Kerajinan Payung Wisnu hingga Kerajinan Payung Lukis Hias Honocoroko. Jarak produksinya pun berdekatan.
Meski begitu, kata Ngadi, persaingannya di desanya tetaplah sehat. Justru, mereka bahu-membahu untuk membangkitkan ekonomi desa. Bahkan tak hanya perajin payung tapi juga perajin kayu di sana.
“Semua warga di sini saling membantu sesuai kemampuan dan ‘tekane ati’. Artinya, kami ikhlas. Misalkan, ada yang mampunya ngasih uang Rp1 juta untuk pembangunan masjid, ada juga yang cuma nyumbang Rp100 ribu. Itu nggak masalah.” Kata Ngadi.
Selain payung lukis, warga Klaten juga didominasi oleh perajin gerabah, wayang kulit, dan mebel ukir. Bahkan, lurik khas Klaten juga sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pensiun dari Guru, Raup Puluhan Juta dengan Menganyam Bambu di Minggir Jogja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.