Universitas Brawijaya, tak bisa dimungkiri lagi, adalah salah satu universitas top di Malang. Universitas top, bisa dibilang adalah kebanggaan suatu kota. Tapi, ada hal unik yang ada di UB yang bikin kita terheran-heran.
***
Beberapa hari lalu, saat saya wawancara beberapa narasumber terkait Universitas Brawijaya, saya menemui salah satu pernyataan menarik dari Sigit (37), salah satu narasumber. Beliau berkata, suasana UB justru mirip kampus-kampus Jakarta, pergaulan sehari-hari pakai lu-gue. Jujur saya lumayan kaget, sebab, bukannya UB ini kampus Malang ya?
Sebagai orang awam, saya pikir kampus Jatim itu bahasanya ya ala-ala Jatim pada umumnya. Tapi saya coba gali lagi, dan ternyata omongan Mas Sigit itu diamini banyak orang. Salah satunya Ilham (22), mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya 2020. Saya coba tanya, benarkah UB berasa seperti kampus Jakarta, karena pakai lu gue, dan Ilham berkata, betul.
Ilham menjelaskan, banyak orang UB, yang dia temui memang berasal dari Jakarta atau Jawa Barat, dan kultur mereka terbawa ke UB. Oleh karena mereka mayoritas, otomatis bahasa yang dipakai ya sama dengan bahasa asal mereka.
“Ada satu hal yang bikin kaget sebenarnya. Ternyata, anak-anak (kampus) dari warga lokal sendiri ternyata, malah, mereka yang menyesuaikan kultur orang sana (Jakarta dan Jawa Barat). Jadi mereka menyesuaikan dengan bahasa Indonesia, terus akhirnya pakai lo-gua, itu sih yang aku rasain,” lanjut Ilham.
Ilham sendiri mengaku agak terganggu dengan hal itu karena merasa ada yang kurang saja. Dia memberi contoh, misal dia pakai lo-gua, dengan logat Jawa Timurnya yang begitu kental, tentu akan terdengar lucu dan aneh.
Universitas Brawijaya lo-gue bukan tanpa sebab
Fenomena ini sebenarnya tak luput dari pandangan orang Jakarta yang kuliah di UB, jelas Ilham. Beberapa kawan Ilham bilang sebenarnya mereka agak risih juga “diikuti”. Bagi Ilham, idealnya, orang-orang luar harusnya ikut belajar bahasa orang lokal.
“Saya sendiri kerap mengingatkan kawan-kawanku kalau harus bisa bahasa Jawa kok, Mas.”
Menurut pengamatan Ilham, fenomena orang Malang asli di Universitas Brawijaya ikut-ikutan ngomong lo-gue ini sebenarnya ada kaitannya dengan Malang yang memang lebih terbuka dengan pendatang. Malang mengubah dirinya, sesuai dengan para pendatang, agar mereka lebih nyaman. Tentu itu bukan tanpa alasan. Sebab, Malang, menurut pengamatan Ilham, bergantung dengan para pendatang.
“Di Malang itu banyak klub baru yang muncul, itu buat siapa coba kalau bukan pendatang? Dan itu selalu rame, Mas.”
Malang, yang memang fleksibel, bisa menyediakan apa yang pendatang inginkan. Dari hiburan, hingga bahasa. Beda dengan kota lain, misalnya Jogja, yang orang-orangnya masih punya identitas kuat yang dipegang, jadi tak ikut-ikutan menyesuaikan pakai lo-gue, misalnya.
Tetap saja, Ilham sendiri menyayangkan hal ini. Seharusnya warga lokal bisa tidak begitu mudah ikut-ikutan berubah sekalipun mereka minoritas. Mereka harusnya bisa bersikap dan tetap memegang identitas mereka, setidaknya dalam perkara bahasa.
Tapi, ada ironi terjadi di sini. Ternyata pendatang bukan tak mau belajar, tapi, dipatahkan semangatnya. Ilham menerangkan, sebenarnya orang pendatang itu ingin belajar bahasa Jawa, tapi, semangatnya dipatahin oleh orang lokal. Dibilang jawanya jelek lah, aneh lah.
“Ngomong-ngomong bahasa Jawa pake nada kurang medok, dikatain.”
Baca halaman selanjutnya
Tak merasa risih
Ajeng (32), salah satu pekerja media di Jakarta, lulusan Universitas Brawijaya pada 2015, mengatakan bahwa fenomena ini pun sudah ada sejak dulu dia kuliah di sana. Sebab, menurut Ajeng, UB jadi tujuan banyak orang Jakarta untuk kuliah. Memang masih banyak orang Malang yang berkuliah di situ, hanya saja lebih banyak mahasiswa perantauan, tak hanya dari Jakarta.
Penggunaan bahasa Jakarta di UB pun juga sudah dia rasakan, seperti yang saya bilang sebelumnya. Dia tidak risih dengan penggunaan bahasa itu. baginya, ya wajar jika orang Jakarta pakai lo-gue di kampus, karena berbicara dengan orang yang pakai bahasa yang sama. Ajeng baru risih jika ada yang merasa superior dengan bahasa tersebut.
Superior yang dimaksud Ajeng adalah saat orang lokal yang justru pakai lo-gue, menghindari pakai bahasa lokal. Meski begitu, mayoritas warga lokal yang dia temui tetap pakai bahasa lokal.
Meski ada fenomena tersebut, Ajeng tak merasa hal tersebut membuat UB punya krisis identitas. Dia tak menampik ada krisis identitas di UB, tapi bukan karena orang Jakarta. Sedari awal, memang jumlah orang Malang asli kalah banyak ketimbang perantauan yang menimba ilmu di kampus tersebut.
“Dan ya kampus mahasiswanya banyak, juga nggak ada matkul budaya atau apa yang membuat mahasiswa terpengaruh identitas Jawa Timuran. Mungkin kalo di Surabaya identitas Jatimnya masih lebih kuat.”
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.