Tenun Lurik Kurnia, Upaya Merawat Warisan 3000 Tahun

Salah satu pekerja di Kain Lurik Kurnia. (Briggita Adelia/Mojok.co)

Berdiri sejak 1962, Tenun Lurik Kurnia sudah melewati 6 dasarwarsa. Konon ini adalah salah satu usaha kain lurik tertua di Yogyakarta yang dikerjakan dengan alat tenun bukan mesin (ATBM).

***

Lurik, sudah ada sejak 3000 tahun silam

Lokasi Tenun Lurik Kurnia berada di Krapyak Wetan No. 133, Panggungharjo, Sewon, Kabupaten Bantul. Dilansir dari disperindag.jogjaprov.go.id, lurik berasal dari Bahasa Jawa “lorek” yang berarti garis-garis dan menggambarkan kesederhanaan.  Sehingga hanya mempunyai satu motif garis-garis horizontal atau vertikal.

Diperkirakan, tenun lurik ada sejak tiga ribu tahun silam. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997), tenun lurik berasal dari pedesaan Jawa. Hal itu terungkap melalui relief di Candi Borobudur, sosok menenun dengan alat tenun gendong.

Dilansir dari Indonesia.go.id, jejak tradisi tenun lurik terekam dalam cerita wayang tertua, Wayang Beber. Mengisahkan kesatria yang melamar putri raja dengan mas kawin alat tenun gendong.

Di Yogya, tenun lurik berkembang di beberapa daerah dan menjadi sentra, seperti Moyudan, Pengkol, Prawirotaman, dan Krapyak. Sentra tenun lurik masih dapat ditemukan sekitar tahun 1970, sebelum akhirnya ditelan industri tekstil modern.

Dibyo Sumarto (almarhum), memutuskan mendirikan Tenun Lurik Kurnia di rumahnya setelah sempat bekerja sebagai buruh tenun di pabrik Danunegaran yang kini sudah berhenti produksi. Dibantu oleh istrinya, Sutidjah, pasangan ini membagi tugas. Ketika Dibyo menenun, maka Sutidjah memintal benang yang akan ditenun.

Tak hanya itu, suami-istri ini bekerja sama menjual hasil kain tenun lurik. Keduanya rela berboncengan dengan motor sejauh tiga puluh kilometer untuk memasarkan demi bertahan hidup dan rasa cinta pada kain tenun lurik. “Memang, cerita yang saya dapat, saat itu sulit untuk menjual, sampai kain tenun lurik menumpuk di rumah,” ungkap Afrian Irfani (28), cucunya.

kain lurik yogyakarta
Pekerja di Tenun Lurik Kurnia tengah bekerja. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Rian, biasa ia dipanggil, dipersiapkan untuk regenerasi Tenun Lurik Kurnia. Walau sebenarnya, saat ini masih dipegang oleh anak-anak Dibyo Sumarto, generasi kedua, yang berjumlah enam orang. Dengan kata lain, pabrik tenun lurik ini dikelola keluarga besar Dibyo.

Sebenarnya, di Krapyak Wetan, ada satu produsen tenun lurik lain bernama Tenun Lurik Dibyo. “Masih keluarga besar, hanya saja sudah mendirikan sendiri,” tambah Rian.

Di antara banyaknya anak muda yang memilih kerja kantoran, Rian yang memiliki latar belakang jurusan komunikasi, merasa sayang jika warisan budaya tidak dilestarikan. “Coba lihat ke belakang pasti akan menemukan pekerja lansia. Bahkan hampir seluruhnya berusia di atas lima puluh tahun. Paling tua adalah Mbah Siswohardjono (85), seorang mantan penenun di Surakarta dan Pedan, Klaten,” kata Rian.

Rian sempat memberikan pelatihan menenun secara gratis kepada warga sekitar. Hanya ada dua anak muda yang tertarik dan sempat bekerja selama tiga bulan, sebelum memutuskan keluarga. Platihan gratis itu, adalah upayanya agar lima sampai 10 tahun mendatang masih ada orang yang menenun dengan ATBM.

Rian baru bergabung di Tenun Lurik Kurnia pada 2017. Ia mulai dari belajar membuat dan menghitung motif. Misalnya, dalam satu kain, memerlukan benang warna merah berapa, hijau berapa, memantau mulai dari proses pewarnaan, sampai menjadi kain tenun lurik. Sesekali mencoba menenun. 

“Kata penenun lain, hasil kain tenun lurik milik saya rusak karena gedukan terlalu kuat,” katanya.

Menurut Rian, setiap penenun, punya karakter kain tenun lurik berbeda. Ketika saya diajak berkeliling, terlihat para lansia sedang sibuk bekerja. Dak duk dak duk, suara yang masuk di telinga, ketika tangan terampil mereka dan kaki selaras menggerakkan alat tenun. Kurang lebih ada 25 penenun di Tenun Lurik Kurnia sedang total semua pegawai, termasuk bagian pewarnaan, pemintalan, penjaga toko, mencapai 50 orang.

Proses panjang membuat kain lurik

Proses membuat tenun lurik cukup panjang, dimulai dari benang sampai kain. Pertama harus dilakukan pewarnaan benang mentah, kemudian penjemuran satu hari, pemintalan, pembuatan motif, baru mulai ditenun. Rian mengaku komunikasi dengan pekerja usia lanjut lebih sulit. Namun, ia punya strategi. “Kalau ada penenun yang minta kain motif terang, karena mungkin sudah rabun, maka diberikan sesuai kemampuannya untuk memudahkan dan tidak membebani mereka,” ungkapnya.

Seorang pekerja sepuh di Tenun Lurik Kurnia. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Para pekerja Tenun Lurik Kurnia berstatus buruh harian lepas. Rian sering kali mengatakan jika bisa lebih dari 30 meter dalam seminggu, maka bayarannya ditambah. “Selama ini pembayaran rutin hari Sabtu, nominal tidak bisa disebutkan,” ungkapnya.

Bukan tak ingin mengikat, hanya saja Rian paham pekerjanya memiliki prioritas lain. Seperti, saat sedang musim panen, para pekerja akan memilih pergi ke sawah di pagi hari dan baru menenun saat siang. Begitu pun ketika ada hajatan, para pekerja memilih rewang.

Dari kacamata Rian, dalam waktu delapan jam seorang penenun bisa menghasilkan 10 meter. Namun, ada juga yang sehari hanya bisa menghasilkan lima meter kain tenun lurik karena terlalu banyak istirahat.

Jika dulu, pekerja Tenun Lurik Kurnia menggunakan sepeda karena jarak tempuh dekat, sekitar Tegalgendu dan Kotagede, kini beberapa menggunakan motor karena berasal dari Selarong dan Bangunjiwo. Selain itu, alat tenun bukan mesin terbagi menjadi dua. “Kalau di sini ukuran 70 sentimeter. Sedangkan di rumah warga 110 sentimeter,” ungkap Rian.

Keputusan memberikan ATBM di rumah warga karena ada yang masih ingin bekerja sebagai penenun. Namun, jarak rumahnya terlalu jauh. Seminggu sekali, para penenun itu mengantarkan kain tenun lurik dan mengambil benang untuk kembali diolah. Menurut Rian jumlahnya di pabrik 22 orang dan di rumah 10 orang. Dalam satu bulan, Tenun Lurik Kurnia mampu menghasilkan 2.500-3.000 meter kain.

Punya label Bulan Purnama

Jika Tenun Lurik Kurnia digunakan sebagai nama pabrik, maka pada kemasan diberi label Bulan Purnama. “Dulu ada kertas cap di tenun luriknya,” ungkap Rian. Harga yang ditawarkan untuk lebar 70 sentimeter adalah Rp37 ribu dan untuk 110 sentimeter adalah Rp55 ribu.

Menurut Rian, Tenun Lurik Kurnia ramai diburu pembeli sekitar tahun 1998. Langganan yang selalu menjalin kerja sama setiap dua tahun adalah Yayasan Tarakanita, membuat seragam kotak-kotak warna merah-hitam, dan Abdi Dalem Kraton Yogya membuat motif Telupat. 

Rian, penerus Tenun Lurik Kurnia. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Tenun lurik sarat akan makna. Dibagi menjadi dua yaitu klasik dan kontemporer. Biasanya, tenun lurik klasik berasal dari Kraton Yogya dan mempunyai nilai filosofis, misalnya untuk Prajurit Jogokaryan, Prajurit Patangpuluhan, memiliki motif berbeda. Telupat, yang digunakan oleh abdi dalem, dipopulerkan pada masyarakat, namun ketika berkunjung ke Kraton Yogya tidak boleh digunakan. Sedangkan, motif kontemporer, bikinan sendiri, digunakan untuk memenuhi pasar.

Hasil yang dibuat dengan alat tenun bukan mesin tentu berbeda dengan printing. Konsekuensinya, kain tenun lurik tradisional memiliki harga setengah kali lebih tinggi. Bila Rp100 ribu bisa digunakan membuat pakaian pada printing, maka tenun lurik tradisional hanya mendapat kain.

Memilih motif tenun lurik harus memperhatikan bentuk tubuh. Jika tubuh besar, maka pilihlah motif garis membujur yang kecil-kecil. Sedangkan garis melintang membuat tubuh terlihat lebih besar.

Hal itu tentu berbeda dengan motif kraton yang memiliki pakem. Seperti Raja tidak boleh menggunakan tenun lurik, sedangkan Pangeran hanya boleh motif tertentu saja. Para pekerja Tenun Lurik Kurnia harus menyelesaikan motif dalam waktu satu bulan. Kurang lebih seratus meter.

Setiap minggu selalu ada motif baru. Namun, tidak ada ciri khas motif dari Tenun Lurik Kurnia. Pasalnya, baru dua bulan, biasanya sudah ada duplikat dari tenun lurik mesin. Padahal jika dilihat mata orang yang paham kain, pewarnaan keduanya terlihat berbeda, lebih matang tenun lurik tradisional.

Pada tahun 2006, gempa melanda Yogya, mengakibatkan bangunan toko dan beberapa tembok tempat menenun runtuh. Bangunan toko kemudian berpindah di ruangan sisi rumah yang tidak terpakai.

Sutidjah meninggal pada tahun 2000 hampir membuat Dibyo patah arang. Pamor Lurik Kurnia menurun. Dibyo, meninggal tahun 2008, setelah itu Tenun Lurik Kurnia dipegang oleh anak-anaknya. Dua tahun berselang, seorang desainer ternama, Lulu Lutfi Labibi, menawarkan kerja sama dan mengangkat tenun lurik di kancah nasional. Saat itu kembali ramai pelanggan.

Sebagian besar pelanggan berasal dari Jakarta dan Jawa Timur. Jika sebelumnya hanya digunakan orang pada acara penting, kini desainer lokal mulai menyisipkan tenun lurik dalam baju bikinan mereka. Bahkan merambah pada kalangan artis dan desainer mancanegara. “Artis ada Rano Karno dan Widi Mulia. Desainer ada Edward Hutabarat,” ungkap Rian.

Tidak lupa, Rian bersyukur dengan kebijakan di DIY yaitu penerapan hari Kamis Pahing dan Selasa Pon untuk menggunakan pakaian adat, desa dengan prajurit, dan jemparingan. Hal itu menjadikan banyak instansi dan desa yang pesan di Tenun Lurik Kurnia.

Menjadi tantangan bagi Rian ketika Tenun Lurik Kurnia ramai, namun stok sedang sedikit. Terlebih jika banyak pesanan. Salah satu, motif inovasi baru adalah motif gerimis. Pembuatannya dengan cara benang putih ditutup dengan talenan kemudian dicelup pada pewarna.

Jika dulu membuat motif harus menggunakan bambu untuk menghitung jumlah benang, kini bisa dengan Corel Draw. Bahkan, Rian sering mengawang untuk menentukan motif. Rata-rata satu motif membutuhkan seratus helai benang. Butuh setengah hari untuk menaikkan satu buah motif siap ditenun.

Tenun Lurik Kurnia yang sudah dalam bentuk pakaian. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Berbicara spesifikasi, benang di Tenun Lurik Kurnia menggunakan katun. Meski demikian, Rian terbuka dengan masukan pelanggannya. “Pernah ada yang datang dan minta dibuatkan dengan jenis benang berbeda, akhirnya sharing ilmu” ungkap Rian.

Masa pandemi, genjot jualan online

Keunggulan alat tenun bukan mesin adalah kain lebih tebal dan awet. Sampai saat ini, Rian tidak pernah berpikir meninggalkan pembuatan tenun lurik secara tradisional. Menurutnya ini sebuah ciri khas yang harus dijaga. Malah, ia sengaja membuka tempat pembuatan Tenun Lurik Kurnia sebagai tempat wisata edukasi yang bisa didatangi oleh masyarakat umum.

“Sebenarnya, jika tahu celah produksi tenun lurik, ini merupakan prospek usaha yang bagus,” ungkap Rian. Pasalnya tenun lurik bisa menjadi beragam model sesuai kreativitas. Selama ini, motif klasik cenderung berwarna hitam, cokelat, dan kuning. Namun sekarang sudah ada padu padan warna dan kombinasi kain tenun polosan.

Sejak tahun 2015, Tenun Lurik Kurnia menampilkan inovasi baru pakaian dan cendera mata. Surjan berkisar Rp200 ribu, dress paling mahal Rp300 ribu dan baju anak-anak dipatok Rp100 ribu. Sedangkan cendera mata pashmina seharga Rp35 ribu dan tas mulai dari Rp130 ribu,.

Selain itu, masih ada kipas tangan, gantungan kunci, mukena, dompet, dan ikat rambut. “Awal mula karena ada pelanggan datang, tidak cari kain tapi ingin yang sudah jadi,” beber Rian.

Selama ini, Rian mempertahankan kerja sama dengan warga sekitar. Penjahit pakaian dan perajin cendera mata berbahan tenun juga tetangga. Biasanya ia cukup memberikan desain. Hal itu untuk menjaga relasi yang sudah terbangun.

Pandemi Covid-19 pun sempat membuat pendapatan Tenun Lurik Kurnia menurun. Jika biasanya setiap akhir tahun banyak yang datang untuk belanja, di masa pandemi Covid-19 harus mulai menguatkan penjualan online. “Kita buka hari Senin sampai Sabtu, kalau Minggu libur,” ungkap Rian. Meski demikian, ia bersyukur banyak ilmu komunikasi yang didapatkan, seperti perbedaan cara komunikasi dengan pekerja dan pelanggan.

Penjualan Tenun Lurik Kurnia melejit berkat Instagram, Facebook, dan Shopee. Beberapa desainer yang berjualan baju kombinasi tenun lurik di market place mulai memesan kain di Tenun Lurik Kurnia. Hal itu membuat Rian berpikir keras menguatkan produksinya.

Rian yang juga bekerja sebagai freelance weeding mengaku bahwa menggunakan alat tenun bukan mesin memang memerlukan waktu yang lebih panjang dibandingkan printing. Bahkan, sementara ini ekspor ke luar negeri hanya oleh-oleh dan sesekali permintaan dari Mesir.

Salah seorang pengunjung, Dinastri Klara (27), kepada Mojok mengungkapkan, pertama kali mengunjungi Tenun Lurik Kurnia lima tahun yang lalu. Berasal dari Bandung, ia yang saat itu sedang liburan menemukan tempat penjualan tenun lurik ini melalui penelusuran di internet.

Menurutnya, para pekerja di Tenun Lurik Kurnia ramah untuk konsultasi. Bahkan, Klara, biasa ia dipanggil, bisa memesan corak yang disukainya. “Sudah tiga kali datang dan belanja, koleksi kain dan baju dari tenun luriknya eye catchy,” pungkasnya.

Reporter : Brigitta Adelia
Editor      : Agung Purwandono

BACA JUGA Lumpia Samijaya, Sensasi Rasa yang Mungkin Hilang dari Malioboro liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version