Para pecinta bus berburu konten untuk dituangkan dalam bentuk foto dan video. Karyanya banyak beredar di media sosial. Tak jarang mereka dapat untung dari konten yang dibuat.
***
Di dalam bus PO. Babad, Yuda Ardiman sibuk memotret penumpang-penumpang di dalam bus. PO. Babad adalah bus spesialis untuk rute menuju Sampar, sebuah daerah kaya akan sumber daya alam namun dalam sepuluh hari belakangan ini terdapat konflik dari kelompok separatis yang ingin Sampar merdeka. Mereka bersitegang dengan tentara yang ditugaskan negara.
Sedang Yuda Ardiman yang berprofesi sebagai jurnalis di sebuah media, juga mencari informasi alasan apa para penumpang-penumpang yang hendak menuju Sampar, padahal sudah tahu daerah tersebut sedang tidak aman. Salah satu penumpang itu adalah Idrus Jihadi, pemuda bermuka kepuh yang merupakan anggota LSM non-profit. LSM tersebut membantu penduduk Sampar dari bentrok sipil. Idrus hendak ke Sampar karena teman-temannya di LSM hilang tanpa sebab di sana.
“Kalau mau diangkat jadi berita, gue bisa bantu,” kata Yuda Ardiman kepada Idrus seraya berbisik, di dalam sebuah bus malam yang terus melaju menuju perbatasan Sampar yang dijaga ketat oleh aparat. Belum selesai diwawancarai lebih detil, Idrus menangis. Katanya, diangkat ke media pun percuma, tentara terlalu licin untuk memberangus informasi yang hilir mudik di Sampar.
Cerita di atas merupakan cuplikan sebuah film berjudul Night Bus (2017) yang memenangkan Piala Citra 2017. Sebuah film yang menggambarkan perjalanan sebuah bus yang membawa penumpang dengan maksud pulang kampung namun berubah menjadi perjalanan penuh darah dan desing peluru. Premis film ini amat sederhana, sebuah bus malam. Menjadi megah karena melalui gambaran bus malam, semua cerita bermula.
Nyatanya, bukan hanya Darius Sinathrya dan Teuku Rifnu Wikana—sebagai produser Night Bus—saja yang menganggap bus menjadi tema yang amat seksi. Ada juga beberapa orang yang menganggap bus menjadi sumber sebuah kisah perjalanan hidup, impian sejak kecil, estetika, bahkan mata pencaharian. Di tangan orang-orang ini, bus menjadi naik kelas dengan konten-konten yang mereka buat.
Berburu foto bus di jalanan ekstrem Sumatra
Di salah satu rest area Muaro Takung, Kamang Baru, Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat, Yuda Destiawan (23) berjalan terburu-buru. Langkahnya berpacu bersama kawan-kawannya. Serombongan bus akan masuk ke dalam rest area. Moncong kamera Nikon D5300 diarahkan untuk membidik objek sebaik mungkin. Yuda tak akan melewatkan kesempatan untuk mengambil gambar primadona-primadona Sumatra ini.
Beberapa potret bus ANS, ALS, Sembodo, Merah Sari, dan beberapa bus tipe pariwisata ia dapatkan dengan sempurna. Peluh yang menetes dan capek di bagian punggung karena beberapa jam menungging untuk mendapatkan hasil potret terbaik, langsung sirna setelah ia melihat hasil tangkapan kamera. Yuda tersenyum puas. Lalu, memamerkan hasil tangkapannya ke beberapa kawannya.
Rumah Makan Palapa di Kabupaten Sijunjung memang jadi rest area favorit bus yang mentas melalui Jalan Lintas Sumatra. Jalanan yang berkelok mulai dari SMP Negeri 5 Pulau Punjung sampai ke Taman Terminal Kiliran Jao menjadi spot favorit bagi Yuda dan kawan-kawan untuk hunting foto bus. “Kami nggak punya semacam komunitas karena jauh dari kota. Kami ya sekumpulan orang yang suka hunting foto bus aja,” katanya.
Dalam obrolan kami, Yuda beberapa kali menyinggung bahwa tol di Sumatra yang tujuannya menuju Jawa, sebagian besar memfasilitasi bagian utara pulau saja. Menurut keterangan Yuda, yang sudah bisa dikatakan sempurna itu bagian Sumatra Selatan dan Lampung. Tol-tol itu melintasi Jambi, Pekanbaru, sampai Dumai. Lantas ke Tebingtinggi. “Tidak melewati tempat tinggal saya,” kata Yuda.
Jalan Lintas Sumatra lah yang melintas daerahnya. Jalan itu adalah rute yang dipilih untuk bus-bus yang hendak mencari penumpang di Padang, Bukittinggi, dan menuju ke Sibolga. Jalanan ini, khas rute pegunungan yang banyak kelok dan juga tanjakan dan turunan yang curam.
Sebagai pemuda yang tinggal di Kabupaten Sinjunjung yang ia sebut “jauh dari kota”, Yuda tak sepenuhnya merasa nelangsa. Karena daerahnya tidak dilalui tol secara langsung, Rumah Makan Palapa yang notabene dekat dengan rumahnya menjadi lajur sutra bus-bus untuk beristirahat. “Sejak 2018, saya melihat bus di sini. Rasanya keren sekali karena mereka mau lewat daerah jauh dari kota,” ujarnya.
Pencarian Yuda tidak hanya berhenti di rest area Rumah Makan Palapa. Bahkan ia juga sering mengunjungi Batang Pamo, Sunga Lasi, Kabupaten Solok, Sumatra Barat. Di jalanan Batang Pamo tersebut memang sering menjadi tempat berkumpul para pecinta bus. Entah untuk sekadar ngobrol, membuat konten YouTube, atau seperti Yuda yang hunting foto bus.
Tipikal jalanan di Batang Pamo ini unik. Jalanan yang tidak rata, kadang membuat bus yang melaju dengan kecepatan tinggi seperti sedang njundil. “Makanya jalanan ini disebut Spot Jumping Batang Pamo karena banyak bus yang seperti sedang jumping,” jelas Yuda.
Jalanan di Sumatra Barat memang tidak bisa seutuhnya dikatakan buruk, namun menurut Yuda masih banyak titik-titik yang kelewat ekstrem untuk dilalui bus. Yuda sengaja memilih spot foto dengan tikungan curam, tanjakan tinggi, dan jalanan yang berlubang serta rusak. Katanya, hatinya turut serta berdebar ketika bus-bus itu melewati rute sulit. Ketika ditangkap menggunakan kamera, kepuasannya jadi berlipat-lipat.
Yuda menaikkan hasil fotonya di berbagai komunitas grup di Facebook. “Kebanyakan aku share ke grup ANS Mania, ALS Mania, PO. Naikilah Perusahaan Minang Mania, dan lain-lain,” katanya. Yuda belum sempat berpikir hobinya akan ia putar menjadi rupiah, karena menurutnya hunting foto bus baru sekedar memuaskan hasrat gemar melihat bus sejak kecil saja.
ALS Mania: grup Facebook berbagi informasi sekaligus mencari rezeki
“Alhamdulillah mendarat dengan selamat ALS 103 Labasta di pool ALS Bogor.”
“ALS 153 Executive Class besok Sabtu 12 Februari 2022 jam 10 pagi berangkat dari Medan menuju Jakarta. Yang mau ikut, inbox aja, saudara.”
“Membawa rombongan TNI ke Jakarta dari Medan. Semoga lancar.”
Di atas merupakan beberapa cuplikan postingan di sebuah grup berisi 134 ribu orang pecinta PO. Antar Lintas Sumatra atau yang biasa disebut ALS. Grup Facebook yang tidak hanya bertukar informasi dan juga foto-foto bus kesayangan mereka, namun juga berbagi rejeki antara penumpang dan kru bus. Tidak jarang di antara mereka yang memposting begini, “Dari Padang ke Jogja untuk paket, berapa ongkosnya dan kapan ALS lewat Lubuk Begalung?” Lantas kru terkait saling membalas dan menawarkan jasa mereka.
Memang kondisi di atas tidak spesial-spesial amat menengok kian maraknya aplikasi yang menyediakan layanan untuk naik bus. Namun di sudut Sumatra sana, berbagi informasi kedatangan bus di grup Facebook itu lebih penting ketimbang ongkos potongan promo di perusahaan rintisan penyedia jasa ticketing bus.
Ada satu segmen penting lagi yang sering bercokol di grup Pecinta ALS, yakni mereka yang menunggu kedatangan kendaraan kesayangan untuk dipotret atau dijadikan konten. Mereka biasanya menunggu di spot hunting tertentu, jika lelah menunggu dengan ketidakpastian seperti gebetanmu itu, mereka akan memposting dengan template begini, “ALS 153 lewat Pasar Muara Bungo sekitar jam berapa?”
Bus ALS dengan nomer seri tertentu memiliki banyak julukan yang unik-unik di mata para ALS Mania. Semisal contohnya ALS 258 itu “Semata Wayang”, ALS 309 itu “Aktor Jember”, ALS 041 itu “King of Klender”, dan ALS 031 adalah “Paris van Java”. Kebanyakan dari mereka juga akan memposting dengan menyebut nama julukannya. Misalnya, “Aktor Jember sampai ke Kudus sekitar jam berapa, Lur?”
Ichsan Matondang (26), admin grup ALS Mania menjelaskan bahwa grup ini dibuat sejak tahun 2011. Tak ada alasan lain selain mewadahi segala informasi tentang bus ALS. Ichsan yang juga merupakan kru kabin dari ALS 153 rute Medan ke Jakarta mengatakan, “Banyaknya anggota grup ini dikarenakan ALS sudah menemani rute Sumatra-Jawa sejak tahun 1966. Sudah 55 tahun.”
Di samping arus informasi, Richard Bolaang, salah satu anggota grup ALS Mania punya alasan yang lebih sentimentil. Richard mengatakan bahwa di tempat ini, kecintaannya terhadap bus—terutama ALS—seperti tidak bertepuk sebelah tangan. “Aku merasa nggak sendirian suka sama bus,” katanya.
Para YouTuber pencari konten tentang bus
Ahmad Wildani (22) nampak berkeringat ketika sampai di Terminal Giwangan, Yogyakarta. Ia menyiapkan kamera andalannya untuk nge-vlog. Di depan sebuah bus bertipe suites class dari PO. Tami Jaya, ia menarik napas sebentar, melihat kondisi kamera depan ponselnya, lalu ia mulai nge-vlog untuk mengisi konten kanal YouTube Ahmad Wildani yang sampai liputan ini diketik, mencapai 408 ribu subscriber.
Ahmad Wildani saat itu sedang menuju Bali menggunakan Tami Jaya keluaran terbaru dengan sleeper suites class untuk rute Jogja-Denpasar. Video yang ia buat, kini sudah ditonton sebanyak 6 juta pasang mata. Ketika ditanya apakah itu perjalanannya yang paling jauh, ia mengatakan bahwa ada yang lebih jauh, lama, dan melelahkan lagi.
Laki-laki yang memulai nge-YouTube sejak lima tahun yang lalu ini menceritakan perjalanan selama 27 hari tanpa pulang ke rumah, hanya untuk menjelajahi Kalimatan dan berburu bus. Ia bercerita, “Dari Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, terus terakhir di Kalimantan Utara.” Wildan tidak sepenuhnya naik bus, namun ia campur dengan menggunakan kapal dan pesawat.
Sebelum memulai perjalanan dan membuat konten tentang bus, Wildan selalu menyempatkan diri untuk survei. Mulai dari bus apa saja yang ada di daerah tersebut, jadwal, tarif, dan sebisa mungkin menghindari calo. Untuk perjalanannya menjelajahi Kalimantan biaya yang dihabiskan sebesar Rp9 Juta.
Wildan dalam obrolan singkat karena kesibukannya menceritakan bahwa jalanan di Kalimantan sebagian besar cenderung sepi dan melewati banyak hutan. “Sebagian jalan masih belum bagus. Bahkan ada rute bus yang lewat jalan sawit,” katanya.
Fandi Ahmad Amr (21), YouTuber bus yang memiliki subscriber sebanyak 39,1 ribu sejak liputan ini diketik punya alasan menarik ketika ditanya kenapa ia suka sekali bus. Fandi ketika kelas 4 SD, pulang kampung bersama ibunya menggunakan PO. Sinar Jaya. Sejak itulah ia menyukai bus. “Ketika mandi, ada ember, aku sering pura-pura jadi supir bus. Seneng e pol,” ceritanya dengan semringah.
Laki-laki yang mengidolakan Om Khaliq, pawang PO. Haryanto 505 dengan julukan “New Tattoo” ini bercerita, ia mulai membuat konten ketika terjebak lampu merah exit tol Weleri. Selama menunggu berubahnya lampu merah menjadi hijau, ia terpukau dengan rentetan bus yang mentas di sana, dengan kemerlip lampu andalan masing-masing yang menyala ketika malam.
Konten-konten Fandi Ahmad Amr yang saya suka adalah bagaimana ia berburu bus ketika malam. Lantas ia menjelaskan satu per satu bus tersebut dari perusahaan otobus apa, seri berapa, julukannya apa, sasisnya bagaimana, dan juga siapa driver-nya.
“Aku lho ketika ngonten di pinggir jalan sesudah hujan, tiba-tiba dicipratin bus yang lewat,” katanya. Jelas ia tidak marah, justru menambah keakraban dengan para supir dan kru tersebut walau hanya sepintas lalu mereka melewati exit tol Weleri.
Baik Ahmad Wildani maupun Fandi Ahmad Amr, kini memiliki rencana ke depannya untuk membuat konten-konten yang lebih menarik. Dua anak muda ini, berhasil mengemas sebuah konten bertema bus dari yang semula terasa katrok dan ndeso, menjadi petualangan yang seru sekaligus hobi yang menghasilkan.
Fandi Ahmad Amr yang minggu lalu menyempatkan diri ke Jogja dari Kendal, ketika ditanya penghasilan dari nge-YouTube berapa, dengan gaya malu-malu khas pemuda Jawa Tengah ia berkata, “Gak banyak, tapi bisa untuk bayar kuliah.”
Tidak seperti kereta dan pesawat yang cenderung sunyi, bus adalah transportasi yang selalu ceria dan paham akan suasana hati penumpangnya. Melalui musik-musik yang mereka putar dalam perjalanan, bus seakan paham perasaan penumpangnya. Entah sedang gundah gulana hendak pulang ke kampung halaman karena di kota rantau hancur-hancuran, atau malah hati yang berdebar karena akan bertemu kekasih pujaan di sana. Sedang musik dalam kabin bus terus berputar, merayap masuk ke telinga dan membuat suasana kian syahdu dan menguatkan: Sewo kuto uwis tak liwati, sewu ati tak takoni, nanging kabeh, podo rangerteni, lungamu neng endi.
Reporter: Gusti Aditya
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Cerita dari Mereka yang Memilih Bus ALS untuk Membelah Jawa dan Sumatera dan liputan menarik lainnya di Susul.