Di Surabaya, masih banyak dijumpai banyak tukang becak. Sebagian besar mereka berasal dari luar kota. Mendaku sebagai orang kaya, keberadaannya mudah dijumpai di seputaran kawasan Stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya.
***
Becak pernah berjaya di Surabaya
Tukang becak di Surabaya pernah mengalami masa kejayaaan. Saya kembali mendapat kesempatan berkumpul dengan kawan-kawan Historie Van Soerabaja (HVS), yang baru saja syukuran setelah menyelenggarakan peringatan 10 November di satu gang daerah Kranggan, Surabaya.
Pak Bandi (57) yang kebetulan ikut cangkruk di situ menceritakan riwayat hidup ayahnya yang berprofesi sebagai tukang becak. “Dulu, Surabaya banyak becak Mas, sekitar tahun 1980 ketika saya masih SMP. Saking banyaknya, waktu operasi sampai dibagi dua. Becak putih beroperasi malam, becak biru beroperasi siang.”
Pak Bandi lantas mengeluarkan STNK becak punya ayahnya yang kini sudah berpindah tangan menjadi miliknya. “1972 ini tahun produksinya Mas. Bapak saya yang beli.”
“Pengemudi becak juga punya SIM sendiri Mas, SIM D. Itu bapak saya yang mengalami, saya sudah nggak,” ujar Pak Bandi.
Cak Wawan (40), ketua HVS pun ikut berpendapat. “Dulu becak ada pajaknya kayak motor, waktu itu radio pun ada pajaknya. Bahwa becak diatur seperti itu, menandakan kalau populasi becak pada waktu itu memang banyak. Kedua, dia punya nilai ekonomis sehingga sampai ada pajaknya. Berarti penghasilannya bisa dilihat, itu kan yang kerja di kantor pajak ada risetnya.”
Saking populernya becak, Cak Wawan masih ingat kalau dulu sekitar 1990-an pernah ada lomba freestyle becak. Bekas usaha servis becak di Bubutan pun juga masih ada.
Pak Bandi pun kembali nimbrung: “Di sekitar tahun 1970 sampai 1980-an kalau becak malam jalan siang, bisa langsung digembosi, Mas.”
Mas Taufik (38), salah satu anggota HVS yang ada di situ pun ikut bertanya: “Biru sama putih itu berlaku di Surabaya saja atau satu Jawa Timur Pak?”
“Khusus Surabaya saja, Mas,” ujar Pak Bandi.
Warna putih dan biru itu melekat ke seluruh rangka becak. Becak yang beroperasi di Surabaya pun waktu itu juga wajib memakai plat nomor, dengan kode “SB” sebelum kode nomor.
“Apa ada uji KIR Pak?” Celetuk Mas Taufik sembari terkekeh, suara tawa anggota HVS pun meletus. Mengiringi jawaban Pak Bandi yang mengaku tidak tahu. Saat itu kami berpendapat jika tidak ada uji KIR untuk becak, memang buat apa?
Ketika menelusuri literatur tentang becak Surabaya, saya menemukan skripsi yang ditulis oleh Eva Maulina (2006) berjudul Becak di Surabaya 1945-1975, tertera beberapa peraturan di akhir masa kejayaan becak. Pertama, Surat Keputusan Walikota Kotamadya Surabaya No. 260/WK tanggal 11 Juli 1974 tentang pencabutan izin tempat usaha/ produksi becak.
Peraturan kedua, Surat Keputusan Walikota Kotamadya Surabaya No. 438/WK tentang ketentuan yang menetapkan pemilahan waktu operasi becak, ⅔ jumlah becak yang ada beroperasi pada siang hari yakni pada jam 06.00-18.00, ⅓ untuk becak malam, yakni beroperasi pada jam 10.00-06.00.
Ketiga, ternyata pendapat kami tentang uji KIR itu salah, tertulis Perda No. 5 tahun 1978 tentang KIR becak, dimana becak yang dinilai sudah aus dilarang untuk dioperasikan. Sia-sia gelak tawa saya kemarin, kini saya harus menelan ludah sendiri.
“Dalam hal pendapatan, waktu itu profesi sebagai tukang becak cukup bisa diandalkan. Bisa menyekolahkan anak lah. Memenuhi keperluan makan juga. Berbeda dengan sekarang,” ujar Cak Wawan yang diiyakan Pak Bandi.
Pendapatan tukang becak Surabaya kini
Seminggu sebelum berbincang dengan kawan-kawan HVS, saya menemui beberapa tukang becak di Surabaya. Saya mengamati tukang becak yang lalu lalang di depan kampus saya, Kampus A Unair. Terbesit pemikiran liar: Jika selama ini saya seringkali melihat mereka duduk sampai tiduran di atas becak hingga larut malam, lantas dimana mereka tidur? Di rumah kah? Kost kah? Atau mereka punya lokasi tersendiri untuk beristirahat di kerasnya kehidupan kota Surabaya?
Entah, nampaknya pertanyaan itu tidak akan terjawab tanpa saya sendiri pergi bertanya ke sana.
Bapak itu sedang tertidur pulas di atas becak yang terparkir rapi di Jalan Pacarkeling Surabaya. Awalnya saya ragu, sembari mengucap maaf, saya memberanikan diri membangunkan beliau.
Namanya Pak Eko (59), asal Madiun. Lantas saya menanyakan keluarga beliau dimana.
“Di dusun Mas, di Madiun sana.” Pak Eko memiliki satu istri dan enam anak. Syukur tiga anak pertamanya sudah bekerja, namun perjalanan beliau masih panjang karena anak terkecilnya masih kelas 4 SD.
“Sejak kapan mbecak di Surabaya Pak?” Tanya tanya sembari menengok kiri dan kanan memastikan lokasi ini aman dari kendaraan yang berlalu lalang.
“Tahun 1994 Mas.” Sebelumnya, Pak Eko sebelumnya pernah bekerja sebagai penjual nasi goreng, menggarap tanah di Lampung, sampai menjadi kuli bangunan. Menurutnya, profesi yang telah digeluti selama 24 tahun ini adalah yang paling cocok.
Becak yang ditunggangi sekarang adalah becak sewaan dari Karangasem. Harga sewa dalam satu hari senilai 5.000 rupiah. Dalam urusan sewa becak, beliau mengaku tiap dua minggu sekali harus ke bosnya untuk memberikan setoran sekalian cek kondisi becak.
Pak Eko mengatakan jika pendapatan turun drastis ketika ada Covid. Cukup jauh, hampir separuh. Hari-hari seperti ini, beliau paling banyak bisa dapat 100.000 rupiah kotor dengan makan, minum, dan setoran. Selain itu, beliau juga harus menabung untuk keperluan di rumah. “Buat ngopi sama beli air minum saja susah. Kadang kalau ada rejeki, baru bisa beli Aqua botol itu Mas.”
Walaupun sekarang keadaan para tukang becak kurang menguntungkan, namun beliau masih ingat kalau dulu pendapatannya cukup lumayan. Sekitar tahun 1997 sampai 2000-an awal, beliau pernah dapat uang sampai 250 ribu rupiah sehari. Bahkan dua minggu sekali ketika pulang, beliau bisa membawa uang satu juta rupiah.
Kini, Pak Eko sehari-hari hanya narik sekitar satu sampai tiga kali. “Nggak pasti Mas, kadang juga nggak ada,” katanya. Seingat beliau, tahun-tahun mulai sepi penumpang dimulai sejak 2010 ke atas. Sekarang kalau pulang ke Madiun, Pak Eko paling banter hanya bisa bawa 400 atau 500 ribu rupiah sebulan. “Nggak pasti Mas,” pungkasnya.
Dalam menanggapi saingan dalam moda transportasi, rupanya beliau juga sadar kalau posisinya kini sudah tergeser oleh ojek online dan angkutan modern lainnya.
***
Tidak puas dengan jawaban Pak Eko, saya lanjut mencari narasumber lain yang waktu itu sedang mangkal di depan Kampus A Unair. Ketika saya datang, beliau sedang lelap dengan kain hitam menutup matanya.
Nama beliau Slamet (65) asal Sendang, Tulungagung. Beliau sudah mancal becak sejak tahun 2000. Sebelumnya Pak Slamet berprofesi menjadi buruh tani di desa.
“Lha kenapa kok merantau ke Surabaya Pak?”
“Buruh tani penghasilannya lebih tidak pasti Mas. Pendapatannya ikut musim padi. Kalau lagi nggak panen atau tanam ya nganggur. Enak becak, Mas, mesti enek hasile,” terang beliau dengan suara setengah sengau.
Becak yang Pak Slamet pakai sekarang merupakan becak milik beliau sendiri, beliau beli dengan harga Rp400 ribu. “Dulu jelek Mas, ini saya biayai sendiri buat cat dan lainnya.”
Perihal pendapatan, sama seperti Pak Eko, kini pendapatan beliau juga berkurang. Kadang ada, kadang tidak, tidak bisa ditentukan. Jika sedang beruntung, Pak Slamet bisa mengantongi sampai Rp100 ribu, tapi itu sangat jarang. Pun ketika saya memohon beliau menyebutkan nominal rata-rata, beliau malah bingung, karena tak jarang tidak ada penumpang sama sekali.
Beda dengan kondisi dulu, walaupun beliau tidak ada penumpang dari tempat mangkal, namun masih ada penghasilan tetap dari jasa mengantar anak SD dari rumah ke sekolah. Kini, jasa antar dari rumah ke sekolah itu mulai menghilang ketika ojek online sudah marak, apalagi pandemi seperti ini.
Pak Slamet mengatakan kalau berapapun penghasilannya, terkait cukup atau tidak, itu tergantung orangnya. Kalau tidak bisa mengatur keuangan, berapapun hasilnya ya terasa kurang.
Pilih tidur di becak daripada ngekos
Terkait dengan pendapatan Pak Eko, yang untuk kebutuhan sehari-hari saja kurang. Saya mencoba bertanya kepada beliau perihal lokasi beliau untuk tidur. “Saben dinten nopo sare wonten mriki, Pak?” (Setiap hari apa tidur disini, Pak)?
“Iya Mas, daripada ngekos, soalnya kalau kos mahal. Buat ngopi saja nggak ada,” jawab beliau lugu sekaligus lugas.
“Lha Pak, Njenengan kan tidur di atas becak, biasanya mangkalnya dimana?” Saya lanjut bertanya.
“Di Pasar Turi sana Mas.” Pak Eko memilih disana karena lokasi tidur yang lain seperti di Kapas Krampung dan Stadion Gelora 10 November relatif lebih ramai. “Sebagian besar tukang becak, PKL, dan para penjual nasi yang tidak punya rumah kumpul di Stadion Gelora 10 November sana Mas.”
Para tukang becak tersebut tidur di pelataran depan Stadion Gelora 10 November dengan menggelar alas seadanya. “Cuman kalau tidur disana kemudian hujan ya harap maklum, daerah Tambaksari kan gampang banjir Mas. Kalau saya sendiri, lebih enak tidur di atas becak, terserah mangkal dimana,” terang Pak Eko sambil mengusap kepalanya.
“Kalau jam-jam masih sore kayak gini, lapangannya dipakai jualan orang banyak Mas. Nanti malam kalau sudah sepi, baru tukang becak datang berbondong-bondong ke sana.” Waktu itu memang masih menunjukan pukul delapan malam.
Sedangkan Pak Slamet, beliau relatif berpindah-pindah. Kadang di Stadion Gelora, kadang di rumah teman, kadang di depan Kampus A. “Pokok lak kesel ya turu Mas,” ucap beliau, masih dengan suara sengaunya. Sama seperti Pak Edi, Pak Slamet tidak ada pikiran ngekos karena nggak ada uang.
Alasan tukang becak Surabaya itu kaya
Penasaran dengan Stadion Gelora 10 November Surabaya, masih di hari yang sama, pukul dua belas malam saya bergegas ke sana.
Benar saja, becak-becak telah terparkir rapi di sebelah utara pelataran stadion. Tidak banyak, mungkin sekitar 15 sampai 20 buah becak. Sebagian sudah ditinggal tidur pemiliknya, sebagian masih terlihat ditunggangi empunya. Terlihat beberapa tukang becak sedang asyik ngobrol.
Benar seperti kata Pak Eko dan Pak Slamet, di pelataran stadion bapak-bapak tukang becak tengah berbaring di atas alas seadanya. Sebagian memakai sarung kumal sebagai selimut, beberapa memakai kupluk untuk melindungi kepalanya.
Sembari menyeruput kopi dari warung kopi gerobakan sebelah utara Stadion Gelora, saya ngobrol dengan Pak Ambon (55). Seorang tukang becak yang puluhan tahun juga tidur di sini.
Perawakan beliau terlihat berbeda daripada kedua tukang becak yang saya temui sebelumnya. Lebih segar, dan lebih banyak senyum. Di bawah sinar rembulan, saya coba memulai pembicaraan dengan beliau yang juga sedang ngopi.
“Pak, di sini sudah jadi tempat tidurnya tukang becak sejak kapan?”
“Sejak tahun 1945, ini sudah jadi tempat tukang becak, Mas. Sudah lama. Dulu di sini juga jadi saksi sejarah perang Mas. Waktu itu yang ikut perang dari rakyat kecil, ya termasuk tukang-tukang becak ini.”
Dari segi keamanan, Pak Ambon mengatakan kalau stadion ini relatif lebih aman daripada tempat lain. “Lokasi lain kadang ada obrakan, Mas. Ya namanya Surabaya. Tempat perantauan.”
Pak Ambon masih melanjutkan kata-katanya. “Sekarang di sini sepi Mas, padahal dulu kalau tukang becak lagi kumpul, rame kayak pasar malam.”
“Banyak yang pulang ke desa, Mas.” Menurut beliau, becak mulai berkurang sejak kendaraan bermotor populer. “Bukan cuma pekerjaan tukang becak kok Mas, semua pekerjaan juga bergeser.”
Beliau lalu menceritakan kalau Stadion Gelora 10 November Surabaya ini dari dulu memang sudah ramai. Biasanya juga dipakai tempat menyelenggarakan acara macam ulang tahun pemkot, ulang tahun Persebaya, dan sebagainya.
“Kenapa kok mereka nggak ngekos ya Pak?” Pertanyaan yang sama saya keluarkan lagi untuk Pak Ambon, mencoba menggali alasan lain yang mungkin menjadi gambaran baru bagi saya.
“Ya uangnya nggak cukup Mas. Sekarang gini, kalau mereka mau ngekos, supaya nggak rugi, paling nggak ada keluarganya di sini. Kalau mau hidup di Surabaya, ya gotong royong Mas, istri juga kerja. Buat makan sendiri saja lo Mas kadang nggak cukup.” Layaknya jawaban Pak Eko dan Pak Slamet, Pak Ambon kini telah mengklarifikasi jika kebanyakan tukang becak di sini memang keluarganya tinggal di desa.
Mereka kadang pulang ke desa satu sampai dua bulan sekali. “Penghasilan nggak pasti, buat ngekos nggak ada, buat makan kebingungan,” Pak Ambon menceritakan pengalaman beberapa kawannya.
Kata Pak Ambon, sebagian pedagang kaki lima di Surabaya juga ada yang tidur di sini.
“Jangan salah Mas, paling kaya itu tukang becak.” Saya lekas memandang Pak Ambon tajam, apa mungkin tukang becak memang masih begitu menjanjikan.
“Kaya Mas, mereka nggak perlu ngontrak. Ingin tidur di hotel bintang lima ya bisa, di hotel yang ada kolam renang ya bisa. Mereka tinggal parkir di depan, terus gelar tikar. Dimana-mana bisa, Mas,” beliau ngekek meninggalkan muka saya yang kadung berekspektasi. Saya pun ikut tertawa sambil menyeruput kopi yang mulai dingin.
Dalam upaya mencari uang, Pak Ambon mengaku tidak hanya bekerja sebagai tukang becak. “Seadanya Mas, di mebel saya bisa mlitur, nyemprot. Kerja di bangunan juga bisa. Terakhir, saya juga kerja di pemakaman Mas, kadang ya mengantar jenazah. Apalagi waktu rame-ramenya Covid kemarin.”
“Mancal ini buat sambilan saja Mas, njagakno becak tok, ya gak nuntut Mas. Lha anak istri di Pasuruan nunggu kiriman. Alhamdulillah punya keahlian pekerjaan lain,” ujar beliau sembari menyedot batang rokok yang tinggal setengah.
Saya kembali bertanya perihal pendapatan. “Sehari penuh mbecak, dapatnya berapa Pak?”
“Mboten mesti, tergantung rame sepinya Mas.” Jawab Pak Ambon
“Akhir-akhir ini, kalau kerja keras, 300 ribu apa dapat Pak?” Saya masih coba menggali.
Pertanyaan saya disambut gelak tawa kembali. “Loh wkwkwk, terkadang isuk bengi cuma dapat 20 ribu, Mas. Dari pagi nunggu, siang baru dapat. Uangnya kadang buat makan siang wes amblas. Habis itu nunggu sampai sore nggak ada, angop saja Mas di sini, puasa. Terus dapat lagi sore.”
Saya pun melongo, mungkin karena terlalu miris, Pak Eko dan Pak Slamet enggan menceritakan detailnya.
Pak Ambon masih melanjutkan celotehnya. “Dapat 30 ribu saja susah, dapat 50 ribu sehari sudah alhamdulillah, Mas.”
Beberapa saat saya cuma manggut-manggut sambil menggoyang cangkir kopi di genggaman.
“Pemerintah apa nggak ada bantuan Pak?” Sergah saya.
“Pemerintah bantu kalau penduduknya asli Surabaya Mas, kalau pendatang dari luar kota ya nggak dapat Mas. Penduduk Surabaya asli saja kadang malah orang kaya yang dapat, yang kurang punya malah nggak. Apalagi yang merantau dari luar kota kayak saya ini.”
Saya kembali terdiam. Dinginnya malam menjadikan suasana semakin muram, dari kejauhan tampak seorang tukang becak berjalan ke pelataran stadion. Mencari-cari lokasi tidur yang nyaman.
“Halah Mas. Seng penting awak seger waras. Sampean percaya atau tidak. Yang tidur di sini jarang yang sambat sakit. Ngrasakno sehat seger waras semua Mas, padahal makan seadanya, nasi karak, nasi bungkus, apa saja yang ada. Tapi kenapa kok seger waras?” Pertanyaan itu kembali ditujukan ke saya.
“Soale mboten mikir yang nggak-nggak, Mas. Semua wes ada yang ngatur. Walaupun tidur di luar kayak gini yang katanya bisa kena angin duduk. Nggenahe saya mboten. Malah yang kena penyakit orang-orang yang kaya,” ucap beliau sembari nyecek rokoknya.
“Kula mawon tilem mriki nggih mboten kemulan, Mas. Mboten sarungan, baju kadang tak lepas, tapi ya seger waras.” Beliau menutup percakapan, memenuhi panggilan temannya yang sedari tadi menunggu di atas becak yang berjarak sekitar tujuh meter dari tempat saya duduk.
BACA JUGA Kisah Apri dan Arif yang Membuat Aksara Jawa Gaya Jogja dan liputan menarik lainnya di Susul.