Sebagian orang melihat barang-barang bekas, lawas, tidak punya nilai apa-apa. Namun, tidak bagi pemburu dan pedagang barang antik. Dari kecermatan dan ketelitian mereka barang yang dianggap sampah ditaksir dan dijajakan dengan harga tinggi kepada peminatnya. Terdengar menjanjikan, tapi bukan hal yang mudah. Pemburu harta karun ini harus sabar dan jeli. Dan yang pasti, dewi fortuna adalah teman mereka.
***
Pasar Kangen Jogja adalah tempat paling tepat bertemu pedagang barang antik. Acara tahunan yang sempat terhalang pandemi Covid-19 kini telah kembali. Pasar Kangen, seperti namanya, adalah ajang melepas rindu pada masa lalu. Dari jajanan seperti limun, leker, tiwul, sampai makanan bernama tolpit alias kontol kejepit dijajakan di sana.
Tahun ini, Pasar Kangen yang digagas oleh Ong Hari Wahyu diadakan dari tanggal 25 sampai 28 Februari 2022. Namun, melihat animo masyarakat, acara ini diperpanjang sampai 6 Maret 2022. Acara ini diselenggarakan di depan Gedung Depo Arsip, Dinas Perpustakaan DIY atau timur gedung Jogja Expo Center.
Selain kuliner jadul, Pasar Kangen juga diramaikan penjaja barang antik. Mereka memajang barang-barang yang embuh sudah berapa puluh tahun usianya. Plakat iklan sampai koin era kolonialisasi Belanda dijajakan. Bahkan penjualnya juga sering berpenampilan sama jadulnya dengan barang yang mereka jual.
Namun, ada yang menarik perhatian saya di lapak paling tengah Pasar Kangen. Di sana, seorang pemuda duduk sambil menjajakan barang antik mereka. Usia yang jelas lebih muda dari barang dagangan mereka seperti anomali di antara pria tengah baya dan simbah-simbah lainnya.
Di lapak mereka, berjejer banyak barang antik. Dari kamera, korek merek Zippo, sampai potongan film kamera kuno yang disimpan hati-hati. Pemuda ini juga sibuk bercengkerama dengan pedagang dan peminat barang antik lain. Dan jelas, pemuda ini jauh lebih muda dari orang yang berkerumun itu.
Saya pun tertarik pada salah satu barang yang dijual: mikroskop mini. Entah dari mana dapatnya, mikroskop yang diperuntukkan anak-anak ini memang saya inginkan waktu kecil. Saya pun jongkok di depan lapaknya dan segera disapa oleh si pemuda tadi.
“Dulu dapat dari toko bangkrut, mas,” ujar Ferdi (25). Pria gondrong yang masih mengutak-atik korek Zippo tahun 1991 ini menceritakan bagaimana ia tertarik dengan barang antik. Alasannya karena sejak kecil ia telah akrab dengan barang antik di rumahnya.
Sering melihat dan bermain dengan barang antik membuat Ferdi jatuh hati padanya. Ketika beranjak remaja, Ferdi mulai mengoleksi barang-barang antik. Awalnya demi kepuasan pribadi. Namun, melihat potensi bisnis di dalamnya, Ferdi mulai berburu dan berdagang barang antik.
“Sehari-hari aku buka lapak klitikan di PSG (Pasar Seni Gabusan),” ujar Ferdi. Setiap ada event Pasar Kangen, Ferdi langsung meluangkan waktu dan tenaga untuk membuka lapak di sana. Menurut Ferdi, banyak hal baru yang dipelajari ketika berkumpul di Pasar Kangen. Informasi dari sesama penggemar barang antik adalah nilai yang Ferdi cari.
Selain yang sudah disebutkan sebelumnya, lapak Ferdi juga memajang radio tua, turntable beserta piringan hitam, serta beberapa mainan anak. Ada juga kaset pita dan DVD dari band-band punk dan rock era 2000-an. “Lha aku juga suka dengerin kok mas,” ujar Ferdi sambil terkekeh.
Selain mikroskop mini, ada satu barang yang menarik minat saya. Ia berbentuk seperti televisi mini, namun dipenuhi panel-panel yang terkesan asing. Ketika saya tanyakan pada Ferdi, ia ikut bingung seperti saya. “Hambuh mas itu apa. Itu dapat dari tukang rosok. Karena menarik makanya aku angkut (beli),” ujar Ferdi.
Hampir 5 menit kami perhatikan kotak asing itu. Tertulis “GOKO E–1500 DUAL MASTER B, EDITOR VIEWER”. Setelah saya cari di Google, terjawab apa fungsi benda asing tersebut. Fungsinya adalah untuk mengedit rol film yang biasa diputar di bioskop. Saya dan Ferdi pun bersama-sama bilang, “Ooooh”.
Dua tipe peminat barang antik
Ferdi mengaku sering mendapat barang aneh seperti kotak berlayar tadi. Beberapa benar-benar tidak diketahui fungsinya, namun terlihat cantik sebagai pajangan. Menurut Ferdi, peminat barang antik memang terbagi dua: mencari fungsi atau mencari seni dari barang antik tersebut.
“Misal kayak radio itu, kebanyakan yang cari adalah fungsinya mas. Beberapa sampai keluar uang lebih untuk memperbaiki radio jadul,” ujar Ferdi sambil mengikat rambutnya yang mulai terurai. Menurut Ferdi, pencari fungsi ini memang peminat barang antik paling militan. Mereka siap mengeluarkan dana lebih untuk mengembalikan fungsi benda tersebut.
“Kalau yang nyari antiknya, biasanya cuma dipajang tho mas. Jadi yang penting aneh saja bentuknya. Seperti TV itu,” imbuh Ferdi sembari menunjuk editor viewer tadi. Biasanya peminat keindahan barang antik ini lebih sederhana dalam mencari koleksi. Mereka menyampingkan fungsi dan lebih konsumtif.
Untuk mendapatkan barang-barang antik ini, Ferdi harus berburu. Berbeda dengan barang modern yang masih diproduksi, barang antik sudah hilang dari peredaran. Dibutuhkan upaya lebih besar untuk menemukan barang antik yang memiliki nilai jual lebih.
“Kalau paling gampang, aku cari ke tukang rosok mas,” ujar Ferdi.
Menurutnya, tukang rosok tidak terlalu peduli dengan nilai lebih sebuah barang antik. Biasanya mereka menjajakan rosok atas taksiran kiloan. Ferdi biasa mengacak-acak gerobak tukang rosok sambil berharap menemukan barang antik dan bernilai.
Para tukang rosok mengaku lebih senang ketika Ferdi membeli barang. Karena Ferdi membeli barang satuan yang jelas lebih mahal daripada botol atau koran kiloan. “Tapi kan semua itu bejo-bejonan (untung-untungan). Kalau pas rejekinya, ya dapat barang mas,” imbuh Ferdi.
Menanti informasi toko bangkrut dan bongkaran rumah
Dari tukang rosok ini, Ferdi sering mendapat info tentang toko bangkrut dan bongkaran rumah. Bagi Ferdi, inilah momen yang dinanti. Toko kuno yang bangkrut sering menyimpan barang new old stock (NOS) yang sudah tidak diproduksi saat ini. “Salah satunya mikroskop tadi,” ujar Ferdi. Biasanya, stok barang antik dari toko tua yang bangkrut sering lebih dari satu item.
Untuk bongkaran rumah, Ferdi sering menemukan barang-barang suvenir dan perabotan. Beberapa memorabilia seperti foto kuno dan kaset pita sering ditemukan di rumah yang dibongkar atau direnovasi. Kebanyakan pemilik rumah mempersilahkan Ferdi untuk mengambil barang secara gratis. Tapi dengan satu syarat: Ferdi harus membersihkan gudang atau ruangan tempat barang antik tersebut bersemayam.
Bagi Ferdi, perjanjian ini tidak merugikan. Karena dari bersih-bersih ini, Ferdi bisa mendapat barang antik yang bernilai. “Tapi juga bejo-bejonan tadi mas. Kadang sudah membersihkan rumah, tapi nggak dapat satupun barang antik. Yowes dinikmati saja mas,” keluh Ferdi.
Bagi Ferdi, berurusan dengan barang antik sangat kental dengan keberuntungan. Kalau beruntung, bisa mendapat barang antik yang bernilai jutaan rupiah atau lebih. Namun, jika sedang boncos, bisa jadi Ferdi pulang dengan tangan hampa. Tapi Ferdi selalu menikmati proses ini.
Karena bagi Ferdi, kecintaannya pada barang antik membuat ia bisa menikmati proses perburuan ini.
“Dulu pernah mas aku bejo banget. Waktu bongkaran rumah, aku nemu radio tabung. Itu lho, radio yang pakai frame kayu,” ujar Ferdi penuh semangat. Saya yang cukup buta pada urusan radio harus membuka Google kembali. Waktu itu, Ferdi tidak rela untuk menjual radio tabung tersebut. “Tapi ditawar orang dan harganya cocok, yowis aku lepas mas,” ujar Ferdi terkekeh.
Menentukan harga barang antik
Perkara harga, Ferdi juga perlu pintar-pintar menaksir. Karena nilai lebih dari usia dan keindahan, setiap barang antik punya harganya sendiri. Ferdi biasa melihat harga pasaran dari barang antik, terutama yang sifatnya cukup “umum” seperti radio dan kamera. “Kalau barang elektronik, yang penting dilihat merek nya. Kalau merek Cina kayak itu, sudah pasti murah banget. Apalagi ga fungsi,” ujar Ferdi sambil menunjuk onggokan kamera film di lapaknya.
Ferdi mengatakan, barang termurah yang ia jual Rp30 ribu. Barang paling mahal, ia tidak mau menyebutkan, yang jelas harganya jutaan rupiah. Soal harga adalah kesepakatan dari pembeli dengan dirinya. Kalau memang Ferdi melihat nilai barang itu tinggi, maka dengan sendirinya harga yang ditawarkan juga tinggi.
Bagi Ferdi, inilah pentingnya untuk berdiskusi dengan sesama peminat barang antik. Ferdi makin paham nilai sebuah barang antik yang terlihat sepele. Kadang barang yang terlihat biasa saja bisa bernilai mahal karena faktor usia dan sejarah pabriknya. Kadang Ferdi dan beberapa peminat sering melakukan sistem titip jual.
“Misal aku punya barang antik yang susah laku, aku titipkan di lapak orang mas. Terutama lapak yang punya pasar sendiri untuk sebuah barang,” ujar Ferdi. Di lapak Ferdi sendiri ada beberapa korek Zippo dan kamera yang merupakan titipan temannya. Barang titipan teman bernama Rangga ini lebih mudah laku di lapak Ferdi.
Ferdi merasa nyaman dan bahagia menjadi pedagang barang antik. Karena baginya, bisnis ini juga menghidupi hasrat dan kecintaannya pada barang antik. Hobi dari masa kecil ini kini juga menghasilkan pemasukan bagi Ferdi. Dan Ferdi ingin terus menjadi peminat sekaligus pedagang barang antik. “Sudah jatuh cinta, mas,” ujar Ferdi sambil terkekeh.
Matahari mulai turun di ufuk barat. Saya pun berpamitan dengan Ferdi. Dengan semangat mayoni (membeli) di lapak teman baru, saya mulai mencari barang yang menarik minat saya. Mata saya tertuju pada pin bergambar logo band punk. Sangat tidak relevan dengan barang antik yang dijual Ferdi.
“Lha aku suka punk kok, sekalian saja tak jual,” ujar Ferdi sembari menerima uang saya. Yah, apapun yang disukai Ferdi pasti akan menjadi rupiah.
Penulis : Dimas Prabu Yudianto
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Hindu di Kasuran: Peristiwa 65 yang Mengubah Keyakinan liputan menarik lainnya di Susul.