Di Yogyakarta, akhir-akhir ini kerap terlihat musisi jalanan atau pengamen di perempatan jalan yang tidak biasa. Selain menggunakan sound system, mereka rata-rata mengenakan kemeja dan sepatu. Rapi. Kepada Mojok.co, beberapa di antaranya berkisah tentang alasan mereka mengamen di jalan dan impian mereka.
Suprek Sandoro, dari kafe ke perempatan jalan
Suprek, lelaki kelahiran Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah 32 tahun silam itu menyanyikan lagu “Tak Pernah Padam” milik Sandhy Sondoro di perempatan Mirota Kampus (Manna Kampus), Yogyakarta. Ia memang dikenal memiliki nama panggung Suprek Sondoro mengingat kemiripan suaranya dengan Sandhy Sondoro, meski ketika saya mendengarnya bernyanyi, suara Suprek lebih menyerupai suara Judika.
Nyanyian Suprek dilantangkan melalui speaker aktif merek Baretone di sampingnya, diiringi permainan gitar yang jelas di atas rata-rata. Ia begitu menikmati menyanyikan lagu “Tak Pernah Padam”, sementara rekannya bergerak dari satu pengendara ke pengendara lain menyorongkan kotak dari kardus.
Lampu lalu lintas menyala hijau. Kendaraan demi kendaraan mulai melaju meninggalkan perempatan. Sekalipun begitu, Suprek enggan menyudahi lagunya. Ia belum selesai bernyanyi dan berniat menyanyikan lagunya sampai tuntas. Siang yang terik itu, pada 05 Oktober 2021, Suprek bernyanyi dengan penuh khidmat sekalipun tak ada yang melirik ke arahnya sama sekali. Sekalipun tak ada yang mengapresiasi lengkingan tinggi suaranya, pun permainan gitarnya yang sungguh mengagumkan.
Berulang kali lampu hijau berganti merah dan sebaliknya, Suprek terus bernyanyi tanpa peduli berapa rupiah yang telah ia dapat. “Lagu Tak Pernah Padam” telah selesai ia nyanyikan, lantas ia menyanyikan lagu “Terlalu Lelah milik Evo”, band tempat Elda Suryani bergabung jauh sebelum ia berkarya bersama Stars and Rabbit. Sama seperti lagu sebelumnya, Suprek akan terus bernyanyi sekalipun lampu menyala hijau dan kerumunan kendaraan di depannya berebut meninggalkan lokasi tersebut.
Saya baru bisa berbincang dengan Suprek ketika ia beristirahat sekitar pukul 16.00 WIB. Ia mematikan mikrofon, meletakkan gitarnya, lantas duduk di trotoar di samping saya. Di mata saya, ia adalah pria dengan pembawaan yang ceria dan mudah akrab dengan orang baru.
“Kalau nyanyi di pinggir jalan ya seperti ini, Mas. Tidak terlalu diperhatikan orang.” Seharusnya kalimat yang ia ucapkan adalah keluhan, tetapi karena pembawaan Suprek yang ceria, kalimat tersebut justru terdengar seperti kelakar. “Tapi ya bagaimana? Situasinya kan pandemi gini.”
“Kalau tidak pandemi, biasanya nyanyi di mana, Mas?”
“Di mana-mana,” terang Suprek. “Kadang di lesehan-lesehan. Kadang di kafe. Kadang di acara-acara tertentu seperti misal ada gathering gitu.” Lebih lanjut, Suprek mengatakan bahwa tampil di kafe atau acara-acara tertentu jauh lebih menantang dan membuatnya khawatir.
“Kalau di kafe, pasti ada tuntutan untuk menyanyi lagu-lagu tertentu. Nah itu kadang yang bikin deg-degan,” keluhnya. “Kalau di lesehan-lesehan kan bebas.” Ia mengakhiri kalimatnya dengan tertawa pelan.
Suprek menceritakan bahwa kisah hidupnya sangat tidak mudah. Ia sudah turun ke jalan dan mengamen di usia tujuh tahun. Pun Suprek kecil, yang berangkat dari rumah pukul 03.00 pagi dan beralih dari satu bis ke bis lain di sekitar Purwodadi, harus membantu biaya sekolah adiknya.
Pada akhirnya Suprek tumbuh menjadi musisi jalanan, sampai akhirnya ia memutuskan pindah ke Jogja untuk mengadu nasib. Ia sempat begitu popular di 0 KM Yogyakarta karena suaranya yang merdu. Bertahun-tahun ia mengamen di 0 KM dan memiliki banyak pendengar di sana. Sampai akhirnya, ketika di area Malioboro tak boleh lagi ada yang mengamen, ia memutuskan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu lesehan ke lesehan lain. Dari satu kafe ke kafe lain.
“Bukannya sampai sekarang di Malioboro masih ada pengamen, ya?”
“Iya. Tapi itu seperti yang sudah tergabung di kelompok, gitu,” jelas Suprek. “Pengamen di luar kelompok itu nggak boleh.”
Tak mau lebih jauh membahas masalah pengamen di Malioboro, Suprek melanjutkan cerita tentang bagaimana akhirnya ia menyanyi di perempatan dengan perlengkapan yang terbilang lengkap seperti saat ini.
“Pas PPKM, akhirnya saya ketemu teman-teman sesama musisi jalanan yang terdampak. Tidak hanya musisi jalanan, tetapi musisi yang sering tampil di kafe-kafe juga. Akhirnya kami memutuskan untuk membentuk komunitas. Nah, kami akhirnya membagi kelompok untuk bernyanyi di perempatan-perempatan. Komunitas kami fokus di perempatan Mirota Kampus, perempatan Gramedia, Perempatan UIN, dan di perempatan Balai Kota Yogya.”
Saya ingin bertanya lebih jauh kepada Suprek, akan tetapi ia harus menyudahi waktu istirahatnya. Ia menyalakan mikrofon, mengambil gitar, dan mulai bernyanyi.
Percaya, orang yang memberi karena iba
Tak berselang lama, dua orang datang ke lokasi kami, dan salah satu dari mereka ternyata adalah orang yang memiliki peran penting di komunitas musisi jalanan terdampak pandemi tersebut.
Ia adalah Buddy, lelaki berumur 32 tahun yang berasal dari Jakarta. Kami memutuskan berbincang tentang aktivitas komunitas yang ia kelola, sementara Suprek telah larut dalam lagu demi lagu yang ia bawakan.
“Saya bukan ketua komunitas atau apa. Hanya orang yang memfasilitasi,” terang Buddy kepada saya. “Saya mengenal banyak musisi jalanan yang memiliki suara luar biasa, dan merasa sayang jika bakat mereka tidak disalurkan dengan baik. Makanya, saya mencoba melakukan sesuatu.”
Buddy adalah orang yang membeli semua sound system untuk para musisi di komunitasnya bernyanyi. Ia membeli empat sound system, dan mengatakan bahwa sekarang hanya tiga yang masih bisa dipakai, sementara yang satu masih diperbaiki. “Nah, untuk menjaga peralatan, untuk memperbaiki kerusakan, makanya ada uang kas. Uang kas itu ya diambil dari lima persen pendapatan selama bernyanyi setiap harinya.”
Buddy mengatakan, sebenarnya tak ada niatan sama sekali untuk bernyanyi di perempatan-perempatan. Ia menganggap bahwa musisi jalanan yang berbakat, layak untuk mendapat apresiasi lebih. “Setidaknya manggung di kafe-kafe, lah.” Ia menegaskan. “Mereka ini pada dasarnya senang bernyanyi. Ketika ada yang mengapresiasi, seperti misalnya ikut bernyanyi, itu adalah kebahagiaan tersendiri.”
Buddy juga memahami bahwa jalanan bukanlah tempat untuk mencari apresiasi, sehingga sebagus apa pun para musisi jalanan bernyanyi, mereka hanya akan dipandang sebelah mata.
“Sekarang begini, orang yang naik mobil sudah pasti memutar lagu mereka sendiri. Pun kaca mobilnya ditutup. Mau kami bernyanyi sebagus apa pun, mereka tidak akan peduli. Yang naik motor juga sama saja, pasti tidak menggubris. Malahan pasti ada yang menganggap kami ini menyebabkan polusi suara.”
Dengan kondisi jalanan yang seperti itu, Buddy sadar seratus persen bahwa siapa pun yang memberi uang kepada mereka bukan karena mengapresiasi, melainkan karena iba. “Saya jelas sadar bahwa orang-orang hanya iba. Saya juga dengan tegas mengatakan itu kepada anak-anak musisi yang ada di komunitas kami. Sebagus apa pun kami bernyanyi, serapi apa pun penampilan kami saat bernyanyi di pinggir jalan, kami tetap tak ubahnya seperti pengemis.”
Terkait istilah ‘pengemis’ itu, Buddy memiliki dilemanya tersendiri. Ia paham betul bahwa meminta ke orang-orang di lampu merah adalah bentuk pengemisan dan sudah jelas melanggar Perda nomor satu tahun 2014 tentang penanganan gelandang dan pengemis.
“Saya telah banyak berdiskusi dengan petugas. Intinya, aktivitas bermusik di pinggir jalan sebenarnya masih bisa dimaklumi. Yang kemudian menjadi masalah adalah ketika kami keliling dari satu pengendara ke pengendara lain dan mengumpulkan uang. Aktivitas meminta-minta itu yang jelas masuk kategori pengemisan.”
Menurut Perda tahun 2014 itu, pengemisan adalah tindakan meminta-minta yang dilakukan oleh individu dan/atau sekelompok orang dengan berbagai alasan, cara dan alat untuk mengharap belas kasihan dari orang lain. “Mau kami berdalih bermusik, menghibur, bentuk kesenian, kalau pada akhirnya ada tindakan meminta uang, semua itu tetap dikategorikan aktivitas pengemisan.”
Akan berbeda, menurut Buddy, jika mereka tidak keliling meminta tip, melainkan hanya menyiapkan kotak dan pengendara dengan sukarela memberi uang ke kotak tersebut. “Tetapi hal semacam itu tentu tidak mungkin dilakukan di jalan. Kalau kami tidak keliling, mana mungkin orang akan meluangkan waktu memberi ke kami?”
Rencana besar untuk tidak ngamen di jalanan
Atas alasan itulah, Buddy tidak berharap untuk melakukan aktivitas bermusik di jalan seterusnya. Ia memiliki rencana besar tentang ke depan mereka akan seperti apa. “Saya dan teman-teman membentuk komunitas Kemana_Official itu bukan sekadar untuk tampil di jalan,” tegasnya.
“Kami melakukan ini, mengamen di jalan, murni karena terdampak pandemi. Tetapi dari aktivitas ini, kami mendapat atensi dari banyak orang. Itulah target pertama kami. Selanjutnya, setelah kami mendapat perhatian, kami akan merambah ke media digital. Kami sudah memiliki akun Instagram dan Youtube untuk berkarya.”
Akan tetapi itu adalah rencana jangka panjang bagi Buddy. Rencana paling dekat yang sudah mulai direalisasikan adalah dengan kembali bermusik dari satu kafe ke kafe lain. “Kami, atas nama komunitas, mulai dipandang dan dipercaya untuk tampil di kafe-kafe. Hari ini kami akan tampil di Seven Sky.”
Buddy mengatakan, sekalipun penghasilan bernyanyi di jalan sungguh luar biasa banyak, tetapi ia tak ingin terbuai dan berpuas diri di jalan itu. “Satu hari, di satu lokasi, bisa mendapat sekitar satu juta!” tegasnya.
“Kami ada di empat perempatan, dan musisi-musisinya selalu muter untuk bergantian. Siang hari di perempatan Gramedia, nanti malamnya pindah ke perempatan Mirota Kampus yang di depan KFC. Di seberang sana.” Ia menunjuk ke seberang, ke lokasi di mana musisi angklung tengah beraksi.
“Kalau siang sampai sore yang tampil musisi angklung. Kalau malam ya kami. Nah, dengan banyaknya waktu bermusik di jalan, penghasilannya pasti banyak, kan? Tapi saya berulang-kali meminta anak-anak untuk tidak terbuai, karena yaitu tadi, yang kami lakukan itu mengemis.”
Saya lantas tergoda untuk bertanya, jika pada akhirnya hanya memanfaatkan rasa iba dari pengendara, untuk apa harus bernyanyi bagus dan dengan peralatan yang memadai? Dan dengan sederhana, Buddy menjawab, “Karena kami suka bernyanyi.”
Ia melanjutkan, sekalipun tak ada yang mendengar mereka, mereka harus tampil dengan bagus. “Saya meminta anak-anak untuk berpakaian bagus. Harus memakai kemeja. Harus memakai sepatu. Harus tampil dengan gaya. Bahkan kemarin sempat ada niatan kami ingin tampil seragam dengan memakai dasi. Jadi, itu semua adalah bukti bahwa kami memang niat untuk menghibur, sekalipun itu tadi, tak ada yang benar-benar memperhatikan.”
Buddy menjelaskan bahwa peralatan menyanyi yang sudah lumayan lengkap itu kelak akan digunakan untuk bernyanyi di kafe-kafe jika kafe tersebut tidak memiliki peralatan.
“Nanti kan itu semua bisa dipakai. Sekarang, anak-anak yang ingin bernyanyi di perempatan kan harus membawa sound system dan yang lainnya dari markas kami. Panas-panasan membawa alat seberat it uke perempatan, mempersiapkan segala sesuatu, dan mulai bernyanyi. Nanti pas mau selesai, harus mengemasi semuanya dan kembali lagi ke markas. Untuk sekarang seperti itu dulu, demi bisa bertahan.”
Tentang markas yang disebutkan Buddy, ternyata hanyalah sebuah burjo di daerah Jalan Kaliurang. “Pemiliknya baik hati mau menampung kami.” Buddy mengatakan bahwa ada banyak musisi jalanan yang akhirnya bergabung dengan komunitasnya, tetapi hanya beberapa saja yang sudah siap tampil.
Dua di antaranya adalah Suprek, yang memang sudah legendaris menurut Buddy, dan satu yang lain adalah Agam. “Kalau Suprek adalah Sandhy Sondoro, maka Agam adalah Sammy Simorangkir.”
Agam datang bersama Buddy saat itu, hanya saja ia adalah pribadi yang sangat pendiam dan enggan banyak berkomentar. Informasi tentang Agam hanya saya ketahui dari Buddy dan Suprek, bahwa Agam adalah penyanyi yang sangat berbakat. Agam berasal dari Jogja, lantas merantau ke Jakarta untuk mengamen.
Di Jakarta-lah, Buddy bertemu dengan Agam. Mereka berdua lantas bernyanyi bersama dari satu tempat ke tempat lain sampai akhirnya Agam memutuskan kembali ke Jogja. “Delapan bulan lalu saya ke Jogja, kenal dengan musisi-musisi jalanan yang berbakat, dan akhirnya membentuk Kemana_Official ini. Ya, akhirnya sewaktu PPKM, karena kehilangan pendapatan, kami memutuskan untuk bernyanyi di jalanan.”
Buddy mengatakan bahwa bernyanyi di jalan, artinya harus berbagi dengan para pencari rezeki di jalan yang lainnya. Ia harus berbagi waktu dengan musisi angklung, manusia silver, para boneka yang menari, dan tentu saja dengan musisi dari komunitas lain.
“Kan ada juga komunitas lain. Itu yang di daerah perempatan Kentungan ada komunitasnya sendiri. Yang di perempatan Condongcatur juga ada komunitasnya sendiri. Awalnya ya sering datang ke perempatan, ternyata sudah ada yang nempatin. Tapi lama kelamaan, kami jadi tahu lokasi mana saja yang memang bisa kami pakai. Jatuhnya ya di sini, di perempatan Gramedia, perempatan UIN, dan kadang di perempatan Balai Kota.”
Sejauh ini, Buddy mengklaim bahwa belum ada tindakan dari petugas yang kurang menyenangkan untuk mereka. “Paling cuma diajak ngobrol saja sih beberapa waktu. Dan juga, dulu saya ingin ada semacam payung untuk yang tampil di perempatan agar tidak terlalu kepanasan. Tetapi ternyata property seperti payung tidak diperbolehkan. Makanya, kami tidak pernah pakai payung lagi.”
Alasan lain kenapa Buddy tidak ingin terlalu lama bernyanyi di jalanan adalah karena cepat atau lambat, fenomena musisi di jalanan akan sampai ke pembahasan pemerintah, dan sudah pasti akan dilakukan penindakan atas fenomena tersebut.
“Sekarang pasti sudah dibahas di pemerintah daerah. Ya secara fenomena musisi seperti kami sudah diketahui banyak orang. Pasti cepat atau lambat akan ditindak. Kalau sudah ditindak, mau bagaimana lagi? Maka dari itu, selain karena tidak ingin mengemis terlalu lama, kami harus berhenti bermusik di jalan cepat atau lambat.”
Ingin menyanyi di panggung
Langit telah berubah merah padam ketika itu, sehingga Buddy memutuskan untuk pamit karena harus segera mempersiapkan diri tampil di Seven Sky. Ia bersama Agam akan tampil di sana, pun dengan beberapa rekan lain yang memiliki waktu luang. Sebagai ucapan terakhir di obrolan kami, Buddy menegaskan bahwa tampil di kafe, atau setidaknya di panggung yang memiliki audiens yang siap untuk mendengar mereka bernyanyi, adalah kepuasan tersendiri baginya sebagai musisi.
“Bermain di kafe, ketika audiens ikut bernyanyi, itu memberikan adrenalin tersendiri. Itulah yang tidak kami dapatkan di jalanan. Dan itu pulalah yang akan membuat kami berhenti tampil di jalan ketika situasi sudah memungkinkan.”
Dan apa yang dikatakan Buddy memang benar. Saya membuat polling di akun Instagram pribadi saya tentang eksistensi musisi di perempatan, bertanya apakah mereka menghibur atau biasa saja. Dan hasil dari polling tersebut ternyata lebih menganggap para musisi jalanan biasa saja. Sebanyak 57 persen yang memilih biasa saja. Beberapa dari yang memilih biasa saja justru mengirimkan pesan pribadi bahwa mereka mengganggu.
Hanya ada Gita (24), yang mengatakan bahwa ia lumayan terhibur dengan eksistensi musisi perempatan itu. Ia mengatakan bahwa ia bisa menikmati lagu yang dibawakan para musisi jalanan, bahkan bisa sampai terbawa suasana. “Tetapi hanya jika suaranya bagus dan lagunya relate dengan masa laluku,” terangnya ketika kami mengobrol melalui DM Instagram. “Aku bisa sampai terbawa suasana kalau mendengar lagu mellow dari mereka.”
Gita melanjutkan, ia akan memberikan uang jika ada recehan di dashboard motornya. “Tidak spesifik mengapresiasi suara mereka, tetapi kalau ada uang receh saja.”
Akan tetapi apa pun itu, sekalipun banyak dari pengendara yang tidak menganggap mereka yang bermusik di jalan, sekalipun mereka dianggap mengganggu, toh nyatanya tidak menyurutkan orang-orang yang bernyanyi di perempatan itu. Buktinya Suprek tetap bernyanyi sekalipun lampu telah menyala hijau. Buktinya ia tetap menyapa para pengendara yang melintas, dan terlebih lagi, ia tetap bernyanyi dan bermain gitar dengan kemampuan maksimalnya.
***
Suprek berhenti ketika malam telah tiba. Ia memutuskan istirahat di trotoar, sementara rekannya yang baru saja bermusik di perempatan Balai Kota, bermain menggantikannya. Saya tak mengobrol banyak dengan pria yang baru datang tersebut, sebatas berkenalan dan ia menyebut Namanya yaitu Aham. Sebatas situ, dan ia langsung tenggelam dalam permainan gitarnya.
Di sisi lain, saya duduk di trotoar di sebelah Suprek. Ia yang tampak kelelahan sembari minum air mineral, lantas tertawa-tawa entah karena apa. Lampu lalu lintas menyala merah dan pengendara motor maupun mobil memenuhi jalanan di depan kami. Bersama gitarnya, Aham menyanyikan lagu “I Love You But I’m Letting Go” milik Pamungkas, sementara Suprek justru menceritakan kisah asmaranya yang berulang-kali kandas di masa lalu.
Ya, malam itu berlalu dengan saya yang mendengar kisah asmara Suprek yang belum pernah berhasil, pengendara yang lalu-lalang tanpa memedulikan kami, dan suara Aham menyanyikan I “Love You But I’m Letting Go” sekalipun lampu lalu lintas telah lama menyala hijau.
BACA JUGA Armando Pribadi, Ingin Tampil di Siaran Langsung Televisi Kemudian Berhenti Jadi Wasit dan liputan menarik lainnya di Susul.