Suara dari Mereka yang Tetap Bekerja saat Libur Lebaran

Mas Edi, tetap bekerja di hari libur lebaran

Mas Edi, tetap bekerja di hari libur lebaran

Libur Lebaran bisa jadi kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga dan bercengkrama bersama handai tolan mengenang masa kecil. Namun, bagi sebagian orang, libur saat hari raya adalah angan-angan yang jauh di atas sana.

Bagi sebagiannya lagi, bekerja saat perayaan hari raya justru adalah kesempatan untuk mendapatkan cuan. Saya bertemu dengan beberapa orang yang tetap bekerja saat Lebaran. Baik atas kebijakan tempat kerja, sampai niat hati untuk merelakan liburan demi pekerjaan. Dari yang karyawan di perusahaan multinasional, sampai wirausaha. Karena tidak afdol jika berkutat di dunia kantoran yang lebih mudah dipamerkan saat halal bihalal.

Sistem shifting membuat Mbak Han tetap bekerja

Pertama adalah Mbak Han (27). Karyawan di perusahaan e-commerce berskala multinasional ini adalah salah satu orang yang tetap bekerja di hari Lebaran. Meskipun Work From Home (WFH) semenjak awal pandemi, tidak ada kenikmatan istimewa yang diperoleh Mbak Han saat libur lebaran ini.

“Di tempat saya, yang terhitung libur hanya Idulfitri, Natal, dan Tahun Baru. Kami bekerja dengan sistem shifting, jadi libur pun tetap masuk sesuai jadwal,” ujar Mbak Han. Sudah hampir 2 tahun Mbak Han bekerja di perusahaan tersebut, tentu selalu dengan sistem shifting.

“Tapi untuk 3 hari libur tadi, memang ada sistem penggajian yang berbeda,” tambah Mbak Han.

Mbak Han pun memang ingin merasakan sistem kerja umum. “Beda mas rasanya. Kalau yang sesuai hari kerja, liburnya kan tetap. Sedangkan saya bisa acak, dan bisa jadi harus bekerja ketika yang lain libur,” ujar Mbak Han. Blio juga menjelaskan memang banyak teman yang mempertanyakan sistem kerja dan libur.

“Ya dibercandain saja mas, toh waktu mereka kerja saya malah bisa libur,” ujar Mbak Han sambil tertawa.

“Kalau libur lebaran sih saya memang tidak segitunya untuk saya, kan saya tidak merayakan,” jelas Mbak Han yang seorang Kristiani.

“Jadi tidak ada urgensi untuk libur saat Lebaran. Biar teman yang muslim saja yang mengambil libur,” tambah Mbak Han.

Bicara keluarga, menurut Mbak Han perlu penjelasan lebih. “Plus minus serta risiko kerja harus dijelaskan ke keluarga. Jadi ketika situasi seperti saya ini tidak membuat keluarga bertanya dan menanti saya mudik,” tekan Mbak Han yang sudah 4 tahun tidak mudik.

Bicara mudik, Mbak Han tidak terpancing untuk menertawakan kawan yang gagal mudik karena pandemi. “Semua kan harus dilihat positif negatifnya. Kalau tidak bisa mudik, berarti kan ikut mencegah penyebaran Covid-19 ini. Dan yang kerja seperti saya gini malah terhindar dari kemungkinan tertular dan menularkan,” ujar Mbak Han.

“Toh lembur gini juga nambah modal nikah lho mas,” tambah Mbak Han sambil tertawa.

Daripada WFH, Mas Ali memilih WFO meskipun Lebaran.

Orang kedua yang saya temui adalah Mas Ali (21). Mas Ali bekerja sebagai Human Capital di sebuah perusahaan berbasis digital di Jogja. Meskipun jabatannya terdengar sangar, tapi bukan berarti bisa leha-leha di libur lebaran. Seperti Mbak Han, Mas Ali juga harus bekerja di waktu Lebaran.

“Ini berdasarkan kesepakatan bersama mas, karena pekerjaan kami tidak bisa berhenti meskipun libur Lebaran,” jelas Mas Ali yang baru kali ini merasakan dunia kerja sesungguhnya.

“Mungkin karena masih muda ya mas, jadi masih berapi-api untuk kerja meskipun hari libur,” ungkap Mas Ali.

“Sebenarnya status kami ini libur mas, Cuma beberapa pekerjaan tetap harus dilakukan saat liburan ini. Jatuhnya sih WFH gitu mas,” jelas Mas Ali perihal sistem kerja saat liburan ini.

“Karena memang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan meskipun sedang lebaran,” tambah Mas Ali.

Dan benar, pekerjaan Mas Ali tetap menumpuk di saat Lebaran. “Sampai hari ini, saya mengurus penggajian, recruitment, dan pengawasan kerja mas. Saya juga mempersiapkan proses recruitment yang terdigitalisasi. Jadi saat efektif kerja besok semua tinggal jalan,” ujar Mas Ali tanpa nada mengeluh sedikitpun.

Ketika bicara niat dalam mengerjakan tugas, Mas Ali menjawab,”Yah ada yang ikhlas, ada yang tuntutan mas”. Di satu sisi, Mas Ali memang harus mengerjakan tugas sesuai kesepakatan. Namun, ini juga keikhlasan karena menurut Mas Ali,” kerja kan juga ibadah mas”.

Bicara perasaan Mas Ali yang tetap harus kerja sebenarnya biasa saja. “Ya jujur memang biasa saja sih mas. Maksudnya ya tidak gimana-gimana gitu. Mungkin dongkol saja, harusnya bisa bangun zuhur tapi tetap bangun pagi demi pekerjaan,” ujar Mas Ali.

“Keluarga juga tidak ada yang mempertanyakan mas. Karena saya kerjakan semua di kamar, dan memang tidak ada agenda pergi-pergi. Paling hanya mengantarkan orang tua atau hangout sebentar. Tapi tetap tidak bersinggungan dengan waktu kerja,” jelas Mas Ali. Blio juga menambahkan, beban kerja ini tidak dirasakan berat sama sekali.

Ketika saya minta memilih kerja atau libur, Mas Ali malah berkata,”Boleh nggak kalau diganti WFH atau WFO?”

Menurut Mas Ali, WFH di saat libur seperti ini kurang efektif. “Mending WFO sekalian mas, biar koordinasinya lebih lancar dan jelas,” tambah Mas Ali yang tetap tidak menjawab saat harus memilih kerja atau libur.

Untuk yang bekerja seperti Mas Ali di saat Lebaran, Mas Ali berpesan, “tetap semangat, ikhlas, dan berintegritas.” Sedangkan untuk yang bisa menikmati libur lebaran tahun ini, Mas Ali berpesan, “Selamat berlibur ya. Jagalah kesehatan dan jagalah orang-orang tersayang.”

“Itu hidden campaign biar ga pada mudik mas,” bisik Mas Ali sambil terkekeh.

Mas Edi tetap menyajikan kopi di hari Lebaran

Mas Edi (32) saya temui saat malam takbiran. Tepatnya di Kedai Kopi Omah Noto Plankton. Niat hati ingin bersembunyi dari penatnya kota. Namun kesunyian tidak hadir di kedai kopi terpencil di tengah kebun salak ini. Suara petasan yang mendekati bom bersahutan memekakkan telinga.

“Biasa mas, perang antar RT,” ujar Mas Edi sambil membuat pesanan saya.

“Kami tidak libur kok mas. Lebaran tetap buka tapi gantian,” ujar Mas Edi. Menurut Mas Edi, tidak masalah untuk tetap membuka kedai di saat lebaran.

“Kan saya ke rumah simbok bisa pagi mas. Nanti siang bisa di kedai. Hitung-hitung sambil halal bihalal dengan pengunjung kedai,” terang Mas Edi.

Ketika saya tanya kenapa tetap buka, Mas Edi punya jawaban menarik. “Kedai ini kan juga jadi sarana silahturahmi. Seperti mas yang datang kesini kan juga menyambung tali silahturahmi. Justru saat lebaran kedai ini bisa jadi tempat saling sapa dan berkumpul. Bahkan dengan pengunjung lain yang belum saling kenal,” jawab Mas Edi sambil mengangsurkan pesanan favorit saya: teh telur hangat.

“Toh orang-orang juga butuh kopi di hari lebaran. Kadang bosan tho mas makan opor dan minum sirup,” ujar Mas Edi. Dengan tetap membuka kedai, Mas Edi ingin memberi sedikit rasa lain di tengah Lebaran yang monoton.

“Dari sini saya juga bisa ikut bahagia mas. Ketemu teman-teman yang luar biasa juga. Daripada Cuma untuk malas-malasan, malah ga dapat momen Lebarannya. Seperti ini saya malah bisa bertemu teman lama, teman baru, dan orang-orang baik. Saya bisa merasakan keakraban dan juga memberi keakraban untuk konsumen mas,” jelas Mas Edi.

Bagi Mas Edi, keakraban bisa sejalan dengan bekerja. “Ya seperti ini mas, tetap kerja tapi bisa sambil syawalan. Kalau kedai tutup, malah makin terbatas untuk bertemu dan saling mengakrabkan diri,” imbuh Mas Edi sambil undur diri. Makin banyak pengunjung yang datang disambut letupan petasan yang hampir membuat saya tersedak.

Bakso Mas Itik lebih ditunggu dari opor ayam

Mas Itik (51) seperti legenda di seputaran Kapanewunan Kraton, Jogja. Sudah puluhan tahun Mas Itik menapaki jalan sambil mendorong gerobak baksonya. “Sudah lama pokoknya mas, sejak ibumu masih kecil,” ujar Mas Itik menggambarkan betapa lamanya blio berdagang bakso. Memang, Mas Itik sudah berdagang bakso sejak masih perjaka dan tetap setia sampai hari ini.

Kesetiaany berdagang ini juga tidak terhenti meskipun libur Lebaran. “Malah kesempatan mas jualan di saat Lebaran ini. Karena lebih laris daripada hari biasa,” ujar Mas Itik. Blio menambahkan, ketika Lebaran seperti ini bisa 200 porsi lebih bakso yang terjual. “Kadang baru beberapa jam sudah habis mas, ya alhamdulillah,” ucap Mas Itik sambil bersyukur.

“Tapi tahun ini memang beda mas, banyak yang tidak mudik. Tapi tetap lumayan mas. Mungkin besok (H+1 Lebaran) bakal lebih laris karena banyak wisatawan,” ujar Mas Itik sambil melayani pembeli.

Kebetulan si pembeli memang membeli untuk satu keluarga. “Sudah bosan opor jhe mas,” ujar sang pembeli ketika saya basa-basi menyapa.

“Memang benar mas, yang bikin laris itu karena sudah eneg makan santan. Jadi pengen seger-seger seperti bakso,” ujar Mas Itik. Saya pun mengamini sambil membayangkan opor di rumah. Ah makan sekali saja sudah bosan.

Ketika saya tanya kenapa tidak libur saja, Mas Itik malah tertawa. “Lha tujuan saya jualan ini karena laris saat Lebaran, kok malah libur. Ini malah cari THR buat lebaran mas,” ujar Mas Itik yang jelas menertawakan pertanyaan polos saya. Mas Itik kembali menekankan, keuntungan ketika berjualan di waktu Lebaran memang menggiurkan.

“Keluarga juga sudah paham kok mas. Toh ini juga demi keluarga,” ujar Mas Itik sembari mengangsurkan bakso pesanan saya. “Nek saya tidak jualan, kamu bakal makan opor lagi tho mas,” imbuh Mas Itik yang memecahkan tawa kami.

Jika Bang Gori libur, siapa yang membantu mereka menyeberang?

Bang Gori (29) terlihat semangat mengibarkan bendera kuning oranye di tengah jalan. Teriakan Bang Gori membantu pengendara untuk melalui pertigaan tanpa lampu merah di Jalan Wates. Ya maklum sih, Jalan Wates memang penuh ancaman tersundul truk dan kendaraan besar lain.

Syukurlah situasi jalan sedang sepi, sehingga Bang Gori bisa meluangkan waktu untuk mengobrol dengan saya. “Malam nanti pasti ramai mas, kayak malam takbiran kemarin,” ujar Bang Gori dengan logat Timor yang khas.

“Daripada diam di kontrakan, mending aku bantu-bantu nyebrangin orang kan mas,” ujar Bang Gori sembari berlalu dan membantu bapak-bapak menyeberang dengan motor matic yang mirip Jetski.

“Tuh, susah mas nyebrang di sini,” imbuh Bang Gori membenarkan keputusannya tetap membantu orang menyeberang.

Membantu orang menyeberang sudah ditekuni Bang Gori sejak pandemi. “Lumayan hasilnya, bisa untuk menyambung hidup,” ungkap Bang Gori. Meskipun hasilnya tidak pasti, tapi tetap disyukuri oleh Bang Gori.

“Tak apa sedikit, asal aku tidak maling saja,” imbuh Bang Gori sambil terkekeh.

Ketika saya tanya alasan tetap bekerja di libur lebaran, Bang Gori menekankan jawaban sebelumnya. “Daripada aku cuma tidur mas, malah tidak dapat apa-apa. Ini juga mengisi waktu luang, sambil menonton jalan dan siapa tau ada yang cantik,” ujar Bang Gori sambil terkekeh. Kembali Bang Gori harus menyeberangkan mobil yang akan masuk ke arah perkampungan.

“Aku juga tak mudik, sudah lama tidak pulang kampung. Nanti kalau kangen, bisa videocall orang rumah,” ujar Bang Gori. Bang Gori juga santai saja ketika melihat orang lain yang libur di waktu lebaran. “Nasib orang beda-beda mas,” imbuh Bang Gori.

“Kalau aku ikut-ikut libur, kasihan orang yang ingin menyeberang. Susah juga kalau tidak dibantu. Kan aku malah ikut membantu dan berbuat baik mas,” ujar Bang Gori sambil menenggak air mineral yang dibawa. “Aku juga tidak sibuk, tidak ada itu keliling ke rumah saudara. Mending disini malah dapat uang,” imbuh Bang Gori sambil kembali menyeberangkan orang.

Masih banyak sebenarnya orang-orang yang mengorbankan hari liburnya untuk tetap bekerja. Ada yang karena tuntutan pekerjaan, juga pengabdian. Memang libur Lebaran menjadi momen melepas rindu. Tapi dunia kerja hari ini tidak bisa mengakomodir semua orang untuk menghentikan roda ekonomi.

BACA JUGA Mitos Hantu di UGM dan Mereka yang Pernah Mengalaminya dan liputan menarik lainnya di Mojok.

 

Exit mobile version