Lazimnya orang, membuka warung pasti lah untuk mencari untung. Namun, tidak bagi Warung Sedekah di Kudus, Jawa Tengah. Sejak pertama kali buka delapan tahun lalu, warung ini tak memberlakukan transaksi jual-beli. Warung ini hanya mengenal memberi, sejak dulu, hari ini, dan bertekad tak akan berhenti berbagi.
***
Di penghujung bulan Ramadan, saya mengekor bebek pada Aziz Afifi, wartawan Suara Merdeka Muria, untuk merampungkan tugas-tugas liputannya sebelum libur Lebaran.
Hitung-hitung nostalgia. Mengenang masa-masa saat kami masih sama-sama jadi wartawan di salah satu portal berita online kecil di Pati, Jawa Tengah.
Sebenarnya sudah sejak lama saya ingin mengunjunginya ke Kudus. Lebih-lebih dia selalu menjanjikan tak hanya sekadar mentraktir saya ngopi, tapi juga kulineran.
Dan setelah sekian lama, akhirnya bertemu lah saya dengan pria yang sering dikira wanita oleh kepala-kepala dinas yang ia temui itu.
Awalnya saya tak cukup tertarik ketika suatu sore, sekitar jam setengah lima, ia mengajak saya untuk ke Alun-alun Kudus. Lebih baik nunggu lepas buka, baru cari tempat nongkrong. Pikir saya.
“Wis leh, enek apik iki, melu ae (Udahlah, ada hal bagus ini, ikut aja),” ujarnya yang membuat saya lantas beringsut dari kasur kosan, mencuci muka, lalu mengikutinya menuju ke tempat yang ia sebut “enek apik iki” tadi.
Pria paruh baya dengan semangat berbagi menggelora
Tepatnya di sisi selatan Alun-alun Kudus, Aziz Afifi menunjukkan kepada saya seorang pria paruh baya, dengan tampilan layaknya bapak-bapak desa biasa, begitu energik memindahkan beberapa kresek merah berisi nasi bungkus dari sebuah angkot ke warung miliknya.
“WARUNG SEDEKAH GRATIS UNTUK FAKIR MISKIN DHUAFA”. Demikian tulisan yang tertera pada banner warung kecil milik pria paruh baya tersebut.
Usut punya usut, pria paruh baya itu bernama Bosnia Sasmito, kini berusia 57 tahun. Namanya sudah tak asing lagi bagi warga sekitar, khususnya dari kalangan “orang-orang tak beruntung”.
Pasalnya, dalam kurun delapan tahun terakhir ini (sejak 2016 lalu), Sasmito menghabiskan sebagian hartanya untuk mengulurkan tangan; memberi makan pada mereka yang membutuhkan.
“Sibuk-sibuknya Pak Sasmito itu ya di setiap bulan Ramadan begini,” bisik Aziz Afifi.
Warung Sedekah berbagi 150-350 nasi bungkus per hari
Benar saja apa yang dikatakan Aziz Afifi. Baru saja buka, Warung Sedekah Pak Sasmito sudah dikerubungi antrean warga; pria/wanita, terutama dari yang seumuran dengan Pak Sasmito.
Warga yang datang terus mengular, tak habis-habis. Semuanya menunggu mendapat jatah satu bungkus nasi. Pak Sasmito pun dengan cepat dan semangat membagi dan memastikan berbungkus-bungkus nasi yang dia bawa tersalurkan secara merata.
Dia baru benar-benar senggang setelah azan magrib berkumandang. Seluruh nasi bungkusnya sudah ludes dibagi, dan Pak Sasmiton pun akhirnya bisa kami temui (sekaligus bisa kami ajak berbincang-bincang santai).
“Warung Sedekah menyediakan 150-350 nasi bungkus per hari,” ungkap Pak Sasmito.
“Umumnya dalam satu bungkus ada nasi, telur, sayur, air putih, dan teh manis,” imbuhnya.
Lantas apakah ratusan porsi nasi bungkus itu sepenuhnya dari uang kas pribadi Pak Sasmito?
Sejak awal, Pak Sasmito memang sudah bertekad bahwa Warung Sedekah akan bersifat jangka panjang. Bukan hanya seremoni sesaat saja. Untuk itu, dari hasil kerjanya sebagai seorang wiraswasta (mengenai pekerjaannya, dia enggan disebut secara spesifik), Pak Sasmito menyisihkan sebagian uangnya untuk dialokasikan ke Warung Sedekah.
“Tapi semisal ada donatur, ya dengan senang hati saya terima. Sama-sama untuk berbagi kok,” sambungnya.
Warung Sedekah tak hanya buka di bulan Ramadan
Pak Sasmito menjelaskan, ternyata Warung Sedekah tak semata buka khusus di bulan Ramadan. Akan tetapi buka juga di hari-hari biasa. Hanya beda intensi waktunya.
“Pas Ramadan begini bukanya setiap hari. Pas hari biasa juga tetap buka, di tempat yang sama,” ungkap Pak Sasmito.
Hanya saja, di hari biasa Warung Sedekah hanya buka seminggu dua kali, yakni setiap Kamis dan Minggu.
Di hari-hari biasa pun, seturut pengakuan Pak Sasmito, akan tetap penuh sesak olah warga-warga yang mengantre. Dan itu lah yang seolah memberi suntikan energi bagi Pak Sasmito untuk terus—dan akan selalu—berbagi.
Yang pura-pura fakir miskin pun tetap dapat jatah
Sejak delapan tahun buka, Pak Sasmito mengaku kerap kali bertemu dengan orang-orang yang, kalau meminjam istilahnya Tretan Muslim, masuk golongan orang-orang “Why?”.
Bagaimana tidak, meski jelas-jelas terpampang keterangan “…UNTUK FAKIR MISKIN DHUAFA” di banner Warung Sedekah, tapi ada saja orang-orang mampu yang nyempil ikut menadahkan tangan; meminta jatah nasi bungkus.
“Yang pura-pura begitu (fakir miskin) banyak, Mas,” demikian yang diakui Pak Sasmito.
“Kelihatan dari cara berpakaiannya, gerak tubuhnya, sama sekali nggak menunjukkan tanda-tanda kefakiran, kelihatan lah,” lanjutnya.
Q.S. Al Baqarah: 177 jadi landasan berbagi kepada siapa pun
Meski begitu, Pak Sasmito dengan legowo tidak menjadikannya masalah. Siapa pun, tanpa terkecuali, akan ia beri selagi memang datang untuk meminta bantuan.
“Dasar saya Al Baqarah ayat 177,” katanya.
Adapun penggalan dari ayat tersebut, yang jadi landasan berbagi bagi Pak Sasmito memiliki arti sebagai berikut:
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya…
Lebih lanjut, bagi Pak Sasmito, menyenangkan ketika dalam hidup—yang kata Pak Sasmito tak lama ini—dirinya bisa bermanfaat bagi sesama.
Pengakuan-pengakuan Pak Sasmito di atas lantas membuat saya semakin penasaran, pengalaman spiritual apa yang membuat Pak Sasmito sampai di level seperti sekarang ini; di mana berbagi justru menjadi semacam kesenangan tersendiri baginya.
Dari tahajud dan mimpi seorang teman
Pak Sasmito membeberkan, ide awal Warung Sedekah datang dari sebuah “wangsit”. Namun uniknya, wangsit yang berisi pesan berbagi itu justru tak datang secara langsung pada Pak Sasmito. Melainkan melalui salah seorang teman dekatnya.
Katanya, suatu kali temannya yang tertidur selepas mendirikan salat tahajud mendapat semacam gambaran tentang “Warung Sedekah”.
Teman Pak Sasmito itu kemudian menceritakan apa yang ia lihat dalam mimpinya tersebut pada Pak Sasmito.
Dari situ, baik Pak Sasmito maupun teman dekatnya tersebut lantas sama-sama sepakat untuk membuka Warung Sedekah. Selain sebagai ladang jariah bagi keduanya, yang paling utama adalah bisa sedikit meringankan beban mereka yang hidup dalam kekurangan.
“Pertama kali ide Warung Sedekah berangkat dari salat tahajud teman, sekaligus dia yang memodali,” tuturnya.
Pak Sasmito juga meyakini, niat baik nan tulus untuk berbagi lah yang kemudian membuat Warung Sedekah mendapat semacam siraman berkah dari Allah Swt, sehingga bisa terus buka sampai sekarang.
Dia mengaku, meski kadang situasi keuangannya agak ngepres, namun nyatanya ada saja—dan selau cukup—untuk memenuhi kebutuhannya pribadi dan untuk dialokasikan ke Warung Sedekah.
Warung Sedekah akan buka hingga masa-masa mendatang
Layaknya warung, di Warung Sedekah juga disediakan bangku-bangku plastik yang ditata berderet.
Di bangku-bangku plastik itu, petang itu, duduk beberapa orang untuk santap buka puasa bersama dari nasi bungkus pemberian Pak Sasmito.
Satu di antaranya adalah Santi Wilujeng. Wanita 50 tahun itu mengaku senang dan terbantu dengan adanya Warung Sedekah milik Pak Sasmito. Khususnya di momen bulan Ramadan ini.
Warung Sedekah yang buka setiap hari di bulan Ramadan membuatnya merasa terbantu dalam urusan buka puasa. Sehingga uangnya yang pas-pasan bisa digunakan untuk kebutuhan primer lain karena sudah tak terbebani pengeluaran untuk buka puasa.
“Semoga Warung Sedekah dapat barokah dan terus ada,” harapnya.
Melihat wajah-wajah sumringan dari mereka yang merasa terbantu membuat Pak Sasmito meneguhkan niat akan terus membuka Warung Sedekah hingga di masa-masa mendatang.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Teka-teki Mbah Wek, Guru Sekolah Internasional yang Memilih Ngamen di Jalanan Malang dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.