Subhan (31) dan Rina Marlina (31). Dua nama ini sudah kelewat masyhur di jagat para-badminton (bulu tangkis difabel).
Bermain di kategori SH6 (perawakan pendek), keduanya memang langganan juara. Khususnya di nomor ganda campuran.
Paling baru, Subhan dan Rina Marlina menyabet medali emas di nomor ganda campuran Polytron Indonesia Para Badminton 2025 Solo by Polytron, Bakti Olahraga Djarum Foundation, NPC Indonesia, dan BWF.
Di laga final pada Minggu (2/11/2025), keduanya menang mudah atas lawannya, pasangan Krishna Nagar dan Nithya Sre Sumathy Sivan dari India dengan skor akhir: 21:13, 21:9.
Kendati begitu, keduanya masih kerap tak menyangka: Ternyata mereka telah berjalan amat jauh. Beranjak dari kepahitan-kepahitan masa lalu lantaran keterbatasan perawakan dan ekonomi.

Menjadi ART hingga tukang ojek
Kala masih SD, bapak Rina meninggal dunia. Itu membuat ibunya harus bekerja sendiri untuk mencukupi hidup sehari-hari di sebuah kampung di Tasikmlaya, Jawa Barat.
Karena tak cukup uang, Rina pun akhirnya mencukupkan pendidikan hanya di jenjang SD. Lalu setelah lulus SD, Rina ikut ibunya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di Bandung.
“Ibu jadi ART-nya, saya jadi pengasuh anak majikan,” ungkap Rina.
Setelah ibunya sakit-sakitan, ibunya pun memilih pulang ke Tasikmalaya. Rina kemudian menggantikan posisi sang ibu menjadi ART.
“Tapi karena ibu sakit-sakitan dan nggak ada yang merawat (karena Rina anak tunggal), saya lalu pulang. Nah, untuk kebutuhan makan, saya waktu itu narik ojek,” kata Rina.
Raket hasil ibu jualan cilok demi ikut bulu tangkis tarkam
Antara 2009/2010-an, bulu tangkis memang tengah digandrungi banyak orang di lingkungan Rina. GOR dekat rumah Rina selalu ramai.
Awalnya, Rina melihatnya hanya sebatas sebagai peluang untuk tambah-tambah pemasukan. Waktu itu ia menjadi wasit dalam setiap pertandingan tarkam di GOR. Walaupun bayarannya cuma Rp2 ribu, tapi tetap ia jalani.
“Setiap orang-orang break, saya pinjem raket, main tepok-tepokan, minta koknya buat saya bawa pulang di rumah. Di rumah saya main sendiri, raketnya waktu itu pakai piring seng,” beber Rina.
“Tapi di pikiran saya udah gini: Suatu saat nanti saya kok yakin bisa main di depan orang banyak,” sambungnya.
Memang begitu yang terjadi. Setelah makin mahir memainkan raket, Rina mencoba ikut bulu tangkis tarkam. Raket pertamanya dibelikan ibu dari hasil jualam cilok. Karena memang sang ibu selalu mendukung penuh yang ingin Rina kejar.
Suara-suara sumbang
“Setelah main-main badminton tarkam, saya terus diajak teman pertandingan se-Jawa Barat. Tapi itu buat yang fisiknya normal. Saya didaftarin sama teman saya untuk ikut turnamen itu,” kata Rina.
Awalnya Rina menolak karena tak punya modal. Akan tetapi, teman yang mendaftarkan Rina meyakinkan agar Rina tak khawatir soal itu. Pokoknya Rina hanya perlu berangkat.
Dan untung Rina berangkat. Karena di situ lah bakat Rina tersorot oleh pihak NPC Jawa Barat. Ia didorong untuk ikut seleksi pelatnas para-badminton.
“Waktu itu ya ada saja orang yang meragukan. Bilang gini, ‘Kamu emang bisa jadi atlet? Bulu tangkis itu buat orang kaya, bukan orang yang nggak punya. Buat orang yang fisiknya tinggi-tinggi, bukan orang pendek.’ Tapi itu nggak bikin minder, malah bikin saya termotivasi,” tekan Rina.
Suara-suara sumbang model apa pun tak akan menggoyahkan tekad Rina. Sebab, ia menggenggam erat nasihat mendiang bapaknya: “Harus kuat, harus yakin, karena ke depannya kita nggak ada yang tahu, harus yakin, doa, dan sabar.”
Lapangan bulu tangkis beralas tanah-bergaris rafia di Jepara
Rekan Rina, Subhan (31), pun sama halnya.
Subhan asli Jepara, Jawa Tengah. Ia mulai tertarik bulu tangkis sudah sejak kelas 2 SD.
“Dulu hobinya anak-anak desa itu memang main bulu tangkis. Mainnya di pinggir rumah, ada lapangan. Tapi ya tanah, garisnya pakai tali rafia,” beber Subhan.
Dengan perawakan pendek, tidak mudah bagi Subhan untuk mengimbangi teman-teman sebayanya. Alhasil, ia kerap tak diajak bermain lantaran dianggap tak bisa bermain bulu tangkis.
Sampai akhirnya, setelah mulai jago, pada 2019 Subhan mengikuti seleksi talent scouting NPC Jawa Tengah hingga dipanggil lah ia ke pelatnas.
2 anak kampung menjelajah dunia tapi masih tak menyangka
Subhan dan Rina Marlina kemudian dipertemukan dan dipasangkan sebagai dua atlet profesional.
Keduanya pun menjelajahi dunia—untuk mengikuti berbagai kejuaraan dunia. Prestasi demi prestasi pun mereka torehkan, baik bersama maupun perseorangan.
“Pertama kali saya naik pesawat itu waktu ke China pada 2019 dalam proses menuju pelatnas. Itu saya sudah tertegun, kok bisa saya naik pesawat ke luar negeri,” kata Rina.
Sampai saat ini pun, tiap naik pesawat dan menginjakkan kaki di luar negeri, Rina masih sering tak menyangka: Bocah lulusan SD, tapi kok bisa berkiprah sejauh itu.
“Sampai sekarang ibu saya juga nggak nyangka, seorang Rina yang tadinya bukan siapa-siapa, pernah jadi ART, tukang ojek, eh bisa seperti sekarang ini,” tutur Rina dengan suara bergetar haru.
“Di kampung sekarang terinspirasi saya, sampai ada dua lapangan bulu tangkis di desa,” sementara begitu pengakuan Subhan. Ia pun tak menyangka, kini pergi-pergi ke luar negeri—di setiap mengikuti kejuaraan para-badminton—jadi hal biasa bagi anak kampung sepertinya.
Bulu tangkis—para-badminton—benar-benar memberi makna hidup mendalam bagi Subhan dan Rina. Bagi keduanya, bulu tangkis telah membuat mereka dan keluarga masing-masing menjadi lebih dihargai, mengubah perekonomian juga. Mengumrohkan ibu/orang tua kemudian menjadi puncak mimpi yang mereka upayakan terwujud.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ketangguhan dalam Nama “Qonitah Ikhtiar Syakuroh”, Dari Raket Rp40 Ribuan dan Ejekan Cara Berjalan Jadi Penderes Emas atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan